Megatrend Transportasi Online, Dicintai & Dibenci

Oleh Wayan Sohib*

Dengan kemajuan teknologi, ponsel pintar dengan sentuhan jari, pesanan bisa langsung diakses, tentu jadi peluang buat para pebisnis. Place, menurut Kotler dalam teori manajemen pemasaran merupakan salah satu bauran yg harus dipenuhi, artinya perlu memudahkan dalam mengakses atau cara mendapatkan barang atau jasa yang diinginkan konsumen. Era digital adalah antitesa dari era kovensional, ada transportasi online ada transportasi konvensional, dalam artian adat. Adat ketika orang memesan taksi yg dinilai merepotkan, untuk mendapatkannya harus menunggu sampai setengah jam dipinggir jalan ditemani angin hujan debu dan ancaman kriminalitas, kemudian diakhiri dengan repotnya hitung menghitung uang hingga argo tembak. Tapi itu sudah dianggap paling nyaman dibanding moda transportasi konvensional lainnya.

Ketika muncul Uber pertamakali, seakan jd obat, waktu tunggu singkat, tarif murah, kendaraannya bagus-bagus, layanan lebih baik, otomatis menjadi sesuatu yang dicintai pengguna moda transportasi. Uber merupakan perusahaan yang melayani jaringan transportasi berbasis mobile application yang berasal dari San Fransisco, Amerika Serikat yang didirikan tahun 2009 oleh Garret Camp & Travis Kalanick. Beroperasi lebih di 60 negara, termasuk di Indonesia dengan berbagai produk layanannya.

Selain Uber, juga ada Grab yang masuk ke Indonesia tahun 2014, perusahaan asal Malaysia ini dominan beroperasi di Asia Tenggara. Di Indonesia sendiri ada Go-Jek yang diluncurkan tahun 2015 oleh Nadiem Makarim. Target operasi taksi-taksi online tersebut adalah kota-kota termacet di Indonesia seperti Bogor, DKI Jakarta, Bandung, Surabaya, Depok, dan kota lainnya. Walau pun sebetulnya mereka tidak mau disebut taksi online dan tidak mau disamakan dengan taksi konvensional, sampai bersikap bahwa mereka tidak punya satu pun kendaraan, mereka inginnya disebut perusahaan teknologi berbasis aplikasi yang salah satunya melayani kebutuhan transportasi masyarakat.

Dari aspek konsumen, semisal di Bandung Raya dominasinya memilih dan mendukung transportasi online, terlebih segmen generasi milenial, bahkan uniknya yang punya kendaraan pribadi pun lebih memilih memakai jasa online, sampai-sampai kendaraannya sendiri disimpan dirumah.

Muncul beragam tanggapan positif, sekaligus jadi paradoks dari transportasi konvensional, online bisa cepat tanpa ngetem, ongkos deal diawal & murah, konvensional kadang deal diakhir bahkan minta tambahan bayaran sehingga ada tawar menawar dulu, online diantar sampai tujuan hingga pelosok perumahan yg tidak bisa diakses dengan satu kali naik sebagaimana konvensional. Kenyamanan lebih terjamin, kendaraan-kendaraanya dominan keluaran baru, keamanan lebih terjamin tanpa copet tanpa asap rokok tanpa pelecehan seksual tanpa gangguan kriminalitas, karena memang itu peraturan internal perusahaannya, ancamannya jika driver berperilaku seperti itu bisa dibekukan aplikasinya atas laporan pelanggan, bahkan harus bertutur kata santun dan berpakaian pun mesti sopan sebagaimana kerja kantoran. Transportation Phenomenalism yang dicintai masyarakat.

Fenomena beralihnya pelanggan transportasi konvensional atau offline kepada online membuat para driver offline tergerus pendapatannya sehingga tidak sedikit yang memaksa diri mereka sendiri justru akhirnya beralih menjadi driver online dan atau pemilik kendaraannya, namun tentu lebih banyak yang bertahan dan memposisikan sebagai lawan online. Ini fenomena di Indonesia, tentu berbeda dengan integrated transportation di Jepang atau di Amerika misalnya. Tidak hanya itu, bahkan tidak sedikit yang sebelumnya berstatus pegawai pun berhenti kerja, kemudian pesangonnya dibelikan kendaraan dan beralih profesi menjadi driver online. Transportasi Megatrend ini menjadi peluang pekerjaan yang menggiurkan & bisa didapat dengan mudah bagi para penganggur hanya dengan bermodal kendaraan.

Ketidakpuasan terhadap transport offline membuat sebagian masyarakat berlaku berlebihan dengan berharap misal tidak usah ada lagi jenis angkutan kota yang beroperasi dengan menilainya bikin semrawut kota tidak karuan, cukup dengan transportasi massal dan online saja. Bahkan seperti di Solo sudah tidak ditemukan lagi moda transportasi angkutan kota kecuali tersisa dipinggiran kota saja, semuanya didominasi transportasi online.

Begitu pun di area Bandung Raya misalnya saat ini tercatat 17.000 lebih akun aplikasi transportasi online, berarti jumlahnya hampir sama dengan driver offline, bahkan bisa melebihi, karena perusahaan aplikasi mereka terus melakukan training driver baru setiap harinya, bahkan sehari bisa tiga kali kloter training driver online pada setiap perusahaan online tersebut, baik motor atau pun mobil, yang disebut sebagai mitra. Artinya dalam waktu dua tahun telah terserap 17.000 lebih angka pekerja baru yang bahkan tidak bisa dilakukan oleh pemerintah sekalipun. 

