Hukum Mendirikan Jama'ah Shalat di Suatu Masjid, Dimana Jama'ah yang Pertama Telah Selesai


Para ulama’ sepakat, jika suatu masjid tidak memiliki jama’ah tetap, semisal masjid yang berada di pinggir jalan, atau di terminal, atau di pemberhentian bus dan semisalnya, maka dibolehkan untuk mengulangi jama’ah shalat. Mereka juga bersepakat, dibolehkannya untuk mengulang jama’ah shalat di suatu masjid yang tidak memiliki muadzin dan imam tetap.

Menurut mayoritas fuqaha’, dibolehkan juga untuk menegakkan jama’ah shalat terlebih dahulu, dari orang-orang yang bukan termasuk dari jama’ah masjid yang biasa shalat, kemudian setelah itu diadakan shalat jama’ah berikutnya dengan muadzin dan imam rawatib masjid tersebut.
Yang menjadi perselisihan, jika suatu masjid yang memiliki imam rawatib telah selesai dari melaksanakan shalat secara berjama’ah, bolehkah orang-orang yang datang setelahnya mengadakan shalat dengan berjama’ah ? Menurut jumhur ulama’, yaitu Abu Hanifah, Malik, dan Asy-Syafi’i, tidak diperbolehkan. Hendaknya orang-orang yang datang setelahnya shalat sendiri-sendiri. Jika ingin shalat jama’ah, maka hendaknya mencari tempat lain atau pulang ke rumahnya.
Imam Asy-Syafi’i –rahimahullah- berkata dalam kitab “Al-Umm” (1/278) berkata :
وإن كان للمسجد إمام راتب، ففاتت رجلاً أو رجالاً فيه الصلاة، صلّوا فرادى، ولا أحب أن يصلّوا فيه جماعة …
“Jika suatu masjid memiliki imam rawatib (imam tetap), lalu ada ada seorang atau beberapa orang yang luput shalat di dalamnya, hendaknya mereka shalat sendiri-sendiri dan aku tidak senang untuk mereka shalat secara berjama’ah di masjid tersebut...”
Imam An-Nawawi –rahimahullah- (w. 676 H)berkata :
المجموع شرح المهذب (4/ 222)
أَمَّا حُكْمُ الْمَسْأَلَةِ فَقَالَ أَصْحَابُنَا إنْ كَانَ لِلْمَسْجِدِ إمَامٌ رَاتِبٌ وَلَيْسَ هُوَ مَطْرُوقًا كُرِهَ لِغَيْرِهِ اقامة الجماعة فيه ابتداء قبل فوات مجئ إمَامِهِ وَلَوْ صَلَّى الْإِمَامُ كُرِهَ أَيْضًا إقَامَةُ جَمَاعَةٍ أُخْرَى فِيهِ بِغَيْرِ إذْنِهِ هَذَا هُوَ الصَّحِيحُ الْمَشْهُورُ وَبِهِ قَطَعَ الْجُمْهُورُ
“Adapun hukum masalah, para sahabat kami berkata : Jika suatu masjid memiliki imam rawatib dan bukan masjid yang terletak di pinggir jalan, dimakruhkan bagi selainnya (selain imam rawatib) untuk menegakkan jama’ah di dalamnya sedari awal sebelum luputnya kedatangan imamnya. Seandainya imam telah selesai shalat, juga dimakruhkan untuk menegakkan jama’ah lain di dalamnya tanpa ijinnya. Dan ini merupakan pendapat yang shahih (benar) dan masyhur, serta telah dipastikan oleh JUMHUR (mayoritas ulama’).”
Senanda dengan apa yang disebutkan oleh imam Asy-Syafi’i dan An-Nawawi, bisa dilihat juga dalam beberapa kitab, diantaranya : Badai’ush Shana’i’ (1/418), Tuhfatul Fuqaha’ karya As-Samarqandi (1/188) dan Hasyiyah Ibnu ‘Abidin : (1/377,396,553).
