Benny Moerdani Dan Tes Wawasan Keagamaan

𝗕𝗘𝗡𝗡𝗬 𝗗𝗔𝗡 𝗧𝗘𝗦 𝗪𝗔𝗪𝗔𝗦𝗔𝗡 𝗞𝗘𝗕𝗔𝗡𝗚𝗦𝗔𝗔𝗡
Oleh Tarli Nugroho

(Foto diambil dari Fb Tarli)

[wartanusantara.id
Dalam hampir seperempat abad terakhir, ada banyak buku yang telah menggugat, membongkar, dan menyusun ulang narasi-narasi lama tentang Orde Baru dan para tokohnya. Namun, dari sekian banyak buku tadi, hanya sedikit yang telah menulis tokoh selain Jenderal Soeharto dengan bahan-bahan dan perspektif baru. Di antara yang sedikit itu adalah buku-buku karya Salim Said yang terbit dalam rentang sepuluh tahun terakhir. Dalam buku-buku terakhirnya, Salim banyak menulis sosok yang selama ini hampir tak tersentuh, baik sebagai obyek tulisan sejarah, maupun obyek tulisan jurnalistik, yaitu Benny Moerdani.

Meskipun Soeharto selalu dianggap sebagai penguasa tunggal dalam rezim militer Orde Baru, dengan kekuasaan yang seringkali dibayangkan sebagai “tak terbayangkan”, namun berbagai cerita “anti-mainstream” mengenai dirinya telah banyak ditulis bahkan semenjak ia masih berkuasa. Uniknya, atau anehnya (?), hal serupa tak berlaku atas sosok Benny. Kecuali sebagai obyek perbincangan lisan, tak banyak tulisan mengenai jenderal intel ini, baik yang mainstream, apalagi yang “anti-mainstream”. Sehingga, apa yang telah dituliskan Salim dalam buku-bukunya adalah sumbangan yang sangat berharga. 

Sebelum dikenal sebagai akademisi dan pengamat militer, Salim mengawali karirnya sebagai wartawan. Karir sebagai jurnalis inilah, yang dimulai sejak tahun-tahun sulit peralihan rezim Demokrasi Terpimpin ke Orde Baru, telah memungkinkannya mengenal dekat sejumlah tentara yang di kemudian hari akan menjadi elite militer dan pemerintahan, sebuah modal penting bagi topik kajian yang ditekuninya. Dari catatan-catatannya selama menjadi wartawan, serta akses wawancaranya yang hampir tak terbatas kepada berbagai kalangan angkatan bersenjata itulah, Salim kemudian menuliskan catatannya mengenai Benny. 

Meskipun catatan-catatan ini sebenarnya sudah lama dimiliki, namun Salim Said mengaku baru memiliki keberanian untuk menuliskannya belakangan, melalui buku semi memoarnya, “Dari Gestapu ke Reformasi: Serangkaian Kesaksian” (2013). Menurut saya, ini pengakuan yang menarik. Hanya terhitung jam sesudah Pak Harto lengser, berbagai narasi lama tentang dirinya segera dibongkar, didekonstruksi, dan bahkan didestruksi orang. Namun, butuh waktu sekitar sepuluh tahun sejak bekas orang nomor satu di tubuh angkatan bersenjata itu mangkat pada 2004, baru ada orang yang (berani) menuliskan kembali sosok Benny dengan sejumlah catatan dan perspektif baru. Selain Salim, kita ingat Majalah Tempo juga pernah mengeluarkan edisi khusus bertajuk “Benny Moerdani: Yang Belum Terungkap” pada bulan Oktober 2014. 

Jika sebelumnya berbagai cerita mengenai Benny hanya bersumber pada “katanya”, maka sumbangan penting yang diberikan Salim Said adalah semua “katanya” tadi punya nama dan jabatan. Terkait sikap Benny yang dinilai alergi terhadap kalangan Islam, misalnya, kesaksian itu diceritakan oleh sejumlah perwira yang pernah diwawancarai oleh Salim Said.

Dalam buku “Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto” (2016), sejumlah perwira senior, menurut Salim, merasa punya bukti diperlakukan secara diskriminatif hanya gara-gara mereka menjalankan ajaran agama dengan taat. Kesaksian itu salah satunya disampaikan oleh Mayjen TNI Edi Budianto, yang sebelum meninggal menjabat Asisten Intel Kasum TNI. 

