Latah Aswaja

Oleh Yusuf Maulana
Menjadi Ahlus-Sunnah wa-al-Jama’ah, bagi saya, satu pilihan untuk bersiap memanggul amanah. Amanah bagi diri pribadi sekurangnya. Amanah untuk menjaga deretan ulama yang jadi rujukan kita bertindak tanduk. Setiap lisan mencerminkan kadar penghayatan sekaligus pengamalan pada para ulama Ahlus-Sunnah terujuk.

Ketika lisan yang hadir ke ruang publik hanya kebanggaan mendakwa diri ter-Ahlus-Sunnah (kadang mengakronim: ter-Aswaja), tetapi kualitas lisan menentangi kaidah akhlak ulama Ahlus-Sunnah, ya semuanya hancur berantakan. Apatah lagi kedirian dan kemendakuan sebagai kelompok ter-Ahlus-Sunnah ataupun ter-Aswaja membenarkan untuk bertindak nyaris apa saja yang tidak sepatutnya diperbuat muslimin. Menggertak sampai melupakan ucapan berpurnama lampau soalan serupa, hingga ada anasir mengajak massa membunuh seorang muslim hanya karena kebijakan yang tak disuka. Semua ini seakan absah diperbuat dengan teras klaim “kami lebih menjaga nilai Aswaja; Islam rahmatan lil-'alamin.” Sementara ia luput menafakuri: adakah in bercanggah, bertentangan, dengan ulama anutan?
Maka, sudahi latah mendakwa diri cukup ber-Aswaja; berpuas hanya dengan memelihara pakem diri yang paling ini dan itu dalam tatanan Ahlus-Sunnah wa-al-Jama'ah, lantas berhak menilai orang lain begitu dan begitu. Pas giliran kita diuji, akhlak ataupun adab kita sungguh mengerikan. Amat sangat jauh dari nilai yang acap dibanggakan di mimbar-mimbar atau majelis media massa yang telanjur bertakdir menyanjung tiada henti.
Kita yang sering mendakwa orang lain itu Khawarij, dakwa pula di hati masing-masing: adakah terbebas dari tindakan serupa puak tersebut?
Ilustrasi: orientalistart(dot)tumblr(dot)com

0/Post a Comment/Comments