Tentram dengan Asuransi Syariah

Oleh Alfiz Rahdian*

Perkembangan industri keuangan syariah pada tingkat nasional maupun internasional sungguh menakjubkan bahkan di luar perkiraan banyak orang. Perkembangan yang cepat tersebut mungkin juga di dorong  oleh krisis-krisis yang telah dialami industri keuangan kapitalis yang menganut sistem ekonomi kapitalis baik yang terjadi di Amerika maupun di benua Eropa.
Ketertarikan kepada industri keuangan syariah terutama disebabkan oleh karena industri bisnis ini dioperasikan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah yang memiliki kecenderungan berperilaku baik dan berazaskan taat, yang hal tersebut merupakan indikator-indikator dari penegakkan iman dan takwa dari seorang muslim. Dengan demikian akan terwujudlah bisnis yang berkembang dengan tetap berlandaskan pada kaidah-kaidah syariah yang tidak hanya bertujuan untuk keberhasilan materi (keuntungan) semata, tetapi juga spiritual yang menjamin sustainability keberlangsungan hidup usaha dalam jangka panjang.


Hal tersebut juga berlaku dalam industri sektor perasuransian, bisnis industri asuransi syariah telah menjadi perhatian dalam kajian di kalangan para pelaku dan pemegang regulasi industri perasuransian. Sedemikian ekslusifnya sehingga asuransi syariah memiliki regulasi tersendiri, seperti dalam hal syarat permodalan, pengukuran tingkat kesehatan, dan juga dari sisi organ pada aspek pengawasan usaha.

Perkembangan nyata dalam angka sendiri asuransi syariah di Indonesia cukup pesat, dikutip dari data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, pada kuartal tiga tahun 2017 kontribusi asuransi syariah mencapai Rp 9,56 triliun. Nominal tersebut meningkat 8% secara tahun per tahun atau year on year (yoy) sebesar Rp 8,86 triliun. Total investasi asuransi syariah pun juga mengikuti. Hingga sembilan bulan tahun 2017 tercatat Rp 33,52 triliun, naik 16,75% dibandingkan periode sama tahun 2016 yang baru tercatat Rp 28,71 triliun.

Dengan begitu, aset industri asuransi syariah ikut meningkat 19,46% menjadi Rp 39,41 triliun dengan tingkat naik tipis menjadi 0,097%. Sementara di posisi September 2016, asuransi syariah berada pada tingkat kenaikan 0,096%. Merupakan suatu perkembangan yang patut di apresiasi namun perlu peningkatan kepada potensi pasar industri perasuransian. Perlu adanya usaha dalam hal pengadaaan edukasi wawasan terhadap asuransi syariah kepada masyarakat, karena minimnya tingkat edukasi masyarakat tentang asuransi syariah, bahkan pada asuransi konvensional itu sendiri.

Makna asuransi atau pertanggungan sendiri dalam UU, No. 2/1992, Pasal 1 berbunyi perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tangung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari peristiwa yang tidak pasti atau untuk pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
Jadi dengan kata lain, asuransi adalah salah satu bentuk pengendalian risiko yang dilakukan dengan cara mengalihkan (transfer) risiko dari satu pihak ke pihak lain dalam hal ini merupakan perusahaan asuransi. Premi asuransi atau biaya berasuransi merupakan syarat adanya perjanjian asuransi, karena tanpa adanya premi tidak akan ada asuransi (No premium No Insurance).

Namun praktik asuransi diatas menggunakan sistem konvensional, ada beberapa indikator-indikator dari prinsip yang dilarang oleh Islam tetapi merupakan landasan sehari-hari dalam operasional asuransi konvensional baik dari sisi nasabah maupun perusahaan asuransi itu sendiri. Dalam akad maupun prinsip yang dilarang dalam Islam yang merupakan cikal bakal munculnya asuransi syariah.
Akad perjanjian yang terjadi dalam asuransi konvensional adalah akad untuk mencari keuntungan. Jika di tinjau lebih mendalam, akad asuransi konvensional sendiri mengandung gharar (unsur ketidak jelasan). Ketidak jelasan dari kapan waktu nasabah akan menerima timbal balik berupa klaim. Tidak setiap orang yang menjadi nasabah bisa mendapatkan klaim. Ketika ia mendapatkan tragedi atau resiko, baru ia bisa meminta klaim. Padahal tragedi di sini bersifat tak tentu, tidak ada yang bisa mengetahuinya. Boleh jadi seseorang mendapatkan tragedi setiap tahunnya, boleh jadi selama bertahun-tahun ia tidak mendapatkan tragedi. Ini sisi gharar pada waktu.

Dari sisi lain, asuransi konvensional mengandung unsur judi. Bisa saja nasabah tidak mendapatkan tragedi atau bisa pula terjadi sekali, dan seterusnya. Di sini berarti ada spekulasi yang besar. Pihak pemberi asuransi bisa jadi untung karena tidak mengeluarkan ganti rugi apa-apa. Suatu waktu pihak asuransi bisa rugi besar karena banyak yang mendapatkan musibah atau tragedi. Dari sisi nasabah sendiri, ia bisa jadi tidak mendapatkan klaim apa-apa karena tidak pernah sekali pun mengalami tragedi atau mendapatkan resiko. Bahkan ada nasabah yang baru membayar premi beberapa kali, namun ia berhak mendapatkan klaimnya secara utuh, atau sebaliknya. Inilah judi yang mengandung spekulasi tinggi.

