Selamat Jalan Pak Fatwa

Oleh Hanibal W Y Wijayanta
Nama Andi Mappetahang Fatwa saya temukan pertama kali di lembaran koran langganan ayah saya, Berita Nasional, saat saya masih kelas 1 SMA. Di koran terbitan Yogyakarta itu, AM Fatwa diberitakan tengah diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dalam perkara Subversiv: menulis Lembaran Putih Peristiwa Tanjung Priok 1984. Saat itu saya tidak tahu apa sebenarnya isi Lembaran Putih. Saya pun tidak faham dengan materi tuduhan. Yang saya tahu, saat itu Fatwa diadili dengan naik kursi roda dan digotong saat naik tangga PN Jakarta Pusat, kemudian pingsan saat diadili.

(Sumber : news.detik)

Tahun 1990, saya sudah duduk di semester IV di Institut Pertanian Bogor. Saat itu, sebagai pemegang seksi acara dalam acara peringatan Tahun Baru Islam, saya kebagian tugas menemani pembicara yang kami undang dari Jakarta, Ketua Hubungan Luar Negeri PP Muhammadiyah, Drs Lukman Harun. Usai makan siang, Pak Lukman bercerita bahwa ia hendak menjenguk sahabatnya, AM Fatwa, yang sedang ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Paledang di Bogor. “Siapa mau ikut?” tanyanya. “Saya ikut, Pak,” jawab saya. Seingat saya ada dua atau tiga orang kawan lainnya yang ikut ke Paledang.


Di ruang bezoek penjara Paledang, untuk pertama kalinya saya bertemu Pak Fatwa. Setelah Pak Lukman bersalaman, kami pun bersalaman. “Ini anak-anak IPB yang mengundang saya ceramah di kampus,” kata Pak Lukman memperkenalkan kami. Pak Fatwa pun menatap kami satu persatu dengan tajam. Saya lupa detail persis ucapannya, tapi kurang lebih Pak Fatwa berpesan agar kami senantiasa memperjuangkan kebenaran dan keadilan. Suaranya terdengar lirih. Dia berbicara hati-hati sekali karena di dalam tahanan pun ia terus diawasi mata-mata rezim Orde Baru.

Beberapa bulan kemudian, seorang kawan aktifis Jamaah Tarbiyah dari Jakarta membawa satu jilid salinan fotocopy dari sebuah dokumen yang disebut sebagai Lembaran Putih Peristiwa Tanjung Priok 12 September 1984. Dalam suasana politik Orde Baru yang represif, salinan fotocopy itu beredar dari tangan ke tangan di kalangan aktifis saat itu. Lembaran Putih Peristiwa Tanjung Priok sesungguhnya adalah pemaparan Peristiwa Tanjung Priok menurut versi masyarakat, yang berbeda dengan versi pemerintah sebagaimana dijelaskan Panglima ABRI saat itu, Jenderal LB Moerdani.

Lembaran Putih disusun Kelompok Kerja Petisi 50 bersama tokoh masyarakat non Petisi 50 setelah mendengarkan dan mengumpulkan keterangan-keterangan saksi. Ada 22 tokoh yang menandatangani pernyataan itu, termasuk Pak Fatwa. Mereka menolak pernyataan pemerintah tentang jumlah korban tewas dalam tragedi Tanjung Priok hanya 9 orang. Dalam Lembaran Putih juga disebutkan bahwa tragedi itu terjadi karena penyimpangan penguasa dalam pengamalan ketentuan-ketentuan dalam Pancasila.

Dari 22 orang itu, tiga orang ditangkap atas tuduhan subversif, termasuk Pak Fatwa. Dua lainnya adalah mantan Menteri Perindustrian, Tekstil, dan Kerajinan Rakyat (1966-1968) Ir. HM Sanusi dan mantan Pangdam Siliwangi, Letnan Jenderal TNI (Purn) HR Dharsono. Pak Fatwa dan kawan-kawan dituduh melanggar UU Nomor 11/PNPS/1963, UU antisubversi, berupa memutar balikkan, merongrong, dan menyelewengkan ideologi Pancasila atau haluan negara, merusakkan dan merongrong kewibawaan pemerintah yang sah, atau menyebarkan rasa perpecahan dan permusuhan di kalangan masyarakat.