Ia bercerita bahwa ketika masih berpangkat kapten, ia pernah ditugaskan untuk mengawasi seorang kolonel yang mengirimkan anak gadisnya untuk mengikuti acara pesantren kilat pada saat libur sekolah. Bayangkan, hanya gara-gara mengirimkan anaknya ikut pesantren kilat, seorang perwira TNI bisa segera dicurigai sebagai fundamentalis oleh atasannya. 

Diskriminasi serta kecenderungan untuk memojokan golongan Islam, tulis Salim, juga ditunjukkan ketika para perwira berkesempatan untuk melanjutkan pendidikan militernya. Sebelum mengikuti pendidikan, mereka harus melewati tes dengan cara menjawab sejumlah pertanyaan. Masalahnya, materi yang ditanyakan sama sekali tidak ada hubungannya dengan pengetahuan profesional kemiliteran, melainkan pertanyaan-pertanyaan yang cenderung akan menyinggung keyakinan keagamaan seseorang. 

Misalnya, para perwira yang beragama Islam akan ditanyai apakah mereka bersedia untuk menerima pemuda non-Muslim sebagai suami bagi anak gadisnya? Seandainya perwira yang bersangkutan menjawab pentingnya memilih pasangan yang seiman bagi anaknya, maka bisa dipastikan yang bersangkutan tidak akan lolos. Selain itu, ia akan segera mendapat cap fanatik, yang pada gilirannya akan membuat karir militernya mandek. Kesaksian-kesaksian semacam itu, ditulis panjang lebar oleh Salim Said dalam bukunya tadi.

Kesaksian lain yang menarik tentang Benny, dikutip Salim dari Harry Tjan Silalahi. Menurut mantan Direktur CSIS itu, Benny berprinsip “kalau mau mendapatkan orang loyal, carilah di kalangan minoritas” (Said, 2016: 160). Prinsip tersebut menjelaskan banyak hal, terutama mengenai bagaimana wajah organisasi militer pada zaman ia menjadi panglima. 

Menurut Adam Schwarz, dalam bukunya, "A Nation in Waiting" (1999), berbeda dengan para panglima sebelum dan sesudahnya, Benny memang banyak memelihara orang yang disenanginya, sehingga kemudian melahirkan semacam ‘golden boys’ Benny Moerdani. Salah satu anak emasnya adalah Luhut Pandjaitan. Sebagai orang intelijen, yang sering bertugas melakukan penggalangan dan pembinaan, Benny memang membangun organisasi militer di bawahnya sebagai barisan anak emas yang loyal kepadanya.

Sikap kritis Fraksi ABRI kepada Presiden Soeharto pada awal tahun 1990-an, menurut Salim Said, sebenarnya bukanlah menunjukan sikap keterbukaan di tubuh militer, melainkan bagian dari respon atas kian merosotnya peran mereka. Jika dirumuskan, sikap kritis ABRI itu sebenarnya lebih banyak diwarnai oleh kombinasi tiga hal, yaitu kemarahan mereka akibat tergusurnya Benny, berkurangnya kepercayaan Soeharto kepada mereka, dan kepercayaan yang kian besar dari Soeharto kepada orang-orang sipil di sekitarnya. Hingga tahun 1993, Benny memang masih punya sayap di DPR.

Selain Salim, Ginandjar Kartasasmita, dalam bukunya, “Managing Indonesia’s Transformation: An Oral History” (2013), juga menceritakan kesaksian sejenis. Ini adalah buku oral history, di mana Ginandjar diwawancarai oleh Takashi Shiraishi dan timnya terkait pengalaman hidup dan karirnya saat bekerja di pemerintahan. Ada banyak kesaksian sejarah yang belum pernah dituliskan oleh buku lain yang diungkapkan Ginandjar dalam buku ini, termasuk kesaksiannya mengenai sikap pribadi Benny terhadap Islam.

