Oleh : Nadiah Robbaniyah
Dunia
dengan segala keindahan dan kesibukannya memang selalu melalaikan manusia dari
kehidupan hakiki yaitu akhirat. Sibuk membangun rumah di dunia, sampai lupa
membangun rumah di akhirat. Sibuk mencari uang untuk kehidupan di dunia, sampai
lupa mengumpulkan bekal untuk akhirat. Seolah-olah dunia adalah kehidupan
tersendiri dan kekal abadi, sedangkan akhirat hanya kehidupan lain yang tak
pasti diyakini. Terpisah, jalannya tidak sama, sangat susah bahkan mustahil
menggapai keduanya dengan cara yang sama. Bila fokus pada akhirat maka dunia
tak didapat, bila dunia dikejar maka akhirat terlewat. Padahal bagi seorang
muslim, jalan dunia dan akhirat adalah satu, jalannya sama dan tidak ada yang
berbeda. Pada intinya, jika hanya dunia yang dikejar maka akhirat akan
meninggalkan, dan bila akhirat yang menjadi tujuan, maka dunia akan mengikuti
dengan sendirinya.
Jika kita mempunyai pekerjaan,
maka pekerjaan yang kita lakukan hari ini juga harus mempunyai keterikatan yang
kuat dengan jalan di akhirat, Rosululloh SAW bersabda tentang orang yang keluar
dari rumahnya : “jika ia keluar dari rumahnya bekerja untuk memenuhi kebutuhan
anaknya yang masih kecil, maka ia keluar dengan jalan Alloh. Jika ia keluar
untuk mencukupi kebutuhan kedua orang tuanya yang sudah renta, makai a keluar
dengan jalan Alloh, jika ia keluar untuk dirinya sendiri, menjaga kemuliaan
dirinya (supaya tidak meminta-minta kepada manusia dan makan harta yang haram),
maka ia berada di jalan Alloh. Namun bila ia keluar dengan riya’ dan ingin
tampak lebih mulia dibandingkan manusia yang lain, maka ia berada di jalan
setan.” (HR. Thabrani, dishahihkan albani)
Contoh pekerjaan diatas bisa
bernilai kebaikan/ibadah dan mendapatkan pahala disisi Alloh bila didasari ilmu
dan niat yang benar,mengharap akhirat, dan ikhlas untuk Alloh.
Para sahabat banyak mencontohkan
kepada kita bagaimana cara mensinergikan antara dunia dan akhirat. Mereka radhiallohu’anhum
juga membutuhkan makan dan minum, merka juga butuh menikah dan harus memenuhi
kebutuhan keluarganya, mereka tentu akanbekerja keras, akan tetapi pekerjaan dan perjalanan mereka di dunia ini
sama sekali tidak membuat mereka lalai dan lupa akan jalan dan kehidupan menuju
akhirat.
Umar bin Khattab R.A pernah
berkata :
“aku dan tetanggaku Anshar
berada di desa Banu Umayyah bin Zaid, sebuah desa dekat Madinah, kami sering
bergantian mencari ilmu dari Rosululloh SAW, sehari aku menemui beliau
Rasululloh SAW dan hari lain dia yang menemui Rosululloh SAW, jika giliranku
tiba, aku menanyakan seputar wahyu yang turun pada hari itu dan perkara
lainnya. Dan jika giliran tetanggaku tiba, ia pun menanyakan hal yang sama.”
(HR. Bukhari)
Bekerja memenuhi kebutuhan
sehari-hari tidaklah menghalagi seseorang untuk bekerja. Justru seharusnya
sebelum manusia-manusia turun ke dunia pekerjaan ia harus terlebih dahulu
terjun di jalan-jalan ilmu, karena dengan urutan yang benar ini, ia akan
mendapat keberkahan (di perjalanan dunianya) dan mempunyai bekal dan wawasan
yang lebih dalam menjalankan pekerjaan yang ditekuninya nanti dan menemukan
jalan yang satu serta menyambung dengan jalan akhirat.
Dengan menuntut ilmu, kita akan
mendapatkan banyak kemudahan serta kebaikan.
“barang
siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Alloh akan memudahkan jalan ke
surga baginya.” (HR Muslim). Yang apabila dipahami secara terbalik, maka siapa
saja yang berjalan dan dalam perjalanannya itu bukan dalam rangka mencari ilmu,
ia akan sulit dan sukar menemui jalan menuju surga. Seseorang yang tidak mempunyai ilmu syar’i
tetapi ia kaya raya, niscaya ia akan menjadi orang yang mencelakakan dirinya
sendiri lantaran tidak menggunakan harta bendanya dengan baik serta bukan dalam
jalan Alloh. Dan ada pula yang lebih parah lagi, dimana seseorang yang tidak
memiliki ilmu dan tidak memiliki harta akan tetapi ia kerap berandai-andai bila
ia mempunyai harta ia akan menggunakannya sebagaimana pemilik harta yang tidak
memiliki ilmu.
Sesungguhnya, seluruh kebaikan
dunia dan akhirat akan didapat dan digenggam oleh orang-orang yang berillmu,
dan begitupun sebaliknya, keburukan akan didapat oleh orang yang tidak memahami
ilmu. Dan satu-satunya jalan untuk mendapatkan ilmu adalah Thalabul ‘ilmi,
mendatangi gurunya yang alim (berilmu dan mengamalkan ilmunya).
Buah dan berkah dari ilmu yaitu
ketika ia akan bekerja, ia akan mencari pekerjaan yang halal. Dan jika ia sudah
mendapatkan hasil dari usahanya, ia akan tunaikan kewajibannya dan melakukan
sunnah-sunnah nya. Inilah hasil dari menuntut ilmu tadi, bhawa ia yang telah
tuntas menuntut ilmu akan sebisa mungkin menempatkan sesuatu pada tempatnya dan
menjauhi segala larangan yang dapat menjauhkan ia dari segala kecelakaan dan
kesusahan di dunia maupun di akhirat.
Ia akan senantiasa mengamalkan
ilmunya dimana pun berada. Mengambil segala keputusan yang berpijak pada syar’i
atau hukum yang bersumber dari Alloh SWT. Dengan ilmu syar’i pun ia memahami
remehnya nilai dunia dibanding nilai akhirat, sehingga apapun yang membuatnya
mudah ataupun sulit tak pernah melalaikannya dari dzikir kepada Alloh SWT.
Seperti dalam QS. An-Nur : 37.
Bila ilmu yang didahulukan, maka
kita akan selalu mencari kebahagiaan negeri akhirat tapi tentu saja tidak
melupakan bagian halal dari kenikmatan duniawi. Memenukan jalan kebaikan di
dunia, hingga bersambung dalam kenikmatan yang hakiki di akhirat nanti.
“dan carilah pada apa yang telah
dianugerahkan Alloh kepadamu (kebagahiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu
melupakan bahagiamu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang
lain) sebagaimana Alloh telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat
kerusakan di (muka) bumi. Sesunggunya Alloh tidak menyukai orang-orang yang
berbuat kerusakan.” (QS. Al-Qishas : 77)
Wallahu a’lam bishowab.