Shomad Tak Merindu Hasad

Sungguh antusias sambutan muslimin, khususnya kalangan muda, di Yogyakarta (juga di pelbagai kota lainnya) atas hadirnya Abdul Shomad, dai Nahdliyin asal Riau. Melesatnya nama sang dai beberapa bulan terakhir bisa jadi mendorong keingintahuan mereka. Ditambah lagi keberadaan tempat yang mengundang, satu magnet penarik yang sukar dielakkan. Faktor-faktor ini melengkapi minat utama kalangan muda tersebut, yakni kerinduan pada tema persatuan muslimin. Dalam diri Ustad Shomad, hal itu berpadu.

Berbeda dengan sangkaan di kalangan kelompok sang ustad, khususnya di Jawa, anak-anak muda itu mayoritas berasal dari kampus umum, yang sebagiannya baru mengenal Islam atau malah hidayah. Mereka masih meniti belajar berislam dalam halaqah-halaqah. Sebagian bercorak harakah, sebagian lagi sekadar mengaji lepas dari masjid ke masjid. Mereka ini generasi yang banyak menimba ilmu di kanal daring semisal YouTube. Hadirnya dai yang biasa dipantengi di daring ke kota mereka, tentu satu berkah yang tak boleh dilewatkan.

Kalangan tersebut memang ada yang latar Islamnya sudah baik. Bahkan berbeda corak keislaman dengan dai seperti Abdul Shomad. Toh tetap saja mereka menimba dan berduyun-duyun hadir. Apa pasal? Itu tadi, sang dai menyeru persatuan; bukan menjilati penguasa. Perbedaan yang ada dalam berislam dapat ditepikan.
Kalangan penyimak Ustad Shomad sesungguhnya sering diremehkan sebagian pihak sebagai “berislam tidak tepat”, dalam arti metode menimba ilmunya. Kalangan pertama, penyinyir anak-anak muda yang mengenal Islam dari YouTube. Mereka yang berlatar pesantren, sebagian di antaranya semazhab dengan Ustad Shomad, sering bersikap sinis. Bahwa ada kalangan muda yang baru mengenal Islam begitu berlebihan mengartikulasikan keislamannya, itu fakta. Mestinya, meredam militansi yang kebablasan itu dengan bijak pula, bukan menghantam. Nah, dalam titik ini, Ustad Shomad memainkan peran moderasi apik tersebut.
Anak-anak muda itu bisa dari Tarbiyah, Muhammadiyah, Majelis Mujahidin, Wahdah, dan pelbagai harakah lainnya. Mereka cair dan tak fanatik pada manhaj atau mazhab para ustad rujukan dalam halaqahnya. Abdul Shomad bukan bagian terlarang untuk didatangi demi menimba ilmu. Kesempatan emas semacam inilah yang sering diluputkan anak-anak muda dan sebagian ulama Nahdliyin. Alih-alih merangkul, mereka lebih sering menyerang para aktivis harakah dengan alasan mereaksi serangan frontal anak-anak muda yang baru kenal Islam itu. Apologi membela diri terus direproduksi tanpa ada jalan produktif. Abdul Shomad mengajarkan kolega di mazhabnya satu bentuk ukhuwah dan transfer ilmu lintas kelompok tanpa harus ada sangkaan macam-macam.
Kalangan kedua yang resisten pada hadirnya ulama seperti Abdul Shomad adalah kalangan tertentu Salafi. Kritik pada metode dakwah hingga “fatwa” Abdul Shomad ditarik berlebihan. Yang terjadi malah ada kesan mereka “tersaingi” mengingat segmen anak-anak muda berhasil terpikat oleh Abdul Shomad. Anak-anak muda di perkotaan dan perkampusan, tentunya. Segmen yang sama ini, dalam kasus di Yogyakarta, sesungguhnya bidikan faksi Salafi tadi. Semoga saja ketika anak-anak muda itu sebagiannya lebih nyaman bersama model dakwah Abdul Shomad, ada rasa besar hati untuk saling menimba wawasan; bukan membuat tandingan. Toh, tabligh akbar satu kali tidak serta-merta mengubah keberislaman seseorang, kecuali ada sikap istiqamah dalam fase berikutnya untuk terus belajar dan beramal saleh.
Jadi, dua kalangan yang “mengempaskan” peluang hadirnya Abdul Shomad sebenarnya tak perlu dengki atau merasa kalah hanya karena anak-anak muda kampus berduyun-duyun hadir di majelis tersebut. Nahdliyin, berhentilah melahirkan stigma “wahabi” pada kalangan muda kampus. Salafi tertentu, berhentilah menempatkan hadirnya fenomena ustad “moderat” sebagai perusak jalan meniti sunnah. Mengapa anak-anak muda itu mau hadir di majelis Abdul Shomad? Bukankah mereka berbeda golongan, tapi toh tak risih hadir? Mestinya ini jadi bahan renungan; bukan cacian apalagi tesis anak-anak muda tengah diradikalisasi oleh Ustad Shomad!
Biarkan anak-anak muda itu merindui sosok ulama pewujud persatuan, dan mari kelompok kita pun melakukannya. Bukan malah berhasad dan menyangka tidak-tidak. []
Foto: Edo Segara (kiri); Masjid Jogokariyan (kanan)

Sumber : Fb

0/Post a Comment/Comments