Dalil mereka, hadits Abu Hurairah –radhiallahu ‘anhu- beliau berkata, Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda :
صحيح البخاري (1/ 131)
644 - حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ، قَالَ: أَخْبَرَنَا مَالِكٌ، عَنْ أَبِي الزِّنَادِ، عَنِ الأَعْرَجِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِحَطَبٍ، فَيُحْطَبَ، ثُمَّ آمُرَ بِالصَّلاَةِ، فَيُؤَذَّنَ لَهَا، ثُمَّ آمُرَ رَجُلًا فَيَؤُمَّ النَّاسَ، ثُمَّ أُخَالِفَ إِلَى رِجَالٍ، فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ بُيُوتَهُمْ... »
“Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh aku ingin memerintahkan agar dikumpulkan kayu bakar. Kemudian aku perintahkan shalat. Lalu diadzani, lalu aku perintahkan seorang untuk mengimami manusia. Setelah itu aku akan pergi kepada beberapa orang yang tidak hadir shalat berjama’ah, lalu aku akan bakar rumah-rumah mereka…” [ HR. Al-Bukhari : 644/1/131].
Sisi pendalilannya, bahwa nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- akan membakar rumah-rumah mereka yang tidak hadir dalam shalat jama’ah. Dimana dzahir hadits menunjukkan, bahwa ha itu pada jama’ah pertama. Jika anjuran shalat berjama’ah itu pada jama’ah pertama, hal ini mengharuskan bahwa jama’ah kedua dimakruhkan (dibenci) untuk diadakan. Karena jika dibolehkan, ancaman tersebut tidak berguna. Karena sangat mungkin mereka akan membuat jama’ah kedua untuk menunaikan shalat.
Al-Utsmani berkata dalam “I’laus Sunan” (4/246) :
دلّ الحديث بعبارته أن الجماعة الأولى هي التي ندب الشارع إلى إتيانها كما يفيده قوله صلى الله عليه وسلم: "هممت أن آمر رجلاً يصلّي بالناس ثم أخالف إلى رجال يتخلفون عنها" فلو كانت الجماعة الثانية مشروعة لم يهم بإحراق من تخلف عن الأولى لاحتمال إدراك الثانية، إذا ثبت هذا فنقول: إن وجوب الإتيان إلى الجماعة الأولى يستلزم كراهة الثانية في المسجد الواحد حتماً، فإنهم لا يجتمعون إذا علموا أنهم لا تفوتهم الجماعة الثانية.
“Dengan ungkapannya, hadits di atas menunjukkan, sesungguhnya jama’ah pertama, adalah yang jama’ah yang Allah anjurkan untuk mendatanginya. Sebagaimana ucapan nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah memberikan faidahnya : “....Setelah itu aku akan pergi kepada beberapa orang yang tidak hadir shalat berjama’ah, lalu aku akan bakar rumah-rumah mereka…”. Seandainya jama’ah kedua dianjurkan, maka nabi tidak akan berkeinginan keras untuk membakar rumah-rumah orang yang tidak hadir dalam shalat jama’ah pertama, karena sangat mungkin mereka akan mendapatkan jama’ah yang kedua. Jika ini telah pasti, maka kami katakan : sesungguhnya wajibnya untuk mendatangi jama’ah pertama, mengharuskan dibencinya jama’ah kedua dalam satu masjid secara pasti. Karena sesungguhnya mereka tidak akan berkumpul apabila tahu sesungguhnya mereka tidak akan luput dari shalat jama’ah kedua.”
Dalam hadits Abu Bakrah –radhiallahu ‘anhu- beliau berkata :
المعجم الأوسط (5/ 35)
4601 - حَدَّثَنَا عَبْدَانُ بْنُ أَحْمَدَ قَالَ: نَا هِشَامُ بْنُ خَالِدٍ الدِّمَشْقِيُّ قَالَ: نَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ قَالَ: أَخْبَرَنِي أَبُو مُطِيعٍ مُعَاوِيَةُ بْنُ يَحْيَى، عَنْ خَالِدٍ الْحَذَّاءِ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي بَكْرَةَ، عَنْ أَبِيهِ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «أَقْبَلَ مِنْ نَوَاحِي الْمَدِينَةِ يُرِيدُ الصَّلَاةَ، فَوَجَدَ النَّاسَ قَدْ صَلَّوْا، فَمَالَ إِلَى مَنْزِلِهِ، فَجَمَعَ أَهْلَهَ، فَصَلَّى بِهِمْ»
“Nabi datang dari arah kota Madinah ingin shalat. Lalu beliau mendapatkan para sahabat telah selesai shalat. Maka beliau pulang ke rumahnya lalu mengumpulkan keluarganya dan shalat bersama mereka.”
