Mahasiswa STEI SEBI Depok
[WARTANUSANTARA.ID] Fiqh prioritas (fiqh al-awlawiyyāt) adalah salah satu konsep penting dalam Islam yang menekankan skala kepentingan dalam beramal. Dalam kehidupan sehari-hari, sering kali seseorang dihadapkan pada berbagai pilihan dalam berbuat kebaikan. Salah satu prinsip utama dalam fiqh prioritas adalah mengutamakan keluarga sebelum orang lain, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا وَّقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلٰۤىِٕكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُوْنَ اللّٰهَ مَآ اَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ
"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka..." (QS. At-Tahrim: 6).
Ayat ini menegaskan bahwa tanggung jawab seorang Muslim dimulai dari dirinya sendiri dan keluarganya sebelum meluas ke masyarakat. Rasulullah ﷺ juga mengajarkan prinsip ini dalam hadisnya:
"Cukuplah seseorang dikatakan berdosa jika ia menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya." (HR. Abu Dawud, no. 1692; Ahmad, no. 20596).
Setiap keluarga memiliki kewajiban untuk memastikan kebutuhan anggota keluarganya terpenuhi sesuai dengan kemampuannya dalam batas-batas ikhtiar manusiawi, baik kebutuhan materi maupun spritual, baik kewajiban terhadap pasangan (suami atau istri) maupun soliditasnya agar menjadi keluarga yang harmonis dan sakinah. Kita juga mempunyai kewajiban terhadap orang tua dan mertua untuk berbakti (birrul walidain). Begitu pula, kewajiban terhadap anak agar menjadi anak yang saleh dan berakhlak mulia, misalnya memastikan keluarga telah diberikan hak-haknya yang cukup.Setiap keluarga memiliki kewajiban untuk memastikan kebutuhan anggota keluarganya terpenuhi sesuai dengan kemampuannya dalam batas-batas ikhtiar manusiawi, baik kebutuhan materi maupun spritual, baik kewajiban terhadap pasangan (suami atau istri) maupun soliditasnya agar menjadi keluarga yang harmonis dan sakinah. Kita juga mempunyai kewajiban terhadap orang tua dan mertua untuk berbakti (birrul walidain). Begitu pula, kewajiban terhadap anak agar menjadi anak yang saleh dan berakhlak mulia, misalnya memastikan keluarga telah diberikan hak-haknya yang cukup.
Dalam kehidupan modern, sering kali kita melihat kejadian seseorang yang terlalu fokus dalam membantu masyarakat, tetapi melupakan keluarganya sendiri. Misalnya, ada seseorang yang aktif dalam kegiatan sosial dan berdonasi besar untuk pembangunan masjid atau sekolah, tetapi anak dan istrinya mengalami kesulitan ekonomi.
Kasus lain yang sering terjadi adalah seorang kepala keluarga yang sibuk dalam aktivitas dakwah dan organisasi keagamaan hingga mengabaikan pendidikan dan perhatian kepada anak-anaknya. Akibatnya, anak-anaknya justru tumbuh dalam lingkungan yang kurang mendapat bimbingan agama secara langsung dari orang tuanya.
Kesimpulan yang bisa kita ambil dari artikel ini yaitu Mengutamakan keluarga dalam fiqh prioritas bukan berarti mengabaikan kewajiban sosial, tetapi lebih kepada menempatkan tanggung jawab sesuai dengan urutan yang benar. Seorang Muslim yang baik adalah yang mampu menjaga keseimbangan antara kepentingan pribadi, keluarga, dan masyarakat.
Sebagaimana firman Allah:
"Dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu mencari-cari kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan." (QS. Al-Qasas: 77).
Dengan memahami fiqh prioritas, kita dapat menjalani kehidupan yang lebih harmonis dan sesuai dengan tuntunan syariat, di mana keluarga menjadi prioritas utama sebelum melangkah lebih jauh dalam amal kebaikan lainnya.
Daftar Pustaka:
Yusuf Al-Qaradawi, Fiqh Prioritas: Urutan Amal yang Benar dalam Islam, Jakarta: Gema Insani, 2008.
Oni Sahroni. Ini Dulu Baru Itu. Jakarta:Gema Insani