Anjing Si Kafir di Masjid Kita

Oleh Yusuf Maulana

Kata-kata beredaksi serangan pun betebaran. Penuh emosi; emosi yang karena saking cinta dan sayang pada agama ini. Sekaligus sebuah ekspresi karena ada potensi penindakan hukum yang tak adil. Ini satu kondisi yang bisa dimaklumi adanya di tengah fakirnya tendensi keadilan di negeri kita.

Kawan, sudahi membahas dengan penuh prasangka dan kesumat soal orang marah dengan kebiadabannya membawa anjing. Tak perlu kait-kaitkan dengan wacana besar bernama persekongkolan politik ini dan itu. Sederhana saja: dorong dan tekan aparat hukum untuk mengusut kasus tersebut. Jangan berhenti pada diktum: pelakunya gila. Dus, jangan ulangi pula pembiaran aparat bekerja tanpa pengawasan kita; kawal terus agar hukum jangan jadi mainan. Kita memang sering dikecewakan oleh kinerja aparat kepolisian secara institusi. Namun, kita tak boleh berhenti percaya adanya oknum-oknum aparat yang masih mengawal supremasi hukum di titik kebenaran dan keadilan otentik; bukan berdasar pada bayaran.
Lakukan itu dengan jiwa besar. Konversikan energi ghirah mencintai agama ini, dengan hasrat militansi yang karena cintai pada Rabb Ilahi, dengan kesadaran dan kesabaran matang menyusun strategi peradaban lebih panjang. Sungguh, ketimbang pikiran dan hati kita terus-menerus mengumpat perilaku satu orang yang tengah dilanda amarah (bahkan mungkin tanpa nalar), mending kita pergunakan amarah kita untuk menaikkan kinerja kita di hadapan kaum-kaum yang berani melecehkan pada kita. Ada daya tawar peradaban dari identitas bernama umat ini di negeri ini, alih-alih hanya jadi objek pendulang suara rezim yang ingin melanggengkan kekuasaan.
Entah mengapa, seturut banyak Muslim mengecam penuh keras kejadian di atas, atau oknum pendakwa dakwah Sunnah yang malah menyempitkan objek persoalan ke bahasan fiqh anjing masuk masjid, bahkan kans para Muslim liberal yang tetiba jadi bijak dengan gemakan isu kerukunan, ada yang mesti umat ini kejar dan fokuskan dengan sungguh-sungguh tapi terabaikan lagi dan terluputkan lagi. Begitu seringnya yang berlaku. Seolah agenda besarnya tidak penting dibanding persoalan yang memang begitu lekas membakar emosi (apatah lagi bisa sengaja dibakar pihak yang tak ingin umat ini segera tersadar buat memperbaiki fondasi peradabannya).
Maka, kata-kata Mehdi Nakosteen kembali terngiang di kepala saya. Tidak mudah memang menghadirkan kolaborasi kreatif sementara energi amarah kita belum terkonversi dalam wujud yang sublim: militan untuk tidak memusuhi “lawan” dan “tetangga” secara permanen. Dalam “History Islamic Origins of Western Education A.D. 800-1350 with an Introduction to Medieval Muslim Education”, Nakosteen mengingatkan keberadaan umat hari ini dan apa PR yang mesti dituntaskannya.
“Baik Kristen Latin maupun Kristen Yunani melihat kaum Muslim sebagai kaum kafir dan agama Islam sebagai kepercayaan pagan. Eropa Barat membutuhkan waktu hingga abad ke-12, atau 500 tahun setelah lahirnya Islam, untuk menghormati ilmu pengetahuan Islam, dan memerlukan tambahan waktu 500 tahun bagi dunia Muslim untuk mulai menguji konsekuensi-konsekuensi intelektual Renaisans Eropa, dimana kontribusi intelektualnya sebagian besar berasal dari mereka sendiri.”
Ilmu, tegasnya lagi: budaya ilmu, itulah yang mesti diperbuat. Meletakkan adab-adab dalam ilmu sebagaimana mestinya. Tidak fokus pada satu masalah yang sebenarnya bisa sepintas lalu, atau cukup diwakilkan pihak tertentu. Sementara pekerjaan mahaberat di depan mata malah tak ada yang menunaikan. Mari, lakukan penaikan jenjang ghirah kita. Malah semestinya lalukan lompatan kapasitas ghirah kita, kecintaan kita, yakni kecintaan yang didasari dan diterasi ilmu yang tepat dalam meneroka situasi yang ada. []
Ilustrasi: Pinterest

Sumber : FB

0/Post a Comment/Comments