Urgensi Sirah Nabawiyah Untuk Pelajar

By; Iman Munandar
A.    Urgensi Sirah Nabawiyah
Sirah Nabawiyah menurut bahasa sebagai berikut, Sirah : Sejarah dan Nabawiyah : kenabian. Sementara menurut istilah Sirah Nabawiyah ialah Sejarah yang membahas kisah-kisah dan peristiwa Rosulullah Saw. Dari lahir hingga wafat. Ada beberapa Sirah Nabawiyah karya Ibnu Hisyam, Shafiyurrahman al-Mubarokfury, Umar Abdul Jabar, Said Ramadhan al-Buthy, Abu Bakar al-Jazairy, dan sebagainya.

Sirah Nabawiyah mempunyai kedudukan penting dalam Islam. Allah Swt. Telah berfirman;
  “Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung” (QS. al-Qalam/68:4)
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasûlullâh itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allâh dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allâh”[al-Ahzâb/33:21]
            Rosulullah Saw. Bersabda; “Sesungguhnya sebaik-baik berita adalah kitab Allâh, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad, seburuk-buruk perkara adalah perkara-perkara baru (dalam agama), dan semua bid’ah adalah kesesatan.” [HR.Muslim no. 864][1]
            Imam Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya menyatakan bahwa ayat yang mulia ini sebagai landasan yang agung dalam setiap perkataanya, perbuatannya, dan keadaanya. Allah Swt. Menyuruh manusia untuk meneladani Rosulullah Saw. Dalam perang Ahzab dalam kesabarannya, usaha bersabarnya, istiqomahnya, dan penantian pertolongan dari Rabbnya.[2] Ayat tersebut berlaku untuk umum sepanjang masa.
            Pendapat imam Ibnu Katsir diperkuat dengan hadist yang diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwasanya sebaik-baiknya petunjuk adalah Rosulullah. Dan dipertegas lagi dengan Q.S. al-Qolam : 4 yang berisi bahwasanya Rosulullah Saw. Memiliki akhlak yang agung.
            Mempelajari Sirah Nabawiyah sangat penting bagi umat Islam, khususnya dikalangan pelajar. Dengan harapan para pelajar bisa mengambil ibrah dari setiap kisah Rosulullah Saw., Yang sangat heroik.
            Bahkan syekh Abu Bakar al-Jazairy dalam mukaddimah karyanya mengajak keluarga muslim untuk berkumpul membaca buku Sirah Nabawiyah setiap harinya per satu atau dua halamannya.
B.     Tujuan Mempelajari Sirah Nabawiyah
            Syekh Muhammad Said Ramadhan al-Buthy menyatakan bahwa mempelajari Sirah Nabawiyah bertujuan agar setiap muslim memperoleh gambaran tentang Islam secara paripurna. Beliau merinci beberapa tujuan mempelajari Sirah Nabawiyah sebagai berikut;[3]
1.      Memahami pribadi kenabian Rosulullah Saw. Melalui celah-celah kehidupan dan kondisi-kondisi yang dihadapinya untuk menegaskan bahwa Rosulullah Saw. Bukan hanya seorang yang terkenal genial di antara kaumnya, melainkan sebelum itu beliau adalah seorang Rosul yang didukung oleh Allah dengan wahyu dan taufik dari-Nya.
2.      . Agar manusia mendapatkan gambaran al-Matsal al-Ala menyangkut seluruh aspek kehidupan yang utama untuk dijadikan undang-undang dan pedoman kehidupan. Tidak diragukan lagi, betapun manusia mencari al-matsal al-‘ala (tipe ideal) mengenai salah satu aspek kehidupan, dia pasti akan mendapatkan di dalam kehidupan Rosulullah secara jelas dan paripurna.
3.    .  Agar manusia dalam mengkaji sirah Rasulullah ini mendapatkan sesuatu yang dapat membantunya untuk memahami Kitab Allah dan semangat tujuannya. Hal ini karena banyak ayat Al Quran yang baru bisa ditafsirkan dan dijelaskan maksudnya melalui peristiwa-peristiwa yang pernah dihadapi Rasulullah saw dan disikapinya.
4.       Melalui kajian sirah Rasulullah saw ini, seorang muslim dapat mengumpulkan sekian banyak tsaqofah dan pengetahuan islam yang benar, baik menyangkut aqidah, hukum maupun akhlak. Hal ini karena tak diragukan lagi bahwa kehidupan Rasulullah saw merupakan gambaran yang konkret dari sejumlah prinsip dan hukum islam.
5.     Agar setiap pembina dan da’i islam memiliki contoh hidup menyangkut cara-cara pembinaan dan dakwah. Rasulullah saw adalah seorang da’i, pemberi nasihat, dan pembina yang baik, yang tidak segan-segan mencari cara-cara pembinaan dan pendidikan terbaik selama beberapa periode dakwahnya.
