Yang Melemahkan Pribadi “Budak Buku”

[wartanusantara.idSalah-satu faktor yang melemahkan pribadi adalah budak buku. Ketika akan membaca suatu kitab suci, yang berasal dari wahyu yang diturunkan Tuhan kepada manusia dengan perantara Nabi-Nya, hati kitalah yang ditundukkan kepada-Nya. Terlebih kita berniat  ingin mencari tuntunan bagi jiwa kita. Meskipun ada yang belum termakan oleh pikiran, kita tekankan pikiran itu dan kita pun percaya (iman). Akan tetapi, membaca tulisan sesama manusia, apa pun pangkat yang gelarnya, kita harus tahu bahwa dia adalah manusia. Tidak semua hal yang ditulisnya harus kita terima. Sebagai manusia, dia pernah khilaf. Dalam beberapa pandangan hidup, kita tidak sama dengan dia. Cara memandang suatu masalah pun bermacam-macam , dari sudut yang berlain-lain. Jika semua yang dibaca lantas ditelan saja, hilanglah jiwa kritis yang ada pada kita.


Pamor kaum Muslimin menjadi padam sejak 700 tahun belakangan karena ulama-ulamanya sudah menjadi budak kitab. Tidak keluar lagi pendapat yang baru, sudah dicukupkan dan diikutinya saja dengan membuta-tuli hal-hal yang ditulis oleh ulama yang terdahulu. Sikap menurut saja itu dinamakan taqlid dan orang yang menjadi si Pak Turut dinamakan muqallid.

Penyakit seperti ini sering menimpa sarjana didikan barat. Dia sanggup mengumpulkan dan mengutip perkataan professor itu, dokter itu, sarjana itu. Akan tetapi, pendapatnya sendiri tidak ada.

Pemimpin besar kemerdekaan Indonesia, Bung Karno, menamakan orang yang hanya mengekor kepada pendapat atau tulisan orang lain dengan sebutan budak dari buku. Pikirannya hanya terpaku pada apa yang tertulis di buku. Beliau memberi nama text book thinking.

Menurut Bung Karno, selama kaum sarjana atau cendikiawan masih belum berani mengatakan “pendapat adalah seperti ini “ dan masih saja berkata “menurut profesor itu dalam bukunya berjudul itu”, belumlah sarjana atau cendikiawan dapat mempelopori kebebasan dan kemerdekaan pikiran bangsanya. Padahal, kemerdekaan berpikir dan mengeluarkan pendapat yang menunjukkan kepribadian adalah hakikat yang sebenarnya dari kemerdekaan. Sebab itu dalam ajaran beliau yang terkenal, yaitu USDEK, pada huruf yang kelima, K, singkatan dari Kepribadian. Kepribadian bangsa Indonesia dilihat sepintas lalu, orang sudah dapat mengatakan, “Ini adalah kepribadian bangsa.”

Terlebih lagi Bung Karno mengetahui bahwa satu generasi dari sarjana dan cendikiawan Indonesia itu menerima pendidikan dari bangsa yang telah menjajah negerinya sehingga buku yang dibaca atau pikiran yang mempengaruhi mereka adalah buku atau pikiran Belanda.  Oleh karena itu, text book thinking-nya menjadi berbau Belanda. Bung Karno menamakannya Hollandsche denkenn ‘berpikir dengan cara Belanda berpikir’. Bagaimana orang itu akan dapat dikatakan merdeka?

Jika dikalangan sarjana dan cendikiawan atau kaum intelek sudah demikian halnya, niscaya dalam agama pun demikian pula. Dikalangan kaum agama Islam di Indonesia pun timbul pembicaraan yang mirip. Satu golongan mengatakan bahwa sejad abad ketujug Hijriah pintu untuk berijtihad telah tertutup. Kita sudah harus menurut saja (taqlid) kepada apa yang ditulis oleh ulama terdahulu. Sampai hari Kiamat pintu ijtihad tidak tertutup. Sebab, permasalahan yang dibahas akan selalu muncul dalam masyarakat yang dinamis dan selalu bergerak. Kita harus berani meninjau kembali pendapat ulama terdahulu. Sudah jelas bahwa permasalahan masyarakat yang kita hadapi tidak sama dengan yang m pereka hadapi.

Selamilah sedalam-dalamnya pikiran orang lain dalam buku orang lain agar kita dapat membandingkan dan mencari tahu siapa diri kita. “Telan” buku-buku yang banyak, lalu jadikan pupuk untuk menyuburkan diri sendiri dengan pendapat sendiri.

Rousseau mengatakan, “Saya tidak sama dengan orang lain meskipun saya tidak mengaku saya yang lebih bagus atau pendapat saya yang lebih benar.”

Sumber Referensi : Hamka, 2014. Pribadi Hebat. Jakarta : Gema Insani

Ditulis oleh Andi Muhammad Ikram
Mahasiswa STEI SEBI Depok

0/Post a Comment/Comments