Memahami Gadai (Rahn) Dengan Sederhana

Oleh Wanwan Kurnia


Telah kita ketahui bersama bahwa utang-piutang sudah menjadi hal yang biasa di halayak masyarakat negeri ini. Akan tetapi, kurangnya rasa kepercayaan tak mengherankan bila di dalam akad utang-piutang, pihak yang meminjamkan meminta jaminan, baik berupa harta, benda, atau jasa.

Oleh sebab itu, sudah seharusnya kita sebagai seorang muslim mengetahui hukum-hukum yang berkaitan dengan hal semisal ini dari sisi syariatnya. Terlebih lagi transaksi jenis ini sudah dikenal lama sehingga sudah dibahas oleh ulama-ulama salaf maupun kontemporer.

Sebelum itu kita harus mengetahui secara jelas apa itu rahn, mengeutahui hukum, dan, serta mengetahui manfaatnya. 

Depinisi  Gadai (Rahn)

Di antara depinisi depinisi rahn salah satunya adalah habs yang berarti tertahan, terhalang, tercegah, atau yang semakna dengannya. Hal ini senada dengan firman Allah Ta’ala,

كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ
Setiap jiwa tertahan untuk mempertanggungjawabkan apa yang pernah ia perbuat.” (QS. Al-Mudatstsir: 38)

Definisi lain dari rahn adalah dawam yang bermakna diam atau tetap. Adapun menurut istilah ulama fikih, rahn atau gadai adalah berutang dengan menyerahkan barang sebagai jaminan.

Hukum Gadai

Dalam fatwa DSN tentang rahn dijelaskan bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang (rahn) itu di bolehkan. Dalil utama yang menjelaskan disyariatkannya penggadaian adalah firman Allah Ta’ala,

وَإِن كُنتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُواْ كَاتِباً فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةٌ
Jika kalian berada dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai), sedangkan kalian tidak menemui seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh orang yang memberi piutang)…” (QS. Al-Baqarah: 283)

Adapun penyebutan safar/bepergian dalam ayat ini bukanlah bermaksud untuk membatasi syariat gadai hanya boleh di waktu bepergian semata. Akan tetapi hal itu dikarenakan dahulu gadai sering kali dilakukan di dalam perjalanan.[3]

Hal ini berdasarkan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh istri Nabi yaitu Aisyah radhiyallahu ‘anha. Beliau mengisahkan bahwa suatu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah membeli makanan dari seorang Yahudi. Beliau pun menggadaikan sebuah baju perang yang terbuat dari besi.[4]

Ketika kejadian ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sedang tidak melakukan safar. Kisah ini juga merupakan dalil dari sunah yang menjelaskan diperbolehkannya transaksi gadai.

Syekh Abdullah al-Bassam rahimahullah mengatakan, “Kaum muslimin telah bersepakat diperbolehkannya transaksi gadai ini, meskipun sebagian ulama bersilang pendapat di beberapa persoalannya.”

Hal ini sesuai dengan standar syariah AAOIFI yang menegaskan bahwa syariat rahn hanya berlaku untuk akad akad muawadhah seperti jual beli.

Hikmah Pergadaian

Faedah pensyariatan gadai sangatlah besar. Karena dengan gadai, seorang pemberi utang akan merasa tenang dan tidak khawatir hartanya akan lenyap begitu saja disebabkan peminjam tidak membayar utang.

Selain itu, pergadaian merupakan bentuk saling tolong menolong dalam kebaikan dan takwa jika memang dibutuhkan. Gadai juga merupakan solusi di dalam situasi krisis, dan mempererat rasa sosial dan interaksi sesama manusia.]
Memanfaatkan Barang Gadai?
Salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah tidak diperbolehkannya bagi murtahin memanfaatkan barang yang digadaikan rahin. Hal ini berdasarkan ketentuan bahwa segala utang yang mendatangkan manfaat adalah riba.

Karena pada hakikatnya barang tersebut statusnya masih milik rahin. Sedangkan murtahin hanya berhak untuk menahan barang tersebut, bukan malah memanfaatkannya. Baik dengan izin dari rahin ataupun tanpa seizinnya.

Lain halnya jika barang gadai tersebut berupa hewan tunggangan dan ternak, maka boleh bagi murtahin menunggangi maupun memerah susunya jika memang murtahin tersebut memberi makan hewan-hewan tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berbicara dalam hal ini,

الظَّهْرُ يُرْكَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ نَفَقَتُهُ
Punggung hewan tunggangan yang digadaikan boleh dinaiki. Begitu pula susu hewan ternak yang digadaikan boleh diminum. Akan tetapi wajib bagi yang menunggangi dan meminum susunya untuk memberi hewan-hewan tersebut makanan.

Semoga artikel sederhana ini bisa menambah wawasan kita seputar pergadaian sehingga kita tidak terjatuh di dalam kesalahan semisal memanfaatkan barang gadai yang hakikatnya bukan milik si peminjam atau menggunakan barang haram untuk digadaikan.

0/Post a Comment/Comments