Oleh Siska Lis Sulistiani, M.Ag. M.E.Sy*
(sumber:kumparan.com) |
Di awal tahun 2018 Indonesia
diramaikan dengan berita pelarangan cadar bagi mahasiswi di institusi
pendidikan setingkat perguruan tinggi seperti UIN Sunan Kalijaga. Peraturan ini
dibuat karena cadar dianggap menjadi ‘ikon’ radikalisme, dan dinilai berafiliasi
pada gerakan terorisme. Radikalisme dalam kamus Bahasa Indonesia adalah paham
atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan social dan politik
dengan cara kekerasan atau drastis. Akan tetapi, tuduhan tersebut dialamatkan
begitu saja kepada para mahasiswi muslimah bercadar padahal selama ini, mereka
pergi ke kampusnya menenteng tas dan buku, bukan senjata. Stigma negatif
tersebut dibuat tidak berdasar karena tidak ada korelasi yang kuat antara cadar
dan radikalisme.
Pelarangan cadar ataupun hijab bukan hal yang
baru terjadi di negara mayortas muslim Indonesia. Di tahun 2014 berdasarkan
laporan komnas HAM, terjadi pelarangan penggunaan hijab di lingkungan sekolah hampir
seluruh daerah di Bali (Republika.com). Di tahun 2015 terjadi kembali
pelarangan menggunakan jilbab di SMP dan SMK di Tulungagung Jawa Timur
(Republika. Com). Dan masih banyak bentuk kasus diskriminatif terhadap
perempuan muslimah hanya karena pemakaian identitas keagamaan yang diyakininya,
di ruang publik seperti sekolah dan lingkungan kerja.
Cadar secara bahasa adalah kain
penutup kepala atau muka bagi perempuan. Penggunaan cadar oleh seorang muslimah
pasti disertai penggunaan hijab yang menjulur menutupi tubuh (hijab syar’i).
Geliat penggunaan hijab syar’i dan cadar di Indonesia di empat tahun terakhir semakin meningkat dan
menggambarkan semangat berislam yang tinggi. Bahkan bukan hanya di masyarakat
pada umumnya, bahkan dikalangan selebritis dan para mahasiswi pun semakin menjamur.
Sangat disayangkan, jika kondisi ini dinilai sebagai bentuk ancaman yang menjurus
pada bentuk radikalisme. Para perempuan muslimah di Indonesia hanya ingin
dengan bebas dan tenang mengamalkan apa yang menjadi keyakinannya, memakai
sesuatu yang dianggapnya menjadi bagian dari kebenaran berdasarkan pilihan
imannya. Padahal kebebasan menjalankan ajaran agama bagian dari HAM, serta
kebebasan beragama dan berkeyakinan, telah dijamin oleh UUD 1945.
Cadar dalam lingkup fiqh Islam pada
dasarnya adalah sesuatu yang mubah
(boleh) bahkan sebagian ulama memandangnya sunnah (dianjurkan),
dengan tujuan utama adalah untuk menjaga diri para perempuan muslimah dari
pandangan-pandangan buruk. Mengingat, daya Tarik perempuan pada umumnya penuh
dengan sejuta pesonanya, sehingga dengan tujuan kemaslahatan bagi diri
perempuan muslimah maupun masyarakat, Islam mewajibkan untuk menutup secara
sempurna aurat muslimah di ruang publik (QS. An-Nur: 31), kecuali muka dan
telapak tangan (berdasarkan hadist Asma Binti Abu Bakar). Penggunaan hijab dan
cadar bagian dari implementasi dari kebebasan beragama yang seharusnya
dilindungi oleh setiap elemen bangsa, wa bil khusus institusi
pendidikan. Karena dari institusi pendidikan itulah pemahaman saling menghargai
serta menanamkan nilai-nilai kemanusiaan ditanamkan.
Pada dasarnya konsep HAM adalah hak yang melekat pada
martabat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan dan bersifat fitri (kodrati),
bukan merupakan pemberian manusia atau negara. Selain itu, dalam Islam, hak
asasi manusia (huquq al-insan) sangat dijung-jung tinggi, karena itu
menjadi bagian dari tujuan adanya hukum Islam (maqashid syari’ah) yaitu
untuk dapat menghargai jiwa, kehormatan dan agama. Karena itu, manusia sudah
seharusnya saling menghargai setiap jiwa, keyakinan, pilihan dan kehormatan
orang lain.
Pancasila sebagai dasar dan falsafah
Negara Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, membawa konsekuensi
logis bahwa hukum di Indonesia harus tetap konsisten dengan dan dilandasi oleh
nilai-nilai ke-Tuhanan yang maha Esa dan tidak mengabaikan hukum Islam. Maka
tidak seharusnya seorang perempuan muslimah dilarang menggunakan cadar atau
hijab yang dinilai menjadi bagian dari identitas pengamalan keyakinannya
terhadap hukum Islam.
Sikap diskriminasi terhadap kaum muslimah dalam menggunakan
hijab ataupun cadar merupakan bagian dari pelanggaran hak asasi manusia. Mengingat,Indonesia berdiri di atas tiang fondasi Pancasila yang menjadi
landasan filosofis dan yuridis Negara ini, sehingga penegakan hukum dan hak
asasi manusia seharusnya berbanding lurus dengan substansi pengamalan sila
pertama Pancasila, yaitu Ketuhanan yang Maha Esa dalam Pasal 29 UUD 1945.
Semoga jalan panjang para perempuan muslimah dalam memperoleh hak asasinya
dalam berkeyakinan di Negara Kesatuan Republik Indonesia, dapat kembali tenang,
damai dan merdeka.
Siska Lis Sulistiani, M.Ag. M.E.Sy
Bidang Perempuan PP KAMMI 2017-2019