Sunan Gunung Djati, Pendiri Kerajaan Islam Cirebon dan Banten

Sunan Gunung Djati juga dikenal dengan nama Syarif Hidayatullah, ia lahir sekitar tahun 1448 M. Ibunya merupakan seorang puteri kerajaan Pajajaran, sementara ayahnya memiliki garis keturunan Bani Hasyim dari Palestina. Ketika berusia 14 tahun, ia belajar agama dari ulama Mesir.[1] Ketika Portugis menguasai pelabuhan Samudra Pasai, Ia naik haji ke Mekkah. Sepulang haji dari Mekkah, ia pergi ke Kerajaan Islam Demak dan menikahi saudara perempuan Sultan Trenggana.[2]

Sultan Trenggana mengirim Sunan Gunung Djati ke Cirebon untuk berdakwah. Cirebon merupakan wilayah kekuasaan kerajaan Pajajaran. Orang yang menduduki Cirebon telah menganut agama Islam, tetapi yang berhasil meningkatkan status Cirebon menjadi sebuah kerajaan adalah Sunan Gunung Djati. Karena memiliki garis keturunan dengan kerajaan Pajajaran, Ia menyebar luaskan dakwahnya ke Priangan.

Pada tahun 1552 Portugis bersepakat dengan Banten (masih merupakan vasalnya Pajajaran) untuk mendirikan pos perbatasan di timur sebagai upaya penghadangan pasukan muslim dari timur. Sekitar tahun 1553-4, Sunan Gunung Djati bersama pasukan Demak berangkat untuk mendirikan pusat perdagangan yang strategis di Jawa Barat. Ia juga mengambil alih Banten, dan menggulingkan penguasa setempat.[3] Serta mengakhiri perjanjian dengan Portugis.

Bersama pasukan Demak, Sunan Gunung Djati merencanakan untuk merebut pelabuhan Sunda Kelapa (sekarang Jakarta). Ketika itu Portugis datang untuk membangun pos mereka di Sunda Kelapa pada tahun 1527. Bersama pasukan dari Demak, Sunan Gunung Djati (Fatahillah) berhasil merebut pelabuhan Sunda Kelapa. Kemudian mereka mengganti namanya menjadi Jayakerta.[4]

Sunan Gunung Djati membangun dasar-dasar kerajaan Islam Banten. Pada tahun 1552, Sunan Gunung Djati menyerahkan penguasaan Kerajaan Islam Banten pada puteranya yang bernama Hassanudin. Ia kembali ke Cirebon, dan membentuk garis keturunan Kerajaan Islam Cirebon. Ia wafat di Cirebon pada tahun 1568, berusia 120 tahun.

Selesai di kaki gunung Gede Pangrango.




[1]SKI kelas 9 karya Mukarom, hlm. 55
[2] Sejarah Indonesia Modern karya M.C. Ricklefs, hlm. 72
[3] Ibid, hlm. 72
[4] Ibid, hlm.72

0/Post a Comment/Comments