Imam Al-Haitsami –rahimahullah- mengatakan : “Rawi-rawinya orang-orang kepercayaan.” [ Majma’ Az-Zawaid : 2/45]. Sebagian ulama’, diantaranya Ibnu Rajab Al-Hambali –rahimahalullah- melemahkan hadits ini dikarenakan di dalam sanadnya ada rawi yang bernama Mu’awiyah bin Yahya, dan beliau seorang yang dhaif (lemah) (Fathul Bari : 5/6).
Telah diriwayatkan dari Al-Hasan Al-Bashri –rahimahullah- beliau berkata :
مصنف ابن أبي شيبة (2/ 113)
7111 - حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، عَنْ أَبِي هِلَالٍ، عَنْ كَثِيرٍ، عَنِ الْحَسَنِ، قَالَ: «كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، إِذَا دَخَلُوا الْمَسْجِدَ وَقَدْ صُلِّيَ فِيهِ صَلَّوْا فُرَادَى»
“Para sahabat Muhammad–shallallahu ‘alaihi wa sallam-, apabila mereka masuk masjid yang telah selesai shalat di dalamnya, mereka shalat sendiri-sendiri (di masjid tersebut).”
Kalimat “para sahabat”, menunjukkan bahwa hal ini merupakan suatu amaliah yang telah masyhur dan menjadi ciri khas mereka. Dan sudah barang tentu, perbuatan ini memiliki sandaran dan asal dari nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Sehingga hadits Abu Bakrah walaupun sanadnya dhaif, akan tetapi jika tambah dengan ucapan Al-Hasan Al-Bashri kemudian dikuatkan lagi dengan amaliah jumhur ulama’ terhadap kandungan maknanya, maka tentunya hal ini lebih dari cukup sebagai sandaran seorang muslim untuk mengamalkannya. Terlebih, telah ada hadits shahih dari Abu Hurairah –radhiallahu ‘anhu- dalam “Shahih Al-Bukhari” yang telah disebutkan di atas yang menunjukkan akan hal ini walaupun secara tidak langsung (secara mafhum).
Imam rawatib di suatu masjid, kedudukannya sebagaimana pemilik sebuah rumah. Dia seorang yang paling berhak dan paling berkuasa perihal pelaksanaan shalat berjama’ah di masjid tersebut. Jika ada seorang yang hendak mengulang jama’ah shalat setelahnya tanpa ijin darinya, itu sama saja “masuk rumah orang tanpa ijin”. Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda :
صحيح مسلم (1/ 465)
وَلَا يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ الرَّجُلَ فِي سُلْطَانِهِ، وَلَا يَقْعُدْ فِي بَيْتِهِ عَلَى تَكْرِمَتِهِ إِلَّا بِإِذْنِهِ
“Seorang tidak boleh untuk mengimami orang lain di wilayah kekuasaannya dan tidak boleh duduk di rumahnya kecuali dengan ijinnya.”
Imam An-Nawawi –rahimahullah- berkata :
شرح مسلم 5/173
إن صاحب البيت والمجلس وإمام المسجد أحقّ من غيره
“Sesungguhnya pemilik rumah, pemilik majelis, dan imam masjid, adalah orang yang paling berhak (terhadap hal itu semua) dari selainnya.”
Menurut jumhur, Illat (sebab) larangan makruh dalam hal ini, karena pengulangan jama’ah shalat –dengan adanya imam tetap untuk shalat lima waktu di suatu masjid-, secara umum akan menjadi sebab terjadinya perpecahan di kalangan muslimin. Sebagaimana hal ini telah dinyatakan oleh Imam Asy-Syafi’i –rahimahullah- :
الأم للشافعي (1/ 180)
وَإِنَّمَا كَرِهْت ذَلِكَ لَهُمْ؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ مِمَّا فَعَلَ السَّلَفُ قَبْلَنَا بَلْ قَدْ عَابَهُ بَعْضُهُمْ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : وَأَحْسَبُ كَرَاهِيَةَ مَنْ كَرِهَ ذَلِكَ مِنْهُمْ إنَّمَا كَانَ لِتَفَرُّقِ الْكَلِمَةِ وَأَنْ يَرْغَبَ رَجُلٌ عَنْ الصَّلَاةِ خَلْفَ إمَامِ جَمَاعَةٍ فَيَتَخَلَّفُ هُوَ وَمَنْ أَرَادَ عَنْ الْمَسْجِدِ فِي وَقْتِ الصَّلَاةِ فَإِذَا قُضِيَتْ دَخَلُوا فَجَمَعُوا فَيَكُونُ فِي هَذَا اخْتِلَافٌ وَتَفَرُّقُ كَلِمَةٍ وَفِيهِمَا الْمَكْرُوهُ.
