Perbankan Syariah
adalah lembaga profit(keuntungan) yang dimana fungsinya menghimpunan dana dari
masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan dana upaya mensejahterakan
masyarakat, Perbankan Syariah bertujuan untuk menunjang pelaksanaan pembangunan
nasional dalam rangka meningkatkan keadilan, kebersamaan dan pemerataan
kesejahteraan rakyat hal ini tertuang pada Undang-Undang Republik Indonesia No
21 tahun 2008. Hal ini tentunya juga memudahkan masyarakat dalam mengatur perputaran
uang menjadi lebih baik sesuai dengan prinsip syariah.
Bank Syariah
yang terus berupaya berkembang dengan prinsip syariah yang dijalani dengan
meminimalisir resiko kegagalan yang dihadapi. Dalam setiap keadaan tentu
memiliki resiko baik didunia bisnis maupun non bisnis. Dengan begitu perlu adanya pnerapan manajemen
manajemen resiko untuk menstabilkan atau mengendalikan usaha yang dijalani.
Peraturan Bank Indonesia No 13/23/PBI/2011 Pasal I Ayat (5). Resiko adalah
potensi kerugian yang terjadi atas suatu peristiwa (events) tertentu.
Resiko juga
dapat dianggap kendala dalam pencapaian suatu tujuan atau sebagai suatu keadaan
dimana ada beberapa kemungkinan kejadian akan menyebabkan hasil yang berbeda
untuk meminimalisir tingkat resiko pada bank syariah perlu adanya manajemen
resiko yang baik. Manajemen resiko adalah serangkaian prosedur dan metodologi
yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau dan mengendalikan
resiko yang timbul dari kegiatan usaha bank, hal ini tertulis pada Peraturan
Bank Indonesia No 13/23/PBI/2011 Pasal I ayat (6). Secara umum resiko yang
dihadapi oleh perbankan syariah sama halnya dengan bank konvensional namun yang
membedakan adalah kesesuaian dengan prinsip-prinsip syariah.
Ruang lingkup
manajemen resiko sebagaimana tertulis dalam Peraturan Bank Indonesia; Pertama, bahwa bank wajib menerapkan
menejemen resiko. Kedua, Penerapan
manajemen resiko dilakukan secara individual maupun konsolidasi dengan
perusahaan anak. Ketiga, penerapan
menejemen resiko paling kurang mencakup pengewasan aktif Dewan Komisaris,
Direksi dan dewan Pengawas Syariah. Serta pengawasannya wajib disesuaikan
dengan tujuan, kebijakan usaha, ukuran dan kompleksitas usaha serta kemampuan
bank. Dari resiko yang telah disebutkan diatas maka perbankan syariah wajib
menerapkan manajemen resiko. Adapun kebijakan dalam mengatasinya telah tertulis
pada Peraturan Bank Indonesia No 13/ 23/PBI/2011 Pasal 10
Kebijakan manajemen
resiko paling kurang memuat; a) Penetapan risiko yang terkait dengan produk dan
transaksi perbankan. b) Penetapan penggunaan metode pengukuran dan sistem
informasi menejemen resiko. c) Penentuan limit dan penetapan toleransi risiko.
d)penetapan penilaian peringkat resiko. e) penyusunan rencana darurat (contingency plan) dalam kondisi
terburuk. f) Penetapan sistem pengendalian intern dalam penerapan manajemen
resiko.
Dalam pengelolan
antara bank konvensional dengan bank syariah jelas perbedaanya pada prinsip
syariah yang digunakan bank syariah. maka untuk meminimalisir kegagalan dalam
setiap usaha tentunya perlu pemetakkan kegiatan yang beresiko begitupun pada
Perbankan Syariah hal ini telah tertulis pada Peraturan Bank Indonesia No
13/23/PBI/2011 Pasal 13 ayat (1) proses pengendalian resiko dilakukan dengan
melakukan analisis paling kurang terhadap: a)karakeristik resiko yang melekat
pada bank dan; b) risiko dari produk dan
kegiatan usaha bank.
Adapun karakter
pada manajemen resiko yang dijalankan oleh perbankan syariah meliputi; 1)
Identifikasi Resiko, bank yang beroperasi berdasarkan prinsip syariah, dalam
hal ini terbagi menjadi enam yaitu: Proses transaksi pembiayaan, proses
manajemen, sumber daya manusia, teknologi, lingkungan eksternal dan kerusakan.
2) Penilaian Resiko, dalam hal ini terlihat pada hubungan antara probability dan impact atau qualitative
approach. 3) Antisipasi Resiko, yang bertujuan untuk preventive, detective dan
recovery. 4) Monitoring Resiko, dalam aktivitas ini bukan hanya meliputi
manajemen bank islam tetapi juga melibatkan Dewan Pengawas Syariah.
Selanjutnya
jenis-jenis resiko yang dihadapi oleh Perbankan Syariah antaralain; Resiko
Kredit, Resiko Pasar, Resiko Likuiditas, Resiko Operasional, Resiko Hukum,
Resiko Reputasi, Resiko Strategis, Resiko Kepatuhan, Resiko Imbal Hasil, Resiko
Investasi. Dalam mengurangi tingkat kegagalan secara umum manajemen resiko
adalah perencanaan agar lebih baik di masa yang akan datang hal ini merupakan
kewajiban yang ada pada perusahaan untuk mengatur dan terhindar dari timbulnya
permasalahan.
Dapat
disimpulkan bahwa pentingnya penerapan menejemen resiko upaya mengurangi
terjadinya tingkat kegagalan dalam kegiatan usaha. Kegiatan usaha bank
senantiasa dihadapkan pada risiko-risiko yang berkaitan erat dengan fungsinya
sebagai lembaga intermediasi keuangan.
perkembangan eksternal dan internal membuat kegiatan usaha perbankan
syariah semakin kompleks, dengan begitu bank dituntut mampu untuk beradaptasi
deng situasi yang ada untuk menyesuaikan manajemen resiko yang sesuai dengan
prinsip syariah.
Pada Peraturan
Bank Indonesia No 13/23/PBI/2011 tentang Penerapan Manajemen Resiko bagi Bank
Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah menjelaskan penerapan manajemen resiko
dalam prinsip-prinsip syariah diarahkan sesuai dengan aturan yang dikeluarkan
oleh Islamic Financial Services Board
(IFSB). Penerapan manajemen resiko
sebagai standar minimal yang harus dipenuhi sehingga perbankan syariah dapat
mengembangkannya sesuai dengan kebutuhan dan tantangan yang dihadapi dan tetap
berlandaskan prinsip syariah.
Sumber:
Peraturan Bank Indonesia No 13/23/PBI/2011 Tentang Penerapan Manajemen Risiko
Bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah.
Penulis merupakan Mahasiswa STEI SEBI Depok