APAKAH HUKUM MENCATAT HUTANG PIUTANG ?


Oleh: Iin farlina

Islam mengatur hubungan yang kuat antara akhlak, akidah, ibadah, dan muamalah. Aspek muamalah merupakan aturan main bagi manusia dalam menjalankan kehidupan sosial,sekaligus merupakan dasar untuk membangun sistem perekonomian yang sesuai dengan nilai-nilai Islam. Ajaran muamalah akan menahan manusia dari menghalalkan segala cara untuk mencari rezeki. Muamalah mengajarkan manusia memperoleh rezeki dengan cara yang halaldan baik


Islam sudah memberitahu sejak dahulu agar transaksi utang yang dilakukan di tengah masyarakat dicatat. Sebagaimana Allah berfirman dala Al-qur’an,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan Hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mendektekan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun dari hutangnya.(QS. al-Baqarah: 282).

Secara tekstual, ayat ini di atas menyebutkan bahwasanya transaksi utang piutang dan perdaganngan mom-tunai pun dilakukan dengan cara yang baik agar tidak menimbulkan fitnah,yaitu dengan cara menuliskan/melakukan pencatatn dn disertai dengan saksi ketiga.Hanya saja para  ulama berbeda pendapat tentang hukum mencatat hutang piutang,apakah di wajibkan/Sunnah.

Pertama, madzhab dzahiriyah, ayat ini menjadi dalil wajibnya menulis transaksi utang piutang yang pelunasannya tertunda. Ibnu Hazm adz-Dzahiri mengatakan,
Jika utang ditangguhkan pelunasannya, maka wajib bagi keduanya untuk menuliskannya dan mencari saksi dua orang atau lebih atau seorang lelaki dengan dua wanita yang adil, atau lebih. Jika dia dalam safar, dan tidak menemukan orang yang mencatat, jika mau, orang yang berutang bisa menggadaikan sesuatu. (al-Muhalla, 6/351)

Kedua, mayoritas ulama dari kalangan hanafiyah, malikiyah, syafiiyah, dan hambali, berpendapat bahwa mencatat transaksi utang menghadirkan saksi ketika transaksi, hukumnya tidak wajib. Sementara perintah dalam ayat sifatnya bimbingan agar manusia lebih hati-hati dan lebih yakin dalam melakukan muamalah dengan orang lain, terutama masalah utang. Sehingga 
(Ahkam al-Quran, al-Jasshas, 1/482).

Dengan memperhatikan keterangan di atas, menunjukkan bahwa hukum asal pencatatan dan saksi dalam transaksi utang itu sifatnya anjuran. Akan tetapi, jika bisa dipastikan akan menimbulkan sengketa dan pertikaian jika tidak ada pencatatan, maka mencatat transaksi utang atau menghadirkan saksi dalam hal ini statusnya wajib. Rincian semacam ini, disampaikan oleh Imam as-Sa’di dalam tafsirnya,

الأمر بكتابة جميع عقود المداينات إما وجوبا وإما استحبابا لشدة الحاجة إلى كتابتها، لأنها بدون الكتابة يدخلها من الغلط والنسيان والمنازعة والمشاجرة شر عظيم

Perintah untuk mencatat setiap akad utang piutang, bisa hukumnya wajib, dan bisa anjuran. Mengingat besarnya kebutuhan untuk mencatatnya. Akan tetapi, hendaklah benar-benar takut kepada Allah sehingga lebih baik utang-piutangnya dicatat dengan jelas atau dipersaksikan kepada orang ketiga untuk menjaga agar tidak timbul fitnah di kemudian hari. Sekalipun orang-orang yang berutang dikenal jujur dan taat dalam membayarnya, hendaklah tetap dilakukan pencatatan secara jelas untuk menjadi bukti di kemudian hari jika terjadi perselisihan mengenai jumlahnya. Demikian anjuran ini ditekankan sebab boleh jadi karena bisikan setan yang kuat kepada diri yang berutang, timbul niat kurang baik dalam dirinya yang dapat merugikan orang yang memberi utang.
Begitu Tegasnya, Islam sangat menganjurkan kepada orang yang melakukan utang piutang untuk mencatat atau mempersaksikan hal ini kepada orang ketiga. Tujuan pencatatan atau penyaksian ini adalah agar tidak timbul perselisihan atau fitnah di kemudian hari.

Wallahu 'alam bis showwab
Sumber :Maqoshid Bisnis dan Keuangan islam: Sintesis Fikih dan ekonomi/Oni Sahroni dan Adiwarman A.karim

0/Post a Comment/Comments