“Aku memakruhakn hal itu, hanya karena ia bukan termasuk perkara yang diamalkan para salaf sebelum kita, bahkan sebagian mereka mencelannya. (Asy-Syafi’i) berkata : Aku mengira, bahwa ulama’ yang memakruhkan hal itu dari mereka, hanya karena akan menimbulkan perpecahan dan seorang akan enggan untuk shalat di belakang imam jama’ah (imam rawatib) sehingga dia dan orang yang ingin ke masjid di waktu shalat akhirnya tertinggal. Maka apabila telah selesai, mereka baru masuk (masjid), lalu berjama’ah. Maka ini merupakan perselisihan dan perpecahan serta terdapat perkara yang dibenci di dalam keduanya.”
Kemudian diqiyaskan kepada hal ini segala sesuatu yang akan menimbulkan mudharat dan fitnah di kalangan muslimin. Diantara tujuan shalat berjama’ah, untuk mewujudkan adanya persaudaraan dan persatuan di kalangan muslimin. Oleh karena itu, jika pengulangannya di suatu masjid akan menimbulkan mafasid (kerusakan) dan fitnah berupa perpecahan, permusuhan dan kebencian, maka “mencegah kerusakan itu lebih diutamakan dari mengambil kemanfaatan”. Demikian kaidah yang masyhur di kalangan para ulama’.
Dalam “Mushannaf Ibnu Abi Syaibah” diriwayatkan dari Al-hasan Al-Bashri –rahimahullah- beliau berkata :
حدثنا هشيم، أخبرنا منصور عن الحسن قال: "إنما كانوا يكرهون أن يجمعوا مخافة السلطان
“Mereka (para salaf) membenci untuk mengadakan jama’ah (kedua) karena takut kepada penguasa.”
Adapun riwayat-riwayat sekilas memberikan isyarat untuk dibolehkan mengadakan pengulangan jama’ah shalat di suatu masjid, dibawa kepada kepada kemungkinan-kemungkinan yang berkesesuaian dengan dalil-dalil serta keterangan yang dibawakan jumhur ulama’, seperti : mungkin masjid tersebut tidak memiliki imam rawatib, atau masjid pinggir jalan yang tidak memiliki jama’ah yang tetap dan paten, atau pengulangan dilakukan dengan ijin dari imam rawatib, atau pengulangan tidak akan beresiko kepada hal-hal buruk dan fitnah di kalangan muslimin. Dalil-dalil tersebut di antaranya :
>> Telah diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al-Khudri –radhiallahu ‘anhu- beliau berkata :
«جَاءَ رَجُلٌ، وَقَدْ صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَالَ: أَيُّكُمْ يَتَّجِرُ عَلَى هَذَا؟ فَقَامَ رَجُلٌ، فَصَلَّى مَعَهُ»
“Seorang laki-laki datang dalam kondisi Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah selesai shalat. Maka beliau berkata : “Siapa yang ingin bersedekah untuknya ?” Maka ada seorang berdiri lalu shalat bersamanya.” [ HR. At-Tirmidzi dan sanadnya hasan ].
Dalam hadits ini terjadi pengulangan jama’ah. Akan tetapi dengan ijin dan restu dari Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Karena beliau sendiri yang menawarkannya. Kondisi seperti ini-pun menurut jumhur juga boleh.