Pak Fatwa divonis 18 tahun penjara dari tuntutan seumur hidup, lalu dijalani efektif 9 tahun, kemudian mendapat status tahanan luar, dan mendapat amnesty. Meski berstatus narapidana bebas bersyarat pada tahun 1993 --seharusnya secara formal ia baru bebas tahun 2002-- atas izin Presiden Soeharto, Menteri Agama Tarmizi Taher menjadikan dia Staf Khusus. Begitu pula saat posisi Menteri Agama diduduki Prof Dr Quraish Shihab. Menurut Pak Fatwa kepada saya saat itu, “Pak Harto sudah berubah, Ia sudah mulai mendekat ke Islam,” ujarnya.

Tapi karena dianggap merapat ke kekuasaan, Fatwa kemudian dikeluarkan dari Petisi 50. Saat itu saya sudah menjadi wartawan junior di majalah Forum Keadilan, dan saya mendengar langsung dari Dedengkot Petisi 50, Letnan Jenderal KKO Purn. Ali Sadikin, soal putus hubungan dengan Fatwa. “Fatwa sudah berubah,” ujarnya saat itu. Namun, Fatwa tetap mengkritisi Orde Baru dengan caranya sendiri. Ia pun ikut menggulirkan gerakan reformasi, hingga Presiden Soeharto menyatakan berhenti pada 21 Mei 1998. Sebagai seorang wartawan politik, Pak Fatwa adalah salah satu narasumber saya sejak sebelum reformasi, saat reformasi, maupun pasca reformasi. Sudah tak terhitung berapa kali saya mewawancarai dia.

Ketika tahun 2011 saya menulis Tesis Master tentang Pemikiran Ketua Umum Partai Masyumi Terakhir, Prawoto Mangkusasmito, Pak Fatwa menjadi salah satu narasumber saya. Sebab dia ternyata salah satu kader Pak Prawoto yang masih tersisa. Saat itu dia sudah menjadi Anggota DPD. Kader Pak Prawoto lainnya yang saya wawancara adalah mantan Wakil Ketua DPA KH Cholil Badawi, mantan anggota DPR KH Abdul Qadir Djaelani, mantan Sekretaris Pak Prawoto saat menjadi Wakil Ketua Konstituante H Zainal Abidin, mantan anggota DPR H Ismael Hassan, mantan sekretaris Prawoto H Ramlan Mardjoned, Budayawan Betawi Ridwan Saidi, dan putri Pak Prawoto, Hj Sri Sjamsiar.

Dari situlah saya semakin mengenal Pak Fatwa. Ia lahir di Bone, Sulawesi Selatan, 12 Mei 1936. Semula ia menjadi aktifis Pelajar Islam Indonesia (PII) sejak tinggal di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat tahun 1957, sampai menjadi Pengurus Pusat PII. Selain di PII, ia juga aktif di Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII). Saat Kongres GPII terakhir tahun 1959, ia mengaku untuk pertama kalinya bertemu Pak Prawoto Mangkusasmito, meski dari jauh: AM Fatwa sebagai peserta mewakili GPII Cabang Sumbawa, sementara Prawoto Mangkusasmito adalah Ketua Umum Partai Masyumi, dan diundang sebagai pembicara utama dalam Kongres itu.

Tahun 1960, Pak Fatwa pindah ke Jakarta untuk melanjutkan kuliahnya di IAIN Ciputat, Jakarta. Sebagai seorang aktifis PII dan GPII, ia sering datang ke kantor Partai Masyumi di jalan Kramat Raya nomor 45, Jakarta Pusat. Di kantor Partai Masyumi, ia sering bertemu Pak Prawoto dan para tokoh Masyumi lainnya, meski tidak pernah ada pembicaraan yang khusus dan istimewa. Tapi rupanya, Pak Prawoto memperhatikan tingkah laku, dan mampu membaca potensi Fatwa. Karena itu, Pemuda Fatwa merasa sangat terkejut ketika Pak Prawoto tiba-tiba mencari dirinya.

