Hikmah dari Larangan Riba Bagi Perekonomian Ummat

Oleh: Iqlima Fairuz Syifa

Riba adalah melebihkan jumlah pinjaman saat pengembalian dengan besaran yang ditentukan atas jumlah pinjaman pokok, yang dibebankan kepada si peminjam atau dengan kata lain menetapkan bunga. Lalu,menurut fuqaha riba adalah pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil baik dalam utang-piutang maupun dalam jual-beli.

Sebagai gambaran, misal A meminjam uang kepada B dengan alasan A membutuhkan uang saat itu juga untuk biaya rumah sakit ibunya. Lantas, B meminjamkan uangnya kepada A sebesar Rp. 1.000.000, namun dengan syarat A harus mengembalikan uangnya sebesar Rp. 1.500.000 kepada B nantinya.



Melihat gambaran tersebut, bisa disimpulkan bahwasanya riba merupakan suatu bentuk perbuatan ketidakadilan (zalim). Dimana A yang seharusnya ditolong, justru ia harus membayar lebih atas aktivitas peminjaman uang yang ia lakukan dengan B. Hal ini bertentangan dengan prinsip ajaran Islam yang begitu memperhatikan kelompok-kelompok masyarakat yang mempunyai tingkat perekonomian rendah agar mereka tidak dieksploitasi oleh orang-orang kaya (pemilik dana). Sebab, ajaran Ekonomi Islam mengemban misi ‘humanisme’,yakni menolak adanya bentuk ketidakadilan dan kezaliman yang menuju kepada kemiskinan.

Dalam arti yang lebih luas, riba dapat dimaknai sebagai bentuk penghapusan dari segala bentuk praktik ekonomi yang menimbulkan kezaliman atau ketidakadilan. Riba bukan berarti berada pada cakupan mengenai bank saja. Akan tetapi, riba secara luas dapat hidup laten atau poten di dalam system ekonomi yang diskriminatori, ekspatori, san predatori, yang cakupannya tidak dapat dibatasi dari segi perbankan saja.

Salah satu dampak yang diberikan apabila suatu negara menganut sistem riba adalah terjadinya kesenjangan ekonomi antara si kaya dan si miskin. Umar Chapra menyatakan suku bunga cenderung menjadi harga “yang menyesatkan” dan mencerminkan diskriminasi antara yang kaya dan miskin. Yang kaya semakin berpeluang mendapatkan kredit karena tidak semua orang mampu membayar tingkat bunga pinjaman dan hanya mereka yang mampu membayar hutang beserta bunganya saja yang punya akses ke bank dan di sinilah terjadi diskriminasi penyaluran dana dan diskriminasi akses. Di sini yang dimaksud adalah nasabah utama dan menurut Thomas Suyanto adalah mereka para konglomerat, perusahaan penanam modal asing, dan perusahaan keluarga besar.

Secara makro, walaupun tampaknya beban bunga tidak merugikan pedagang, produsen atau pengusaha karena biaya bisa digeserkan,tetapi akibatnya dalam skala yang lebih luas pergeseran beban biaya itu merupakan salah satu pendorong inflasi. Selanjutnya tingkat inflasi yang terjadi dijadikan acuan untuk menentukan bunga tabungan yang lebih tinggi. Demikian seterusnya sehingga kemudian terjadi pemindahan kekayaan secara terus menerus dari rakyat jelata yang kurang mampu kepada yang lebih mampu.

Riba sangat jelas hukumnya haram dalam Islam. Pelarangan riba (prohibition of riba) dalam Islam secara tegas dinyatakan baik dalam Al-qur’an maupun Hadis. Esensi pelarangan riba dalam Islam adalah sebagai bentuk penghapusan atas ketidakadilan dan kezaliman dalam segala praktik ekonomi.
Allah SWT berfirman dalam Surat Ali-Imran ayat ke-30, yang berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”

Dalam ayat tersebut dijelaskan,bahwasanya Allah SWT berfirman dalamrangka melarang hamba-hamba-Nya yang beriman untuk melakukan riba. Allah SWT memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk bertakwa (menjauhkan riba) semata-mata supaya mereka beruntung di dunia dan akhirat.
(Mahasiswa STEI SEBI, Depok)

0/Post a Comment/Comments