Tujuan mempelajari yang telah diuraikan oleh syekh Muhammad Said Ramadhan al-Buthy sangat jelas sekali. Selain untuk pelajar, kita sebagai orang tua atau pun guru harus memiliki contoh hidup menyangkut pembinaan terhadap para pelajar muslim. Dalam penyampaian materinya tentunya harus disesuaikan dengan nalar dan psikologi pelajar tiap tingkatan.
C.    Buku-Buku Rujukan
Pelajaran sejarah Nabi Muhammad Saw., memang diajarkan dalam buku PAI SD, SMP, SMU, atau buku SKI untuk MI, MTs, dan MA. Menurut hemat penulis, muatan tentang Sirah Nabawiyah dalam PAI sangat singkat sekali dan tidak detail.
Penulis menganjurkan untuk memakai kitab Khulashoh Nurul Yaqin karya Umar Abdul Jabbar 2 juz. Tentunya penulis menambahkan buku-buku Sirah Nabawiyah karya Muhammad Said Ramadhan, Syafiyurrahman al-Mubarokfury, dan Abu Bakar al-Jazairy sebagai pembanding dan penyeimbang. Usaha ini untuk memberikan kelengkapan wawasan Sirah Nabawiyah untuk pelajar.
Sementaranya untuk tingkat SD disesuaikan dengan situasi dan kondisinya. Begitu pula untuk pelajar kalangan SMU sederajat disesuaikan dengan situasi dan kondisinya. Materinya tentu lebih tinggi dari tingkatan Smp sederajat.
Mata pelajaran Sirah Nabawiyah bisa dimasukkan dalam muatan lokal. Biasanya mata pelajaran muatan lokal tergantung kebijakan masing-masing sekolah. Dan tidak boleh dipaksakan kepada pelajar non muslim. Khawatirnya akan terjadi isu SARA.
D.    Implikasi Mempelajari Sirah Nabawiyah
Urgensi dan Tujuan mempelajari Sirah Nabawiyah untuk pelajar muslim telah diuraikan sebelumnya. Pada pembahasan ini akan fokus pada implikasi mempelajari Sirah Nabawiyah.
Allah Swt. Berfirman; “ Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentunya itu lebih baik bagi mereka. Di antara mereka ada yang beriman, namun kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik” ( Q.S. al-Imron ; 110).
Imam at-Tabari menafsirkan ayat tersebut bahwasanya Nabi Saw., bersabda;’kalian adalah penyempurna tujuh puluh umat. Kalian adalah yang paling terakhir, dan paling terhormat din hadapan Allah.’ Yang dimaksud makruf ialah memerintah iman kepada Allah dan Rosul-Nya, serta mengamalkan syariat-Nya. Sedangkan mencegah kemungkaran ialah mencegah dari kemusyrikan kepada Allah dan pendustaan Rasul-Nya, serta perbuatan yang dilarang oleh-Nya.[4]
Sementara Kuntowijoyo menyatakan bahwa umat Islam akan menjadi umat yang terbaik apabila mengerjakan 3 hal sebagaiman yang dijelaskan dalam Q.S. al-Imron : 110. Ayat tersebut mempunyai nilai-nilai Ilahiah, diantaranya Makruf, Mungkar, dan Iman. Jadi ayat tersebut mencakup unsur humanisasi (makruf), liberalisasi (mungkar), dan transedensi (iman). [5]Mungkin uraian Kuntowijoyo tentang ayat tersebut dalam bingkai ilmu sosial profetik sangat berat.
Penulis akan menguraikannya dengan bahasa yang lebih mudah. Humanisasi (makruf) di sini maksudnya adalah memanusiakan manusia sesuai fitrahnya. Dilengkapi dengan dalil-dalil al-Qur’an dan Hadist bahwasanya ruang lingkup humanisasi (makruf) sangat luas. Contohnya banyak sekali ayat-ayat al-Qur’an yang menyuruh umat Islam untuk menyisihkan hartanya untuk anak-anak yatim, miskin, berbuat baik kepada tetangga dan tamu, berkata baik, dan sebagainya.
Sementara liberalisasi (mungkar) maksudnya adalah mencegah manusia dari kebodohan, kemiskinan, kedzoliman, dan sebagainya. Semangat humanisasi dan liberalisasi ini harus dibingkai dengan keimanan (transedensi) kepada Allah. Niatnya harus semata-mata mencari keridhoan-Nya.
Menjadi umat yang terbaik dari ayat tersebut tentunya sebagai implikasi dari kecintaan kepada Rosulullah Saw., melalui Sirah Nabawiyah yang ditulis oleh beberapa ulama dunia yang tersohor. Banyak contoh dalam sejarah para pahlawan Islam yang tercatat. Pada umumnya mereka mempelajari dan mencintai Rosulullah Saw. penulis yakin jika para pelajar Islam di Indonesia memahami sirah nabawiyah dan mencintainya, mereka akan menjadi pelajar yang berkarakter kuat dan baik.





[2] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Darul Fikr, 1980, hlm. 3/475.
[3] Muhammad Said Ramadhan al-Buthy, Sirah Nabawiyah, Jakarta:Robbani Press, hlm. 3-4.
[4] Miracle The Reference, Bandung ; Syamil, hlm. 126.
[5] Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, Yogyakarta : Tiara Wacana, hlm. 91-99

0/Post a Comment/Comments