Saat itu, Pak Prawoto datang ke Ciputat, untuk bertemu K.H. Sadli Hasan, seorang tokoh Partai Masyumi yang menjadi anggota Konstituante, dan juga menjadi dosen Pak Fatwa di IAIN Ciputat, untuk mencari anak muda itu. Sampai-sampai, Pak Prawoto memerlukan sendiri untuk datang ke rumah pondokan pemuda itu di Kampung Utan, Ciputat, di pinggiran Jakarta, yang ketika itu masih kumuh dan becek. Dalam pertemuan itu, Pak Prawoto Mangkusasmito kemudian meminta kesediaan pemuda Fatwa untuk menghuni, mengawasi dan mengelola sebidang tanah milik Yayasan Pembangunan Ummat (YPU) seluas 8000 m2, yang dipimpinnya di Kampung Sawah, Kelurahan Gunung, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Tanah itu milik yayasan yang dipimpin Pak Prawoto. Atas arahan Pak Prawoto, di tanah itu kemudian didirikan Sekolah Dasar bersama Otong Sutardjo, guru SD Mexico, Kebayoran Baru. Sekolah Dasar itu bernama Sekolah Dasar Mekarsari.
Pada saat menunggu, dan menempati rumah kecil di tanah yayasan di Kampung Sawah itu, Pak Fatwa kemudian mengajak beberapa teman kuliahnya di IAIN Ciputat, untuk tinggal di sana. Salah satunya pemuda Nurcholish Madjid. Sejak masih tinggal di Jombang, Jawa Timur, Nurcholish Madjid mengaku selalu diwanti-wanti oleh orang tuanya, yang menjadi anggota Partai Masyumi di Jombang, agar banyak bergaul dengan tokoh-tokoh Partai Masyumi di Jakarta. Karena itu Nurcholish Madjid pun merasa senang sekali diajak Fatwa untuk ikut menjaga lahan milik Ketua Umum Partai Masyumi, Pak Prawoto Mangkusasmito.

Tidak hanya sekadar menjaga lahan kosong miliknya, Pak Prawoto Mangkusasmito juga selalu menyuruh pemuda Fatwa untuk datang ke rumahnya seminggu sekali. Maka, di sela-sela kegiatannya di kampus, mengelola sekolah, dan mengaji di masjid Al Azhar Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, sekali seminggu ia datang ke rumah Pak Prawoto, untuk melaporkan segala perkembangan di tanah dan sekolah yang dijaga dan diawasinya. Biasanya ia Fatwa datang dengan naik oplet sendirian ke rumah Pak Prawoto di jalan Kertosono nomor 4, Menteng, Jakarta Pusat. Pada saat melaporkan berbagai masalah itu, biasanya Pak Prawoto juga mengajaknya berbincang-bincang, berdialog dan memberikan wawasan kepada pemuda dari Sumbawa ini tentang berbagi hal, termasuk dalam hal politik, dan keumatan. Dari dialog-dialog informal seperti hubungan seorang ayah kepada anak itulah, Fatwa merasa mendapatkan sentuhan-sentuhan pendidikan dan pengarahan secara langsung dari Prawoto Mangkusasmito.

Ketika Pak Prawoto ditahan rezim Orde Lama, Pak Fatwa sedang sibuk kuliah, lalu menyelesaikan Sarjana Mudanya di IAIN Jakarta, tahun 1963. Setahun kemudian ia menamatkan sarjana muda publisistiknya dari Universitas Ibnu Chaldun, Jakarta. Tahun 1966, ia mengikuti Latihan Militer di Sekolah Dasar Perwira Komando (Sedaspako) KKO-AL (Marinir), Surabaya, lalu diangkat menjadi Imam Tentara, dan Wakil Kepala Dinas Rohani Islam KKO-AL Komando Wilayah Timur di Surabaya, tahun 1967-1970. Sejak 1970 sampai 1979, AM Fatwa menjadi Kepala Sub Direktorat Pembinaan Masyarakat Direktorat Politik Pemda DKI Jakarta/Staf Khusus untuk masalah-masalah agama dan politik Gubernur Ali Sadikin.

