Menderes

Oleh Yusuf Maulana

HÜKÜM ÖZETI. Ya, hanya dua kata. Itulah judul di sehelai kertas berisikan sebab lelaki bermuka bulat tersebut sudah tidak lagi bernyawa. Kertas dengan sembilan paraf kehakiman itu ditempelkan di dada.
Pagi-pagi amat, 17 September 1961, Adnan Menderes, dieksekusi gantung oleh militer negerinya, Turki. Ia menyusul rekan dan anak buahnya di kabinet, Hasan Polatkan dan Fatin Rüþtü Zorlu. Dua nama ini bukan sembarangan orang, sama halnya dengan Menderes.
Adnan Menderes terpilih sebagai perdana menteri Turki dalam pemilihan 14 Mei 1950. Raihan suara partainya, Demokrat Partisi, mengejutkan, yakni 53,5%. Angka ini di atas suara untuk partai pendukung Kemalisme yang disokong militer. Menderes bukanlah seorang islamisme politik kendati pernah bersentuhan dengan tarekat. Naiknya ia ke tampuk kekuasaan membuka keran kebebasan bagi umat Islam setelah dua dekade lebih dikekang sekularisme radikal. Azan yang awalnya berbahasa Turki dikembalikan dalam bahasa Arab. Demikian juga kebolehan bagi warga Turki pergi ke Mekah.

Militer, sebagai penjaga ideologi Mustafa Kemal Ataturk, gerah. Sikap moderat Menderes terhadap praktik keislaman dianggap subversif. Ditambah lagi militer menilai pemerintahan Menderes kacau secara internal, dan represif terhadap gerakan mahasiswa. Bahkan, di era Menderes disebut-sebut sebagai pemerintahan korup. Tentu saja, semua tudingan ini menurut versi militer, yang sayangnya sering dirujuk oleh kalangan luar, termasuk kita di Indonesia. Semisal saja tulisan aktivis Yozar Anwar dalam bukunya, “Pergolakan Mahasiswa Abad ke-20”, uraiannya tentang sebab Menderes dikudeta senada dengan militer Turki.
58 tahun kemudian, pada era informasi digital begitu dekat di tangan, Menderes sudah semestinya dikembalikan nama baiknya. Sekurangnya bersikap adil menilai peran baik pemerintahannya yang pernah ditutup-tutupi militer Turki. Inilah sosok yang belakangan saya lihat disebut-sebut dalam tulisan kalangan islamis di tanah air kita. Menyandingkan kematiannya sebagaimana cara rezim Mesir menggantung Sayyid Quthb, atau kala kekuasaan berbeda di negeri piramid membui penuh bengis Mohammad Mursi; keduanya tokoh Ikhwanul Muslimun berbeda masa.
Nama Menderes pula yang menginspirasi model pendekatan politik garis tengah. Moderat, nasionalis, tidak bercorak agama tapi juga bukan anti-agama, terbuka. Ciri-ciri ini memadai buat direplikasi di masa berikutnya, tentu saja dengan penyempurnaan dan melihat konteks antar-negara.
Yang jelas menurut sosiolog Turki Nilüfer Göle, Presiden Turki Recep Tayyip Erdoğan sering menyebut dirinya sebagai pelanjut Menderes dan Turgut Özal—dua nama yang mewakili garis politik tengah-kanan. Erdoğan bukan menyebut dirinya sebagai pelanjut sang gurunya sendiri, Necmettin Erbakan, lewat islamisasi politik dengan Refah Partisi.
Beberapa kawan di Arah Baru Indonesia sepertinya masih asing nama Menderes, kecuali sedikit saja. Kiranya berbicara pendekatan partai dengan tahaluf siyasi di Indonesia, nama Menderes bisa jadi inspirasi. Tak semata dari orang yang terinspirasi dari sosok yang sama, semisal Erdoğan.
Dan benar kata seorang kawan, Menderes ibarat Prof B.J. Habibie bagi Indonesia. Hadir dengan gebrakan mencengangkan tapi diremehkan dan dipandang ancaman oleh para pendakwa patriotisme yang sejatinya hanya perusak tatanan bernegara di masa yang lain. []
Foto: -Adnan Menderes Demokrasi Paltformu_; kecuali foto pemindahan dan pengawalan Menderes oleh militer diambil dari _Turkish Review_ (spring 2010).

sumber : FB

0/Post a Comment/Comments