Menaker M.Hanif Dhakiri mengakui bahwa angka pekerja transportasi online punya pengaruh terhadap penurunan angka pengangguran di Indonesia, walau belum menunjukan angka detailnya, namun angka pengangguran nasional sendiri tahun ini mengalami penurunan yang tajam hampir 1%, dari 6,18% menjadi 5,3%, penurunan yang paling besar selama pasca reformasi. Menjadi fenomena sosial ekonomi yang dicintai para pencari kerja.

Sebesar Rp.500.000,- kurang lebih setiap harinya driver online tersebut dibawa pulang ke rumahnya dalam kondisi bensin full tank selalu, yang tidak bisa dia lakukan saat kerja dimana pun, biasanya bensin kosong kantong kering, berarti 10 sampai 15 juta per bulannya, 4 kali lipat UMR bisa mereka dapatkan, dengan waktu kerja fleksibel, memilih jam & hari kerja semaunya. Sesuatu yang tidak mungkin untuk tidak dicintai.

Bukan tanpa kerugian, bagi pelanggan, transportasi online mengharuskan memasukkan data pribadi dan nomor handphone sehingga berpotensi disalahgunakan oleh oknum driver atau kawannya, bahkan ada pelanggan yang diajak kencan, harga pun tidak selalu murah, tarif bisa meningkat saat jam sibuk, hingga penipuan oleh oknum driver, juga ditambah masih was-was nya ketika berhadapan fisik dengan transportasi offline, tak sedikit fakta-fakta yang berujung kematian pada drivernya, selain fenomena dilempari, ditabrak, disiram air keras, dipukul, digolok, sampai ada sang driver yang ditelanjangi didepan umum, pastinya mengancam dan memberi rasa ketakutan pada pelanggan. Fenomena yang dibenci driver dan pelanggan.

Bagi driver offline sudah barang tentu menganggap driver online sebagai lawan dalam satu ring tinju, bukan lagi sebagai kompetitor dalam sebuah bisnis. Dengannya Go-Jek menjadi sponsor Liga Indonesia belum mampu meredam konflik sosial ekonomi tersebut yang berujung pelarangan operasi di Jawa Barat oleh Dishub Jawa Barat, ditunda sampai keluarnya revisi Permenhub mengenai regulasi transportasi online.

Bahkan sebetulnya sesama driver online sendiri persaingan sangat ketat ditengah rekrutmen driver online yang tidak ada hentinya tanpa batas. Sepi pelanggan juga dialami oleh para driver online saking terus menjamurnya mitra transport online tersebut. Pola perlakuan manajemen perusahaan pun tidak luput jadi perhatian para driver online, dirasa tidak adil bagi driver online yang diantaranya terkadang bonus gagal cair tanpa keterangan, pembekuan akun sepihak, penilaian performa driver pun yang terformat sepihak dari pelanggan saja tanpa ada feedback dari driver yang membuat tidak bisa menerima bonus, pun ketika pelanggan order lalu membatalkan maka tidak ada sanksi yang diterima pelanggan, namun ketika ada order lalu driver membatalkan maka jatuh sanksi yang mempengaruhi bonus. 

Dan yang paling penting adalah tidak adanya perlindungan hukum dari perusahaan terhadap driver online bila mana menerima kriminalitas atau kejahatan dari kompetitor offline atau dari pelanggan, juga banyak kasus perampokan terhadap driver. Dikarenakan memang secara hukum perusahaannya sendiri masih ilegal belum berbadan hukum belum diatur kembali oleh Permenhub sebagaimana yang dituntut oleh para kompetitor offline agar diberlakukan kewajiban yang sama dalam hal pajak dan operasinya. Bolanya saat ini ada pada pemerintah pusat yang cenderung lambat dalam mengeluarkan regulasi yang tegas & adil bagi semua pihak terhadap fenomena transportasi yang dicintai dan dibenci tersebut.

Kementerian Perhubungan (Kemenhub) melalui Direktorat Jenderal (Ditjen) Perhubungan Darat telah menyusun draft revisi Peraturan Menteri (PM) Perhubungan Nomor 26 Tahun 2017, tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak dalam Trayek alias taksi online. Aturan baru ini mereka menargetkan akan berjalan 1 November 2017 tanpa transisi, langsung diterapkan menyeluruh, dan akan diajukan terlebih dahulu kepada Kemenkumham untuk segera disahkan.  

Sebab tanpa Permenhub tersebut, misal larangan operasi dari Dishub Jabar terhadap transport online yang dipublikasikan pada 9 Oktober 2017 namun tidak ada satu pun perusahaan transport online yang bergeming & menghentikan operasinya, malah mereka membuat Satgas Keamanan dan membuat komunitas-komunitas berbentuk PT sebagai legalitas untuk meresponnya, tentu ini bentuk kesiapan perusahaan dalam melawan tantangan bisnis dalam kondisi baik atau buruk.

Namun Kota Cirebon bisa menjadi prototipe, dimana transport online & offline terintegrasi berbagi trayek, ada duduk bersama dan pengaturan yang adil dan merata. Mau tidak mau, Menhub dan Dishub harusnya menyiapkan lebih cepat, tegas, adil, jelas, perihal regulasi dan model integrated transportation untuk mengakomodir semuanya baik offline maupun online yang sama-sama merupakan warga negara Indonesia.

*) Ex.Mitra Transportasi Online

0/Post a Comment/Comments