HANYA UNTUK ALLĀH

Oleh Muhammad Laili Al-Fadhli

Barusan melintas video Jay Kim yang telah berubah nama menjadi Daud Kim setelah masuk Islam. Seorang warga Korea yang bercerita mengapa dan bagaimana bisa menemukan Islam. Kisahnya sangat menarik dan salah satu titik baliknya ternyata ditemukan di Indonesia. Walaupun pada saat itu ia mengaku belum menyadari sinyal dari Allāh tersebut. Sampai kemudian akhirnya ia bisa berinteraksi dengan banyak kaum muslimin dan yakin untuk masuk ke dalam Islam step by step.
Salah satu poin menarik lainnya yang disampaikan Daud Kim adalah ketika ia sedang berada pada titik persimpangan, di hadapannya Islam, sedangkan di samping kanan, kiri, dan belakang beragam tarikan menariknya. Pandangan keluarga, sosial, masyarakat, dan bisikan-bisikan yang berasal dari dalam dirinya membuat ia merasa sulit untuk melangkah.

Sampai kemudian, ia merenungkan kembali, bahwa berislam, dan menjalankan aktivitas keislaman itu adalah hubungan yang sangat privasi antara kita, diri kita sendiri dengan Allāh. Sehingga apabila kemudian, orang-orang di luar sana berkata tentang A, B, C tentang apa yang kita lakukan, selama kita sadar bahwa hal tersebut dilandasi keimanan, maka yakinlah Allāh akan selalu membersamai kita.
Poin yang sangat mengguncang..!!
Bahkan, seorang yang terlahir sebagai muslim saja, terkadang mesti berpikir beberapa kali untuk melakukan sesuatu yang dihalalkan, bahkan diwajibkan Allāh, dengan beribu alasan yang berasal dari wilayah eksternal, di luar lingkaran hubungan kita dengan Allāh. Sebaliknya, untuk melakukan apa-apa yang Allāh larang, seringkali begitu mudah dilakukan, dengan anggapan kita mendapatkan pengakuan dari sesama manusia.
Pada titik itu, kita telah membiarkan orang lain masuk dalam hubungan privasi kita dengan Allāh. Apabila dalam hubungan dua anak manusia saja, dalam pernikahan, misalnya, kita tidak rela membiarkan orang asing masuk dan mengatur urusan privasi rumah tangga kita. Maka, apalagi membiarkan orang-orang mengatur bagaimana hubungan kita dengan Allāh, bahkan sejatinya membuat kita semakin jauh dari Allāh.
Ketika kita memutuskan berislam atau bertahan dalam keislaman kita, artinya secara sadar kita telah siap untuk pasrah menerima apapun yang Allāh tetapkan. Bukankah salah satu makna Islam adalah berserah diri? Menyerahkan secara total perjalanan hidup kita di atas garis yang telah ditetapkab dan diridhai-Nya. Dan tentu saja, artinya kita mesti siap dengan berbagai konsekwensi serangan ekstern yang mungkin saja berusaha untuk menggelincirkan kita dari jalur tersebut. Kenapa? Karena setan tidak ingin sendirian di neraka. Ini fakta.
Iblis dan bala tentaranya sadar sepenuhnya bahwa mereka pasti akan berakhir di neraka. Alih-alih pindah jalur untuk menuju surga, mereka lebih memilih untuk mengajak banyak-banyak teman ke dalam neraka. Ibarat seorang anak sekolah yang sudah tau bahwa bolos itu merupakan pelanggaran, dan berkonsekwensi hukuman, alih-alih kembali ke sekolah dan melanjutkan pelajaran, ia lebih memilih untuk mengajak lebih banyak teman. Dengan alasan, ya kalaupun dihukum tidak sendirian.
Kalau saja hukuman akhirat hanya sebatas dijemur di lapangan upacara selama 2 jam pelajaran, atau lari 20x lapangan basket, ya tidak akan terlalu jadi persoalan. Masalahnya kita berbicara tentang sebuah hukuman yang derajat paling rendahnya adalah engkau dipakaikan sandal yang terbuat dari debu neraka, sedangkan kepalamu mendidih karenanya. Sudah siapkah?!
Karena itu, demi menjaga hubungan kita dengan Allāh, kita kadang mesti rela meregangkan jarak dengan makhluk, apabila kenyataannya makhluk tersebut justru menjauhkan kita dari-Nya. Bahkan, walaupun makhluk tersebut orang yang sangat dekat secara kekerabatan dengan kita. Tentu saja tanpa meninggalkan hak-haknya sebagai kerabat. Engkau mesti menjadi buta dan tuli untuk tidak mendengarkan beragam bisikan atau melihat berbagai polah yang dapat membuatmu jauh dari-Nya
Lain halnya apabila engkau melihat seseorang yang senantiasa mengajakmu untuk kokoh di atas track yang benar. Maka sekuat tenaga engkau mesti mempertahankannya dan senantiasa berada di dekatnya. Engkau mesti mempersiapkan pandangan yang tajam dan pendengaran yang kuat agar bisa menyerap dari mereka, intisari yang akan mempertebal iman di dalam jiwamu. Sungguh, sahabat-sahabat yang bertakwa akan menjadi salah satu jalan menuju syafaat-Nya kelak di akhirat.
Wallāhu a'lam,
- Muhammad Laili Al-Fadhli -
Sumber : FB

0/Post a Comment/Comments