Meskipun berkarier di dunia birokrasi, Pak Fatwa tetap aktif berdakwah. Tahun 1976, ia menjadi Sekretaris Umum Badan Amal Muslimin, Organisasi konfederasi ormas-ormas Islam yang memfasilitasi berdirinya Parmusi, lalu diangkat menjadi Sekretaris Majelis Ulama Indonesia (MUI) DKI Jakarta, dan anggota Komisi Ukhuwah Islamiyah MUI Pusat 1975–1979. Pada tahun 1976 – 1979 ia terpilih menjadi Ketua Umum Koordinasi Dakwah Islam (KODI) DKI, kemudian menjadi Ketua Korps Muballigh Muhammadiyah DKI, 1977–1999, dan Ketua II Korps Muballigh Indonesia, di bawah pimpinan mantan Menteri Keuangan Sjafruddin Prawiranegara, pada 1983–1984. Tahun 1980, ia ikut serta menandatangani Petisi 50, dan kemudian menjadi Sekretaris Kelompok Kerja Petisi 50. Pasca reformasi AM Fatwa menjadi salah satu deklarator Partai Amanat Nasional (PAN), kemudian menjadi anggora DPR dari PAN, dan kini menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah.

Pak Fatwa adalah satu-satunya warga negara yang pernah menuntut Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) yang sangat powerfull di masanya, ke pengadilan atas segala kekejaman, terror, dan penyiksaan aparat keamanan terhadap dirinya. Ia pernah diclurit, dipukuli, ditahan tanpa pengadilan, dan disiksa dalam tahanan. Tapi setelah terjadi perubahan sistem politik dan rezim pemerintahan melalui gerakan reformasi yang turut dipeloporinya, dengan jiwa besar dan sikap kenegarawanan, ia memaafkan dan menemui tokoh-tokoh yang bertanggung jawab atas penyiksaan dan pemenjaraannya. Lalu, secara manusiawi dan kekeluargaan ia membina hubungan baik dengan orang-orang yang pernah menjahatinya.

Sebulan yang lalu, Pak Fatwa yang sedang tidak enak badan menjadi salah satu tamu kami dalam program talkshow Dua Sisi, yang membahas tentang Proyek Reklamasi. Saya lihat saat itu wajahnya tampak capek dan menahan sakit, tapi dia paksakan untuk datang. Sampai-sampai anggota DPRD DKI Bestari Barus segan dan memprotes. “Kenapa undang beliau… Nggak enak awak kalau mau hajar kencang-kencang,” ujarnya. Beberapa bulan sebelumnya, di acara Indonesia Lawyers Club, Pak Fatwa pun sempat naik pitam kepada politisi muda, Fachri Hamzah. Dalam acara Dua Sisi itu awalnya Pak Fatwa minta hanya akan sampai pukul 22.00 tapi akhirnya sampai acara selesai. Esoknya, kami mendapat kabar bahwa Pak Fatwa masuk Rumah Sakit.

Karena itulah, pagi tadi saya benar-benar kaget ketika membaca kabar wafatnya Pak Fatwa dari seorang kawan via grup WA yang saya ikuti. Padahal saya sudah ada rencana untuk datang ke sebuah acara seminar di Hotel Pullman, “Agama dan Pemilu 2018, Membangun Atau Meruntuhkan” yang sudah ramai sejak beberapa hari sebelumnya di media sosial. Jadi saya tidak bisa langsung ke rumah duka. Maka sekitar pukul 14.30 siang, seusai seminar, saya langsung ke Taman Makam Pahlawan Kalibata untuk menghadiri pemakaman Pak Fatwa.

Selain para pejabat, mantan pejabat, dan aktifis senior, banyak pula wartawan jaman Orde Baru yang datang ke pemakaman Pak Fatwa. Mereka faham dan punya kenangan khusus tentang sepak terjang Pak Fatwa. Semua punya kenangan baik tentang dia. Semua mengagumi lelaki kecil bernyali besar itu. Salah satunya mantan Wakil Kepala BIN As’ad Said Ali. “Pak Fatwa ini orang yang luar biasa. Dia korban Orde Baru, tapi bisa memaafkan orang-orang yang menyakitinya,” ujarnya saat saya ajak berbincang-bincang, di sela-sela pemakaman Pak Fatwa tadi.

Allahummaghfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fuanhu waj’alil jannata matswahu…

Hanibal W Y Wijayanta

Catatan : gambar diambil dari news.detik.com. sementara judul dan konten tulisan ini diambil dari akun fb bernama Hanibal Wijayanta


0/Post a Comment/Comments