Oleh
: Lilis Kamilatun Nisa
Pada dasarnnya elemen yang sangat
penting dalam Islam sebagai sistem hidup adalah akidah. Dan akidah menjadi
inspirasi atau pedoman utama aktivitas kehidupan manusia melalui kepercayaan,
keyakinan atau yang biasa kita kenal dengan iman. Iman dimaknakan sebagai
sesuatu yang diyakini dalam hati, diucapkan dengan lisan dan diaplikasikan
dengan amal. Jadi iman menentukan bentuk final dari sebuah keyakinan dalam hati
yaitu amal, perbuatan, tindakan atau prilaku. Dalam ekonomi keimanan Islam
kemudian membuat tindakan ekonomi manusia muslim akan sangat mencerminkan
keyakinan, misalnya keyakinan pada perintah Tuhan bahwa khamar (minuman
yang memabukan) haram maka tindakan konsumsi, produksi dan distribusi manusia
tentu akan menjauhi produk khamar tersebut.
Dengan demikian iman dari seorang
manusia pada Tuhan dengan segala konsekwensinya, merupakan factor penentu dari
eksistensi kemanfaatan Islam sebagai sistem hidup ditengah-tengah manusia.
Sehingga pada tingkatan praktis, prilaku ekonomi (economic behavior)
baik motifasi tindakan maupun bentuk tindakan itu sendiri, sangat ditentukan
oleh tingkat keyakinan atau keimanan seseorang atau sekelompok orang. Lebih
spesifik keimanan pada akhirnya akan membentuk kecenderungan prilaku konsumsi,
produksi dan distribusi manusia baik individu maupun berkelompok (kolektif)
dalam perekonomian.
Jadi dapat disimpulkan ada tiga
karakteristik prilaku ekonomi dengan menggunakan tingkat keimanan sebagai
asumsi.
1. Ketika keimanan ada pada tingkat yang
cukup baik, maka motif berkonsumsi atau berproduksi akan didominasi oleh tiga
motif utama tadi : mashlahah, kebutuhan dan kewajiban.
2. Ketika keimanan ada pada tingkat yang kurang baik, maka motifnya tidak didominasi hanya oleh tiga hal tadi tapi juga kemudian akan dipengaruhi secara signifikan oleh ego, rasionalisme (materialisme) dan keinginan-keinginan yang bersifat individualistis.
3. Ketika keimanan ada pada tingkat yang buruk, maka motif berekonomi tentu saja akan didominasi oleh nilai-nilai individualistis : ego, keinginan, dan rasionalisme.
Dari asumsi diatas, diketahui iman
kemudian menjadi factor yang cukup signifikan dalam membedakan corak prilaku
ekonomi Islam dengan prilaku ekonomi konvensional. Jadi jika dilihat dari awal,
factor Tuhan kemudian mempengaruhi corak aktivitas ekonomi melalui prilaku
manusia itu sendiri. Oleh sebab itu, Islam begitu menaruh perhatian yang sangat
besar pada pembentukan manusia dalam rangka memperoleh bentuk sistem perekonomian
yang lebih baik yaitu sistem ekonomi Islam. Setelah pembentukan manusia dan
interaksi antar manusia, baru kemudian Islam memberikan panduan pelaksanaan,
tatacara perekonomian, ketentuan syariat, kebijakan dan institusi ekonomi dalam
rangka aplikasi perekonomian. Sehingga betul-betul akan terlihat bahwa Islam
begitu komprehensif mengatur sistem perekonomian.
Berikutnya akan kita lihat perbedaan
ekonomi Islam dan konvensional dalam hal penyikapan harta ini dengan lebih
spesifik pada prilaku konsumsi dan produksi. Jadi dalam teori ekonomi Islam,
diakui bahwa nilai diluar diri manusia dapat membentuk prilaku, dalam hal ini
nilai moral yang bersumber dari agama atau idiologi yang dianut pelaku ekonomi
Islam (muslim).
Berbeda dengan klaim konvensional
yang mengaku bahwa ekonomi merupakan ilmu yang bebas nilai, karena memang betul-betul
berdasarkan pada nilai yang dibawa secara alamiah yang ada dalam diri manusia.
Sehingga siapapun manusianya sumber motifnya sama yaitu nilai alamiah yang ada
didirinya. Jadi karena tak bergantung pada idiologi yang dianut tersebut, maka
konvensional mengklaim bahwa ekonomi tersebut (sepatutnya) bebas nilai. Padahal
kini mulai diakui bahwa nilai alamiah dalam diri manusia itulah yang kemudian
membentuk perekonomian konvensional menjadi bangunan yang begitu rapuh dan
bermasalah, bukan hanya secara fisik tapi juga pondasi sistemnya. Nilai alamiah
seperti ego, rasionalitas dan materi membentuk perekonomian konvensional
menjadi sangat individualistik, materialistic dan konsumenristik.
Hal ini yang kemudian membuat ekonomi
konvensional bukan hanya berkutat dengan masalah fenomena fisik ekonomi tapi
juga permasalahan sosial yang lebih bersumber dari pelaku-pelaku ekonomi secara
pribadi, seperti motif-motif individualistic. [1]