Bagaimana Ketentuan Fiqih Transaksi Bagi Hasil

[wartanusantara.idTransaksi bagi hasil ini diperkenankan dalam Islam, bahkan masuk dalam daftar bisnis yang menuai berkah sebagaimana hadis Rasulullah Saw., “Ada tiga hal yang mengandung berkah: jual beli tidak secara tunai, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual,” (HR Ibnu Majah dari Shuhaib).
Standar Syariah Internasional AAOIFI, Fatwa No. 07/DSN-MUI/IV/2000 dan Fatwa No. 115/DSN-MUI/IX/2017 tentang Akad Mudharabah telah menjelaskan kaidah-kaidah akad mudharabah. Bahwa akad mudharabah adalah akad kerja sama suatu usaha antara pemilik modal yang menyediakan seluruh modal dengan pengelola dan keuntungan usaha dibagi di antara mereka sesuai nisbah yang disepakati dalam akad.


Misalnya, A sebagai pemilik modal bertransaksi bagi hasil dengan B sebagai pengelola. A investasi sebesar 5 juta untuk dijadikan modal usaha jual beli siomay dengan kesepakatan keuntungan dibagi dua (50%-50%) selama satu pekan. Realisasinya, usaha tersebut menghasilkan keuntungan 1 juta. Maka pemilik modal mendapatkan 500.000,-

Karakteristik mudharabah sebagai berikut; Pertama, ijab qabul, bahwa akad harus dinyatakan secara jelas dan dimengerti para pihak, baik lisan, tulisan, serta dapat dilakukan secara elektronik sesuai syariah dan peraturan yang berlaku.

Kedua, terkait pihak transaksi; Pemilik modal adalah penyedia dana, dan mudharib adalah pengelola dana dalam usaha kerja sama antara keduanya.

Ketiga, modal usaha yang diserahkan oleh investor harus diserahterimakan, baik bertahap atau tunai sesuai kesepakatan, tetapi tidak boleh dalam bentuk piutang karena itu tidak bisa diserahterimakan.
Begitu pula, modal usaha pada dasarnya wajib dalam bentuk uang, namun boleh dalam bentuk barang atau kombinasi antara uang dan barang dengan terlebih dahulu dievaluasi agar jelas jumlah/nilai nominalnya.

Keempat, terkait kegiatan usaha; bahwa usaha yang dilakukan mudharib harus usaha yang halal dan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah dan/atau peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu, jika usaha yang dikelola itu usaha yang tidak halal dan bertentangan dengan prinsip syariah, maka transaksi mudharabahnya tidak sah dan batal.

Mudharib dalam melakukan usaha mudharabah harus atas nama entitas mudharabah, tidak boleh atas nama dirinya sendiri. Biaya yang timbul karena kegiatan usaha atas nama entitas mudharabah, boleh dibebankan ke dalam entitas mudharabah.

Kelima, terkait nisbah bagi hasil; bahwa metode pembagian keuntungan harus disepakati dan dinyatakan secara jelas dalam akad. Nisbah bagi hasil tidak boleh dalam bentuk nominal atau angka persentase dari modal usaha. Tetapi juga tidak boleh menggunakan angka persentase yang mengakibatkan keuntungan hanya dapat diterima oleh salah satu pihak; sementara pihak lainnya tidak berhak mendapatkan hasil usaha mudharabah. Nisbah bagi hasil boleh diubah sesuai kesepakatan.

Keenam, terkait pembagian keuntungan dan kerugian. Bahwa keuntungan usaha dihitung dengan jelas untuk menghindarkan sengketa pada waktu alokasi keuntungan atau penghentian mudharabah. Seluruh keuntungan juga dibagikan sesuai nisbah yang telah disepakati. Selanjutnya, mudharib boleh mengusulkan kelebihan atau persentase keuntungan untuk diberikan kepadanya jika keuntungan tersebut melebihi jumlah tertentu. Sedangkan kerugian usaha mudharabah menjadi tanggungjawab pemilik modal, kecuali kerugian tersebut terjadi karena wanprestasi yang dilakukan oleh pengelola.
Sebagaimana hadis Rasulullah Saw., “Manfaat (didapatkan oleh seseorang) disebabkan ia menanggung risiko,” (HR Tirmidzi).

Dan kaidah fikih; “Risiko berbanding dengan manfaat”.



Oleh : Lilis Kamilatun Nisa
Mahasiswa : STEI SEBI 

0/Post a Comment/Comments