Asuransi konvensional mengandung unsur riba fadhl (riba perniagaan karena adanya sesuatu yang berlebih) dan riba nasi’ah (riba karena penundaan) secara bersamaan. Bila perusahaan asuransi membayar ke nasabahnya atau ke ahli warisnya uang klaim yang disepakati, dalam jumlah lebih besar dari nominal premi yang ia terima, maka itu adalah riba fadhl. Adapun bila perusahaan membayar klaim sebesar premi  yang ia terima namun ada penundaan, maka itu adalah riba nasi’ah (penundaan). Dalam hal ini nasabah seolah-olah memberi pinjaman pada pihak asuransi. Tidak diragukan kedua riba tersebut haram menurut dalil dan kesepakatan ulama.

Berbeda dengan asuransi syariah yang merupakan solusi dari asuransi konvensional, asuransi syariah sendiri telah menghindarkan operasi mereka dari indikator-indikator yang melanggar prinsip aturan Islam, yakni adanya akad gharar, unsur judi dan riba.

Asuransi dalam perspektif syariah adalah suatu bentuk kegiatan saling memukul risiko diantara sesama manusia sehingga antara satu dengan yang lainnya menjadi penanggung atas risiko lainnya. Saling memikul risiko tersebut dilakukan atas dasar tolong menolong dalam kebaikan, dengan cara masing-masing mengeluarkan dana ibadah (tabarru) yang ditujukan untuk menanggung risiko tersebut. Dengan kata lain asuransi syariah adalah sistem dimana peserta menghibahkan sebagian atau seluruh kontribusi yang akan digunakan untuk membayar klaim, jika terjadi tragedi atau musibah yang dialami oleh sebagian peserta.

Asuransi syariah disebut juga dengan asuransi ta’awun yang artinya tolong menolong atau saling membantu, atas dasar prinsip syariat yang saling toleran terhadap sesama manusia untuk menjalin kebersamaan dalam meringankan tragedi atau bencana yang dialami peserta. Dalam asuransi syariah juga tidak ada perbuatan memakan harta manusia dengan jalan kebatilan (aklu amwalinnas bilbathil) serta tidak ada gharar, judi ataupun riba. Karena apa yang telah diberikan adalah semata-mata sedekah dari hasil harta yang dikumpulkan. Selain itu keberadaaan asuransi syariah akan membawa kemajuan dan kesejahteraan kepada perekonomian umat.

Perjanjian akad yang digunakan asuransi syariah pada umumnya melandasi akad tabarru dan atau akad tijarah. Dimana akad tabarru merupakan semua bentuk akad yang dilakukan dengan tujuan kebaikan dan tolong menolong atau terbebas dari tujuan komersial. Namun ada akad dalam asuransi syariah yang mewadahi untuk bertujuan komersial yakni akad tijarah, misalnya mudharabah, wadiah dan wakalah.

Bentuk-bentuk akad tersebut diterapkan berdasarkan situasi dan kondisi dari kegiatan bisnis yang dilakukan oleh pihak-pihak yang bersangkutan, karena masing-masing akad mempunyai ketentuan yang berbeda-beda di dalam penerapannya. Kemudian dari akad komersial tersebut dipastikan terbebas dari indikator-indikator yang dilarang Islam dalam berkomersil.

Namun sebagian masyarakat masih enggan berasuransi syariah, padahal beberapa pakar syariah mengapresiasi masyarakat yang mengikuti asuransi syariah, seperti yang dikatakan oleh Husain Hamid Hisan “Dengan demikian, asuransi (syariah) adalah ta’awun yang terpuji, yaitu saling tolong menolong dalam berbuat kebajikan dan taqwa. Dengan ta’awun mereka saling membantu antara sesama, dan mereka takut dengan bahaya (malapetaka) yang mengancam mereka.”.

Kemudian juga dalam kisah khalifah Umar R.A, dikisahkan bahwa suatu hari Umar R.A bertemu seorang lelaki yang baru saja duduk di bawah pohon, tak melakukan apapun. Ketika sang khalifah bertanya kepada lelaki tersebut mengapa ia tidak melakukan apa-apa, lelaki tersebut menjawab bahwa “bukankah Allah SWT, telah menentukan nasib kita? Lalu untuk apa bekerja, jika takdir ditentukan oleh-Nya” lalu sang Khalifah memukul orang tersebut, sambil pada saat yang sama memarahinya, bahwa memang betul takdir dan nasib telah ditentukan, namun tetap harus berusaha sebaik mungkin untuk meraihnnya, bukan hanya duduk tanpa berbuat apapun.

Hikmah yang diberikan Khalifah Umar R.A ialah bahwa manusia harus melakukan sesuatu (Ikhtiar) yang terbaik untuk menghindarkan diri dari bencana, kemudian barulah manusia diperintah untuk bertawakal hanya kepada Allah SWT. Untuk itu maka melakukan asuransi syariah merupakan bentuk ikhtiar manusia kepada Allah SWT dengan ikhtiar yang sebaik-baiknya untuk menggapai ketentraman di masa yang akan datang, yang kemudian diiringi dengan banyak-banyak bertawakal dan berdoa.

Ketentraman yang ditawarkan asuransi syariah dalam segi komersial maupun dalam taawun (tolong-menolong) atau segi sosial merupakan solusi bagi masyarakat yang memiliki perspektif perencanaan baik pada masa yang akan datang dengan menggunakan asuransi syariah. Tentram akan terjaminnya masa depan dengan asuransi syariah, kemudian tentram dari segala apa yang diharamkan. Maka kehidupan pun akan sejahtera di dunia, dan insyaallah akan selamat di akhirat kelak. Amin.

Referensi :
Abdullah Amrin, Meraih Berkah Melalui Asuransi Syariah, Jakarta 2011
https://muslim.or.id/9053-hukum-asuransi.html
*Mahasiswa STEI SEBI Depok

0/Post a Comment/Comments