>> Telah diriwayatkan dari Anas bin Malik –radhiallahu ‘anhu- :
أنه جاء إلى مسجد قد صُلي فيه فأذن وأقام وصلّى جماعة
“Sesungguhnya beliau datang ke suatu masjid yang shalat jama’ah telah selesai di dalamnya. Maka beliau adzan, iqamat, lalu shalat secara berjama’ah.” [ HR. Al-Bukhari secara mu’allaq : 2/131 dan sanadnya telah dimaushulkan di tempat lain ].
Apa yang dilakukan oleh Anas bin Malik dalam riwayat di atas di masjid yang tidak memiliki imam rawatib. Dengan beberapa indikasi, diantaranya : 1). Kalimat “di suatu masjid”. Kalimat ini menunjukkan bahwa masjid di sini bukan masjid nabawi. Karena seandainya demikian, tentu lafadznya akan datang dengan alif lam (lit ta’rif). 2). Beliau mengadzani dan iqamat sendiri. Ini menunjukkan, bahwa masjid itu tidak memiliki muadzin tetap. Karena jika ada, tentu beliau tidak akan berani melakukannya.
>> Dan dalil-dalil yang lainnya.
Para ulama’ Hanabilah sendiri, masih terjadi silang pendapat dalam masalah ini. Ada yang menyatakan boleh secara mutlak, seperti Ibnu Qudamah Al-Maqdisi sebagaimana dalam “Al-Mughni” (2/132). Ada yang membolehkan apabila tidak terjadi mafsadah (kerusakan) ataupun fitnah sesuai dengan pendapat jumhur (Raudhatul Murbi’ : 2/271). Bahkan secara amaliah, di Saudi (di masjid nabawi dan masjid haram) walaupun mereka mengikuti madzhab Hambali, akan tetapi pengulangan jama’ah dilarang di sana karena kedua masjid tersebut memiliki imam tetap yang telah ditunjuk oleh negara.
Sehingga jika disimpulkan, larangan (atau tepatnya dimakruhkannya) pengulangan jama’ah di suatu masjid yang memiliki imam rawatib, bersifat kondisional dan situasional. Jika akan menimpulkan fitnah dan mafsadah, maka makruh. Namun jika tidak menimbulan kemungkinan-kemungkinan negatif, maka boleh.
Ada suatu perbuatan yang asalnya masyru’ (disyari’atkan), akan tetapi jika akan menimbulkan mafsadat (kerusakan atau fitnah) maka menjadi dilarang. Imam Asy-Syathibi –rahimahullah- berkata :
يكون العمل في الأصل مشروعاً، لكن يُنهى عنه لما يؤول إليه من المفسدة
“Asal suatu amalan terkadang masyru’ (disyari’atkan), akan tetapi dilarang karena akan ada kerusakan yang kembali kepadanya”
Imam Asy-Syafi’i –rahimahullah- berkata :
الأم للشافعي (1/ 180)
وَإِنَّمَا أَكْرَهُ هَذَا فِي كُلِّ مَسْجِدٍ لَهُ إمَامٌ وَمُؤَذِّنٌ، فَأَمَّا مَسْجِدٌ بُنِيَ عَلَى ظَهْرِ الطَّرِيقِ، أَوْ نَاحِيَةٍ لَا يُؤَذِّنُ فِيهِ مُؤَذِّنٌ رَاتِبٌ وَلَا يَكُونُ لَهُ إمَامٌ مَعْلُومٌ وَيُصَلِّي فِيهِ الْمَارَّةُ وَيَسْتَظِلُّونَ فَلَا أَكْرَهُ ذَلِكَ فِيهِ؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ فِيهِ الْمَعْنَى الَّذِي وَصَفْت مِنْ تَفَرُّقِ الْكَلِمَةِ...
“Aku memakruhkan hal ini hanya untuk setiap masjid yang memiliki imam dan muadzin tetap. Adapun masjid yang dibangung di pinggir jalan, atau di daerah (pelosok) yang tidak diadzani oleh muadzin tetap dan tidak memiliki imam yang sudah tertentu, digunakan untuk shalat orang yang lewat, digunakan untuk berteduh, maka aku tidak memakruhkan hal itu. Karena tidak ada makna yang telah aku sebutkan berupa tercerai berainya kalimat muslimin....”
Demikian pembahasan kami kali ini. Semoga bermanfaat dan memberikan tambahan wawasan kepada kita sekalian.







0/Post a Comment/Comments