Oleh Fadhil Muhammad
Salah satu sifat buruk yang telah
membudaya di kalangan masyarakat tertentu yaitu Boros dalam penggunaan harta,
sadar ataupun tidak dalam mengeluarkan uang dalam membeli barang kita tidak
pernah memperhatikan aspek kebutuhan/keinginan. Terkadang banyak orang orang
yang salah menafsirkan yang keinginan disebut kebutuhan yang kebutuhan
dikatakan keingin.
Boros
itu sering di identik dengan pemuda/kalangan millennial. Orang yang senang
dengan perilaku hedonis/konsumtif atau Bahasa ringannya pengejar kesenangan
dunia sering terjadi di kalangan pemuda. Gampang tergiur dengan iklan, barang
barang yang popular serta mengikuti tren yang kebanyakan mereka tidak terlalu
pertu dengan barang terebut.
Oleh karena itu saya ingin sedikit
mengupas tentang larangan boros dalam penggunaan harta menurut islam.
Apa
yang dimaksud dengan boros? Apakah hanya
ketika pengeluaran harta besar – besaran langsung disebut boros?
Menurut
penjelasan para ulama boros itu iadalah melampaui batas dalam segala
kegiatan/perbuatan yang biasanya di
kaitkan dalam pengeluaran/pembelanjaan harta benda. Seorang ulama yang bernama SofyaN bin Unaiyah Rahimanullah
menjelaskan lebih rinci lagi, beliau membedakan yang manakah disebut boros dan
tidak. Beliau menjelaskan dalam perkataannya” Harta yang aku belanjakan bukan
dalam ketaatan kepada Allah maka dia termasuk boros sekalipun sedikit”
Jadi yang dimaksud boros dalam
islam adalah mengeluarkan harta untuk hal yang sia-sia apalagi hanya untuk
kesenangan duniawi.
Dalam
Al-Qur’an dijelaskan pada surat Al-Isra ayat 26-27 Allah Berfiman, yang artinya
“Dan berikanlah haknya kepada
kerabat dekat, juga kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan
janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.”
“Sesungguhnya orang-orang yang
pemboros itu adalah saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya”.
Pada ayat larangan Tabdzir ini berkaitan dalam
ayat ini adalah tidak menghambur – hamburkan harta/uang. Maka keberadaaan harta
terlinduingi Dan bisa memberi sedekah kepada orang orang yang membutuhkan
Maqashid
tersebut juga sesuai dengan prinsip ekonomi Islam yaitu menggunakan harta
sewajarnya saja. Hal ini dapat menjadi tuntunan kita dalam mendorong
terbentuknya konsumen terdidik, yaitu konsutem yang konsumsinya cermat dalam
memilih apa yang dikonsumsi, kuantitas dan kualitasnya.