Taubatnya Umar bin Khatab

Setelah ibadah haji disyari’atkan pada tahun ke 5 H, Rosulullah Saw. bersama 1.400 sahabatnya pergi ke Mekkah untuk melakukan umroh pada tahun 6 H. Mereka berhenti di desa Hudaibiyah, Rosulullah Saw. mengutus Utsman bin Affan ke Mekkah untuk meminta izin. Tersebarnya berita bahwasanya Utsman telah dibunuh, terjadilah peristiwa Bai’atur Ridwan. Di sanalah awal mula peristiwa perjanjian damai Hudaibiyah terjadi.

Terjadi kesepakatan perjanjian damai Hudaibiyah, pihak musyrikin Quraisy diwakili oleh Suhail bin Amr dan kaum muslimin diwakili oleh Rosulullah dengan Ali bin Abu Thalib sebagai juru tulisnya. Isi perjanjian damai Hudaibiyah ini bagi para sahabatnya sebagai kerugian besar bagi umat Islam. Tetapi bagi Rosulullah Saw. ini merupakan kemenangan yang nyata.

Ketika perjanjian damai ini tuntas, Umar bin Khatab mengingkarinya.  Ia datang menemui Abu Bakar dan berkata, “Wahai Abu Bakar! Bukankah beliau utusan Allah?” “Betul,” jawab Abu Bakar. “Bukankah kita orang-orang muslim?,” tanya Umar. “Betul,” jawab Abu Bakar.

“Lantas mengapa kita merendahkan agama kita, “ kata Umar. “Patuhilah perintah beliau, karena aku bersaksi  bahwa beliau adalah utusan Allah,” kata Abu Bakar. Umar berkata, “ Aku pun bersaksi bahwasanya beliau utusan Allah.” Setelah itu Umar menemui Rosulullah Saw. dan menyampaikan kata-kata yang sama seperti ia katakan kepada Abu Bakar. Rosulullah Saw. akhirnya bersabda, “Aku ini hamba dan utusan Allah. Aku tidak akan menyalahi perintah-Nya, dan Ia tidak akan menyia-nyiakanku.”[1] Allah Swt. Menurunkan al-Qur’an Surat al-Fath kepada Rosulullah Saw.,  kemudian beliau memanggil Umar dan membacakan surat tersebut kepadanya. Wahyu tersebut sebagai tanda bahwasanya perjanjian damai Hudaibiyah sebagai kemenangan bagi kaum muslimin.

Umar bin Khatab menyesal dan bertobat. Sebagai ungkapan penyesalannya, Umar berkata, “Aku terus bersedekah, berpuasa, shalat, dan memerdekakan budak atas apa yang telah aku lakukan pada saat itu, karena khawatir terhadap kata-kata yang aku ucapkan. Hingga aku berharap hal itu baik-baik saja.”

selesai di kaki Gunung Gede Pangrango




[1] Percakapan tersebut penulis dapatkan dari Sirah Nabawiyah karya Abu Bakar Jabir al-Jaza’iri.


0/Post a Comment/Comments