Meski belakangan dikenal sebagai teknokrat, Ginandjar adalah seorang perwira TNI Angkatan Udara berpangkat Marsekal Madya. Sejak 1983 hingga 1998, ia ditunjuk menjadi anggota MPR dari Fraksi ABRI. Suatu ketika, saat ia menjabat Ketua Panitia Ad-Hoc I yang bertugas menyusun GBHN, ia dipanggil oleh Panglima ABRI Jenderal TNI Benny Moerdani. Benny, ungkap Ginandjar, mempertanyakan masuknya kata “pesantren” pada draf GBHN. Benny menolak kata tersebut dimasukkan ke dalam GBHN. Selain itu, masih menurut Ginandjar, Benny juga tidak menyetujui masuknya kata “iman dan taqwa” dalam GBHN. Padahal, menurut Ginandjar, bagi orang Indonesia kedua kata itu merujuk pada kepercayaan dan ketaatan kepada Tuhan Yang Maha Esa. 

Menurut Ginandjar, Benny bahkan menyebut bahwa masuknya kata “iman dan taqwa” tadi merupakan bukti bahwa Piagam Jakarta telah masuk ke dalam GBHN. Meskipun Ginandjar telah menjelaskan kepadanya bahwa iman dan taqwa tidak hanya milik orang Islam saja, melainkan ada pada semua agama, namun bagi Benny masuknya kedua kata tadi tak lain menandakan kalau GBHN telah mengakomodasi keyakinan ekstremis Islam. 

Dipo Alam, dalam biografinya, “Dalam Pusaran Adab Dipimpin dan Memimpin”, juga menuliskan kesaksian bahwa Benny pernah melakukan upaya-upaya untuk menghalang-halangi terbentuknya ICMI. Ketika dilakukan pertemuan cendekiawan Muslim di Malang pada 6-8 Desember 1990, menurut Dipo, terlihat ada upaya penghadangan yang dilakukan oleh intelijen anak buah Benny.  Padahal, tulis Dipo, saat itu B.J. Habibie sudah mendapatkan restu dari Pak Harto untuk menjadi Ketua Umum ICMI. Untunglah Pangdam Brawijaya ketika itu, yang dijabat Mayjen R. Hartono, dinilai lebih loyal kepada Presiden daripada kepada atasannya langsung, sehingga permintaan untuk menggagalkan pembentukan ICMI itupun tidak dilaksanakan.

Ketidaksenangan Benny terhadap Habibie, selain bersifat politis, saya kira juga punya dimensi ekonomi yang kental. Selain karena Habibie belakangan memposisikan dirinya sebagai representasi umat—hal yang tak pernah disukai Benny; Habibie juga belakangan dipercaya oleh Presiden untuk masuk ke wilayah alutsista, yang sebelumnya “dimonopoli” oleh orang-orangnya Benny.

Menurut Salim, meskipun Benny sudah digusur dari jabatan panglima sebelum Sidang Umum MPR 1988, namun ia dipercaya masih memiliki pengaruh yang besar kepada Try, panglima penggantinya. Salah satu indikasinya adalah Try tetap mempertahankan seorang tangan kanan Benny di jabatannya, meskipun berkali-kali Presiden Soeharto sudah memintanya untuk dicopot. Lazimnya, tulis Salim, jabatan itu hanya diduduki sekitar tiga tahun saja. Namun, tokoh yang satu itu terus-menerus duduk pada jabatan strategis tadi untuk jangka waktu yang lama di dua periode panglima yang berbeda.

Menariknya, belakangan, sesudah tokoh itu meninggal, muncul sengketa waris senilai puluhan triliun antara keluarga tokoh tersebut dengan istri mudanya, yang sekilas akan mengingatkan kita pada sengketa waris milik istri muda seorang bekas petinggi Pertamina di pengadilan Singapura dulu.

Kembali ke sosok Benny, mungkin karena latar belakangnya sebagai tokoh intelijen itulah tidak banyak keterangan yang bisa digali mengenai dirinya. Padahal, ia adalah salah satu orang yang pernah memegang kekuasaan sangat besar pada zamannya. 

Catatan-catatan kesaksian yang dituliskan Salim Said mengenai Benny, tak pelak adalah sumbangan yang sangat berharga. Setidaknya, dari buku Salim, kita jadi tahu bahwa pertanyaan-pertanyaan ganjil sebagaimana yang diberikan pada sejumlah pegawai KPK ketika mengikuti Tes Wawasan Kebangsaan tempo hari, pernah juga diberikan kepada sejumlah perwira pada zaman Benny dulu.

0/Post a Comment/Comments