Sekte Syiah Zaidiyah didirikan oleh Imam Zaid bin Ali Zainal
Abidin. Ia salah satu imam Ahlul- Bait ( keluarga Nabi), yang merupakan
cucu Khalifah Ali bin Abi Thalib ra dari jalur Husain. Ulama yang lahir antara
tahun 75-80 H ini hidup di masa yang sama dengan imam Abu Hanifah.
Atas pertimbangan di atas, pendiri Nahdlatul Ulama, KH Hasyim Asy’ari, mewanti-wanti agar kaum
Nadhliyin menjauhi Syiah Zaidiyah. Hal ini ditegaskan dalam beberapa karyanya
seperti Muqaddimah Qanun Asasi li jam’iyyah Nahdlatul ‘Ulama’, Risalah
Ahlus-Sunnah wal Jama’ah, an-Nur al-Mubin fi Mahabbati Sayyid al-Mursalin. Dan at-Tibyan
fi Nahyi ‘an Muqatha’ah al-Arham wa al-Aqrab wa al-Akhwan.
Imam Zaid besar dalam lingkungan para ahli agama dari
kalangan Alawiyin seperti Imam Muhammad bin al-Hasan, sepupu ayahnya. Juga
mengambil ilmu dari kakaknya, Imam Muhammad al-Baqir, seorang ahli fiqh dari
Ahlul Bait.
Meski dekat dengan kalangan Alawiyin, namun Imam Zaid
bergaul dengan berbagai kalangan. Wajar kalau
muridnya banyak yang bukan dari kalangan Alawiyin seperti Imam Abu
Hanifah dan Sufyan ats-Tsauri.
Kecerdasannya diakui oleh Imam Abu Hanifah, “ Aku tidak
melihat ada yang lebih pintar daripada Imam Zaid di zamannya, dan juga tidak
menemukan orang yang bisa secepat seperti Imam Zaid dalam menjawab pertanyaan,
serta lugas penjelasannya.” (Khoiruddin al-Zirkily, al-A’lam).
Meski Imam Zaid dimasukkan sebagai salah satu imam tokoh
Syiah, namun pandangannya sangat berbeda dengan Syiah pada umumnya. Kelompok
Syiah biasanya menyebut Abu Bakar Shidiq dan Umar bin Khatab RA sebagai
perampas kekuasaan. Imam Zaid menentang pendapat tersebut.
Suatu saat sekelompok orang Syiah berkata kepadanya, “Wahai
Imam (Zaid), tabarra’ (berlepas diri)-lah dari Abu Bakar dan Umar. Kalau
kau sudah ber-tabarra’ dari keduanya, kami akan membaiat anda!”
Imam Zaid tegas menjawab, “Tidak!Aku tidak akan berlepas
diri dari mereka berdua.”
“Kalau begitu, kami menolakmu (rafadh)!”
Kata Imam Zaid, “Baik, pergilah kalian! Kalian semua adalah rafidhah
(penolak/penentang).
Sejak saat itulah istilah “rafidhah” digunakan bagi mereka
yang membenci dan menentang Abu Bakar dan Umar. Sedangkan nama “Zaidiyah”
digunakan bagi pengikut Imam Zaid dalam panadangannya terhadap Abu Bakar dan
Umar. (Ali bin Ibrahim al-Halabi, aas-sirah al-Halabiyah, 2/49).
Syiah Zaidiyah tidak menghina Abu Bakar dan Umar. Hanya saja
lebih mendahulukan atau mengutamakan Ali bin Abi Thalib Ra ketimbang keduanya. (Muhammad
al-Khudhari bik, Tarikh at-Tasry’ al-Islami).
Sebagaimana Ahlus-Sunnah, Zaidiyah menentang dan tidak
membenarkan nikah mut’ah (kontrak). Namun meski secara ushul Zaidiyah dekat
dengan Ahlus-Sunnah, namun beberapa hal cenderung ke Mu’tazilah.
Perbedaan dengan Ahlus-Sunnah terjadi dalam masalah furu’iyah
(cabang) seperti dalam hal mengusap dua khuf (alas kaki) dalam
bersuci. Juga mengharamkan laki-laki muslim menikah dengan wanita kitabiyah,
baik Nasrani atau Yahudi. Sedangkan mazhab Ahlus-Sunnah membolehkan.
