Menderes, Baswedan, Kita

Keluar dari partai penguasa dan membentuk partai baru, seyogianya hanya menghitung waktu saja buat menerima kekalahan berpolitik bagi seorang Adnan Menderes. Tapi ia bergeming, mengabaikan sangkaan dan keyakinan banyak anggota masyarakat kala menubuhkan Demokrat Partisi (DP). Melawan bekas partainya, Cumhuriyet Halk Partisi (CHP), yang dibentuk Bapak Turki Modern, Mustafa Kemal Atatürk, seperti angan kosong. Bukan saja CHP partai besar dan pemegang banyak kekuasaan, namun juga sokongan militer dan anasir kemalisme lainnya yang ingin mempertahankan ideologi baru negara mereka selepas meruntuhkan kekhilafahan.

Sejatinya, konstitusi baru yang mengamanati adanya partai-partai baru hanya akal-akalan pendukung kemalisme, yakni supaya hasil pemilihan umum dianggap jujur dan adil. DP, partai Menderes, pun sempat tertuding hanya bagian dari siasat itu.

Namun, pemilu 1950 menghasilkan kabar mengejutkan. CHP tumbang! Pemilu berikutnya (1950, 1954, 1957) kembali mengokohkan dominasi DP di atas CHP. Meski dibentuk sang Bapak Negara, diam-diam di dada banyak pemilih di Turki mereka geram pada perilaku bejat politikus CHP. DP pun menjadi alternatif utama dan penting, untuk tidak mengatakan satu-satunya selagi asal-bukan-CHP. Keyakinan semacam ini pula yang dijadikan alasan pemilih yang memegang nilai keislaman mendukung DP.
Padahal, DP bukanlah partai islamis; mustahil dan memang dilarang partai bercorak keagamaan. DP partai sekuler dan ini semua diketahui pemilih Muslim yang masih menjalankan ritual keagamaan selepas pelarangan ini dan itu oleh Mustafa Kemal. Namun, dibandingkan CHP yang tidak punya kompromi, DP masih bisa diajak bernegosiasi dalam memperjuangkan aspirasi Muslimin yang loyal pada nilai Islam.
Dalam tiap pemilu, Adnan Menderes sendiri menyerap aspirasi Muslimin. Bagaimana lagi, cara mempertahankan kekuasaan dan menjegal politikus CHP naik ke tampuk pemerintahan Turki adalah berdiri bersama pemilih Muslimin taat ritual. Maka, larangan azan dalam bahasa Arab, larangan berhaji, larangan berhijab, dan larangan pengajaran Islam di sekolah formal, dicabut! Tidak ada pengingkaran dari janji-janji Menderes.
Itu sebabnya, Adnan Menderes, sekalipun sekuler, mendapat tempat penting di hati banyak Muslimin Turki. Bahkan, hingga hari ini. Memanfaatkan suara pemilih tidak serta-merta mengabaikan janji dan komitmen memenuhinya.
Seturut itu, Muslimin Turki pun kegirangan bukan kepalang. Ada kebebasan berislam setelah dua dekade lebih dibelenggu pendukung kemalisme. Dan kokohnya DP di tampuk kekuasaan melahirkan sikap membalas. Simbol-simbol Mustafa Kemal diperhinakan Muslimin. Kecewa akibat kebijakan sepihak dan intoleransi Mustafa Kemal semacam tersalurkan dengan merusak patungnya. Tentu saja, simbol Mustafa Kemal masih ditabukan buat dilakukan seperti itu. Konstitusi menjaminnya.
“Penghinaan” itu kian meluapkan amarah para kemalis di tampuk militer. Gerah dengan kian berkuasanya DP, dan terus-menerus kalahnya CHP dalam pemilu, militer lantas menyimpulkan hadirnya di depan mata ancaman besar: robohnya ideologi ciptaan Mustafa Kemal oleh kalangan islamis. DP pun dikesankan “hijau”, dan bersama isu lain yang bisa dicari-cari celahnya—terutama soal tudingan korupsi oleh pemerintahan Menderes, pembungkaman pers, hingga pelanggaran HAM yang dilakukan terhadap para demonstran—jadilah jalan lapang militer untuk mengudeta pemerintahan sah di bawah Perdana Menteri Adnan Menderes.
Penggulingan kekuasaan pada 27 Mei 1960 oleh Jenderal Cemal Gürsel merupakan kudeta pertama militer Turki di bawah panji loyalisme atas nama ideologi kemalisme. Dan Menderes pun dinyatakan melanggar banyak konstitusi hingga militer merasa berhak mengeksekusinya di tiang gantungan pada 17 September 1961.
