BENDERA DAN SEMANGAT KEBANGSAAN

BENDERA DAN SEMANGAT KEBANGSAAN
Oleh : Syamsul Ma’arief *



Barisan banteng meradang! Jutaan kader siap siaga menyambut seruan ketua umum untuk menjaga marwah partai. Melalui Surat Perintah Harian Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri menegaskan bahwa PDI Perjuangan tidak pernah memiliki keinginan untuk memecah belah bangsa, sebab PDI Perjuangan adalah pengikut Bung Karno yang menempatkan Pancasila sebagai suluh perjuangan bangsa.

Sikap ini merupakan reaksi atas insiden pembakaran bendera PDI Perjuangan oleh sejumlah massa dalam aksi demo menolak Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) di depan gedung DPR RI Rabu (24/06/2020) lalu.

Muncul kekhawatiran bahwa insiden pembakaran bendera PDI Perjuangan ini dapat menyebabkan konflik horizontal di tengah masyarakat. Namun kita semua patut bersyukur bahwa Megawati melalui surat perintahnya telah menyerukan agar partai dan kadernya menempuh jalur hukum untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Lebih lanjut politikus senior PDI Perjuangan Tjahjo Kumulo meminta semua kader sampai tingkat anak ranting untuk mendatangi kantor Polres dan Polda seluruh Indonesia guna mendesak agar insiden pembakaran bendera itu dapat diusut tuntas secara hukum.

Pembakaran Bendera

Insiden pembakaran bendera PDI Perjuangan ini mengingatkan kita pada insiden serupa yang terjadi beberapa tahun sebelumnya. Bertepatan dengan Hari Santri Nasional 22 Oktober 2018, sejumlah oknum massa di Garut membakar bendera tauhid karena diduga merupakan bendera milik organisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).

Insiden pembakaran bendera tauhid ini sontak saja menimbulkan reaksi dan gelombang aksi massa dari banyak pihak yang merasa marah dan tidak terima dengan pembakaran bendera tersebut. Untuk meredam aksi massa lebih lanjut, aparat kepolisian bergerak cepat mengusut kasus dan mengamankan tersangka pelaku pembakaran. Begitu pun peran serta ulama dan tokoh masyarakat lainnya yang mendinginkan suasana dan meminta masyarakat untuk menyerahkan permasalahan ini kepada aparat penegak hukum.

Aksi pengecaman atas tindakan pembakaran bendera merupakan hal yang sangat wajar dan alami. Bendera merupakan simbol kehormatan, kebanggaan dan harga diri dari setiap organisasi. Maka tindakan pembakaran bendera tentu saja dapat dianggap sebagai penghinaan besar bagi organisasi tersebut. Dan setiap organisasi, apalagi yang berbasis kaderisasi dan berakar kuat di tengah masyarakat bisa saja terprovokasi untuk melakukan tindakan main hakim sendiri.

Dalam konteks negara, bendera merupakan sarana pemersatu, identitas dan wujud eksistensi bangsa  yang menjadi simbol kedaulatan dan kehormatan negara sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945. Bersama dengan bahasa, lambang negara, serta lagu kebangsaan, bendera Indonesia merupakan manifestasi kebudayaan yang berakar pada sejarah perjuangan bangsa, kesatuan dalam keragaman budaya, dan kesamaan dalam mewujudkan cita-cita bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Oleh karena itu, dalam ketentuan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, dinyatakan bahwa “Setiap orang yang merusak, merobek, menginjak-injak, membakar, atau melakukan perbuatan lain dengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Bendera Negara dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Konsekuensi hukum atas tindakan pembakaran bendera organisasi tentu saja berbeda dengan pembakaran bendera negara. Pengamat hukum pidana dari Universitas Trisaksi, Abdul Fickar Hadjar menilai agak sulit mencari rumusan pidana dari aksi pembakaran bendera PDI Perjuangan tersebut dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Apabila pembakaran bendera itu dikaitkan dengan delik tentang penghinaan atau pencemaran nama baik pun nampaknya tidak bisa dilakukan, karena penghinaan dan pencemaran nama baik itu subjeknya orang bukan barang, kecuali terdapat penghinaan dengan menyebut nama orang. Maka untuk tindakan pembakaran bendera organisasi setidaknya hanya dapat dijerat dengan delik perusakan barang milik orang lain sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 406 KUHP.   

Semangat Kebangsaan

Dari dua insiden pembakaran bendera yang telah terjadi, terdapat benang merah yang menjadi latar belakang peristiwa tersebut, yaitu semangat kebangsaan dalam rangka pembelaan ideologi dan kesatuan bangsa.

Dalam kasus pembakaran bendera tauhid di Garut, oknum pelaku pembakaran berasumsi bahwa bendera tersebut merupakan bendera organisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), yang telah dicabut status badan hukumnya oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.

Lebih lanjut dalam putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) Jakarta, majelis hakim berpendapat bahwa organisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) terbukti mengembangkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, yang kegiatan-kegiatan menyebarluaskan ajaran atau paham tersebut arah dan jangkauan akhirnya bertujuan mengganti Pancasila, UUD 1945, serta mengubah NKRI menjadi negara khilafah.

Sedangkan dalam kasus pembakaran bendera PDI Perjuangan di Jakarta, muncul dalam suasana penolakan masyarakat atas Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) yang sedang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dalam keterangannya, koordinator aksi menyatakan tidak ada rencana pembakaran bendera PDI Perjuangan, melainkan hanya pembakaran bendera PKI.

Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) menjadi kontroversial karena tidak memuat TAP MPRS XXV tahun 1966 tentang Larangan Bagi Ajaran Komunisme, Marxisme sebagai dasar pertimbangan dalam perumusan. Selain itu, RUU HIP juga dianggap bertentangan dengan spirit Pancasila yang seutuhnya karena terdapat upaya memeras Pancasila menjadi trisila atau ekasila.

Terlepas dari argumentasi pembenaran dan pembelaan yang ada, polisi dan segenap aparat penegak hukum lainnya dipandang perlu untuk segera mengambil langkah-langkah yang cepat dan strategis dalam rangka menjaga stabilitas di tengah masyarakat. Dalam rangka memperjelas duduk permasalahannya, maka klarifikasi dan pendalaman kasus perlu dilaksanakan oleh aparat penegak hukum untuk menentukan penanganan lebih lanjut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Proses hukum yang cepat, tegas dan berkeadilan menjadi penting agar tercipta kepercayaan publik pada independensi dan profesionalitas aparat penegak hukum. Jangan sampai publik kehilangan harapan kepada aparat penegak hukum karena bertindak sigap ketika berkaitan dengan kepentingan penguasa atau mayoritas, namun menjadi lamban ketika berkaitan dengan kepentingan masyarakat sipil atau minoritas lainnya.

Perlu juga kesadaran dan kedewasaan semua pihak agar bisa menahan diri demi menciptakan suasana yang kondusif, serta menghindari tindakan-tindakan yang bersifat provokatif terhadap kasus ini. Pancasila dan NKRI adalah hasil jerih payah perjuangan yang luar biasa, lahir dari perdebatan panjang yang berlandaskan semangat kebangsaan.

Maka munculnya perbedaan pendapat jangan sampai lantas merusak semangat persatuan dan kesatuan kita sebagai bangsa dan negara, apalagi berujung pada konflik horizontal. Suatu kondisi yang tentunya tidak diharapkan oleh para pendiri bangsa kita terdahulu. Wallahu a’lam bishawab.***

* Peneliti Progressive Democracy Watch (PRODEWA)

0/Post a Comment/Comments