(Al-Hafnawi, al-Fath al-Mubin fi Ta’rif Musthalah al-Fuqaha’ wa al-Ushuliyin)
Bergeser ke Imamiyah
Pemikiran Imam Zaid dibukukan oleh muridnya yang bernama Abu
Khalid bin Amr bin Khalid al-Washity. Riwayat hadistnya disebut dengan majmu’
al-Hadist, sedangkan riwayat fiqihnya (fatwa dan ijtihad) disebut dengan Majmu’
al-Fiqh. Kedua kitab induk ini disebut oleh kebanyakan ulama Zaidiyah
dengan istilah al-Majmu’ al-Kabir. Kitab ini menjadi rujukan
Syiah Zaidiyah (Muhammad Abu Zahra, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah, hal
657-658)
Pembahasan kitab ini sama dengan fiqh Mazahib al-Arba’ah (Hanafi,
Maliki, Syafi’i, dan Hambali) di kalangan Ahlus-Sunnah. Menurut para ulama ,
fiqh Zaidiyah hampir sama dengan fiqh Mzahib al-Arba’ah. Khususnya dalam
masalah ibadah dan masalah-masalah yang fardhu.
Dalam melakukan ijtihad, Imam Zaid mendasarkan pada al-Qur’an,
as-Sunnah, qiyas, dan akal. Juga memasukkan istihsan dan mashlahah
mursalah ke dalam pembahasan qiyas. (Muhammad Abu Zahra, Tarikh al-Mazahib
al-Islamiyah, hal 663).
Dalam menerima Hadist, mazhab ini tidak diskriminatif. Mereka
tidak mempermasalahkan periwayatan Hadist dari semua Sahabat, walaupun tidak mendukung
Ali sebagai Khalifah. Berbeda dengan mazhab Syiah Imamiyah yang tidak mau
menerima riwayat selain dari kalangannya sendiri. Karenanya wajar jika banyak
pendapat fiqh Syiah Imamiyah yang berbeda dengan Ahlus-Sunnah, bahkan dengan
Mazhab Zaidiyah sekalipun.
Setelah Imam Zaid meninggal, metode ini diteruskan oleh
murid-muridnya. Mereka menyebutnya Ushul Aimah al-Zaidiyah atau Ushul Fiqh
Zaidiyah.
Ijtihad dalam mazhab ini tidak terbatas dilakukan oleh
keluarga Husain bin Ali bin Abi Thalib, tetapi juga membolehkan dari keluarga
Hasan bin Ali bin Abi Thalib. (Muhammad Abu Zahra, Tarikh al-Mazahib
al-Islamiyah, hal 667). Initinya, ijtihad dalam mazhab ini sangat terbuka.
Ulama-ulama yang terkenal dari Mazhab Zaidiyah antara lain
Hasan bin Shalih bin Hay (168 H), Hasan bin Zaid bin Muhammad yang bergelar
Imam Da’i ila al-Haq (imam pengajak kepada kebenaran) yang juga menjadi raja di
Tabaristan pada tahun 250-270 H, Qasim bin Ibrahim al-Alawi dan cucunya al-Hadi
Yahya bin Husain bin Qasim, Abu Ja’far al-Muradi. (Subhi al-Mahshani, falsafah
at-Tasyri fi al-Islam, hal 62).
Juga ada imam San’ani pengarang kitab Subulus-Salam dan
muridnya Imam Syaukani dengan karyanya Nailul-Authar. Kedua kitab
tersebut menjadi pegangan kalangan Ahlus-Sunnah.
Pengikut Zaidiyah terbesar di Hijaz, Iraq, Yaman, dan
sebagian kecil di negeri-negeri Muslim.
Sayangnya, kedekatan dengan Ahlus-Sunnah itu tidak diikuti
oleh generasi penerusnya. Terbukti pada abad 20-an, mereka lebih memilih
mendekat ke syiah Imamiyah.
Dalam kitab kitab itu, kiayi Hasyim sangat gamblang
memberikan kritik terhadap ajaran Syiah. Menurutnya, baik Syiah Imamiyah maupun
Zaidiyah adalah mazhab yang tidak benar. *Bahrul Ulum/suara Hidayatullah.
Catatan : sumber diambil dari majalah Hidayatullah edisi
Juni 2018/Ramadhan 1439 H.