Musuh yang merasa besar dan paling layak berkuasa serupa kemalis di Turki sejatinya ada pada setiap zaman dan di pelbagai tempat. Ia hakikatnya lemah, terbukti DP mampu membungkam telak dalam empat pemilu kelompok pongah tadi. Pelajaran berharga bagi kita menghadapi kekuatan pongah itu adalah menahan rasa syukur dari artikulasi yang berlebihan. Bahwa lawan begitu kejam dan ingin kita balas, itu sah dan logis. Hanya saja, pikirkan kekuatan mereka yang belum sepenuhnya tunduk di bawah kendali kita. Jangan membuat mereka kian terkonsolidasi setelah remuk redam kecewanya kerap kita perhinakan. Biarkan mereka kecewa di banyak ruang, tetapi jangan biarkan mereka bangkit gara-gara melihat kita konsisten memperoloknya.
Saya merenung, hadirnya Gubernur Anies Baswedan bersama sang wakil, Sandiaga S. Uno, menjadi hujan deras antitesis pendahulunya. Kita, Muslimin, berhak untuk bersyukur atas gebrakan pasangan ini yang dilakukan dalam langkah elegan dan bermartabat. Sampai di sini, mengekspresikan bungah masihlah wajar dan normal. Ya, sekalipun itu kadang ditujukan sebagai paradoks dari kepemimpinan sebelumnya.
Cuma, mari belajar seperti dalam kejadian Muslimin di Turki saat merayakan kokohnya DP di bawah Adnan Menderes. Ekspresi memperolok simbol kemalisme, jelas membuat pihak-pihak yang tersakiti mencoba bangkit. Ada marwah dengan baju patriotisme yang ingin diperjuangkan. Di sinilah mestinya kita pun menahan untuk membandingkan secara berlebihan. Saya garis tebali: berlebihan. Dalam dan ukuran bagaimana? Serupa kasus Menderes: dalam hal yang membuat lawan tersakiti lantas ingin balas dendam dengan merapatkan barisan.
Kubu gubernur lama DKI Jakarta bukanlah sekumpulan pihak yang lemah dan tanpa kekuasaan. Belum bicara bekingan dari Istana Negara pada kalangan ini. Kewaspadaan pihak ini akan terus hadir seturut kita terus meledek mereka. Ledekan mereka akan membuat mereka berpikir. Nah di sini letak pentingnya. Melawan kalangan semacam kemalisme dan gubernur Jakarta yang lalu, tidak lain jangan beri kesempatan mereka berpikir. Sebab, ucapan sampai retorika mereka memang dangkal dan hanya bersahutan tanpa pemikiran. Kebodohan ini yang cukup jadi tontonan publik agar melek dan menjauhi mereka. Kristalisasinya adalah saat pemilihan presiden tahun depan.
Ya, jangan sampai mereka bangkit mengamankan penguasa Istana Negara gara-gara kita bersemangat meledek mereka. Mereka akan jadikan sang penguasa Istana sebagai palagan perang bubat. Di sinilah elegannya bila mengalahkan mereka dengan memanfaatkan kebodohan mereka yang dihadirkan berupa kebesaran (sebagaimana kemalisme terhadap DP dan Menderes). Kebodohan mereka kan jadi aib bagi Indonesia, termasuk aib memilih sosok yang mereka bela di Istana.
Dengan demikian, bijaklah untuk tidak mengumbar komparasi dalam bahasa sarkas dan hinaan. Fokus pada mengawal kebijakan Anies dan Uno, tanpa lupa memberikan saran dan kritik membangun. Bahas kebaikan mereka dan impikan Indonesia baru ke depannya (tanpa harus disandingkan dengan sosok pejabat pendusta terkemuka yang jamak menganulir ucapan dan kebijakannya). Itu saja. Tak perlu membesarkan lawan dengan cara membandingkan. Jangan gantung Anies dan Uno gara-gara dendam kita pada pihak “sana”. Tak perlu dan tak boleh ada sekalipun ada bisikan "bijak" bernama seruan dakwah menggetarkan lawan agama. Sungguh, masih ada kerja lain yang lebih berguna mengawal kepemimpinan beramanah. []

Sumber : FB

0/Post a Comment/Comments