[WARTANUSANTARA.ID] Aksi Menko Pangan Zulkifli Hasan (Zulhas) yang memanggul karung beras sendirian dan menyekop lumpur di lokasi banjir bandang Padang, Sumatera Barat, justru menuai badai kritik alih-alih simpati. Di era digital yang transparan, publik menilai aksi tersebut sebagai manuver politik usang yang gagal total (backfire).
Mengapa Pencitraan Zulhas Gagal?
Analisa kegagalan ini dapat dipetakan ke dalam tiga faktor utama yang saling berkaitan:
- Disonansi Visual (Ketidakwajaran Adegan): Kegagalan terbesar adalah pada eksekusi visual yang tidak logis. Publik, termasuk figur publik seperti Inul Daratista, menyoroti kejanggalan di mana seorang menteri senior memanggul beras sendirian sementara di belakangnya berdiri aparat (TNI/ajudan) dengan tangan kosong. Dalam psikologi komunikasi, ini menciptakan disonansi kognitif—otak audiens menolak gambar tersebut karena bertentangan dengan logika protokoler dan hierarki kekuasaan. Ini memicu kesan "sinetron" atau acting ("Kamera mana, action!").
- Defisit Kepercayaan & Isu Masa Lalu (The Deflection Theory): Konteks politik sangat berpengaruh. Aksi ini dilakukan di tengah sorotan tajam publik terhadap rekam jejak Zulhas sebagai mantan Menteri Kehutanan (2009-2014), yang dikaitkan dengan kebijakan alih fungsi hutan penyebab bencana ekologis. Alih-alih dilihat sebagai empati, aksi fisik ini dibaca oleh pengamat politik sebagai upaya distraction (pengalihan isu)—menciptakan "dosa kecil" (tingkah konyol memanggul beras) untuk menutupi "dosa besar" (tanggung jawab kebijakan struktural). Netizen membaca ini bukan sebagai kepedulian, tapi sebagai guilt covering.
- Gagal Membaca "Netizen Intelligence": Tim komunikasi Zulhas tampaknya masih menggunakan playbook pencitraan era 2000-an (gaya blusukan fisik) yang mengasumsikan publik akan terenyuh melihat pejabat berkeringat. Mereka lupa bahwa netizen Gen Z dan Milenial di 2025 memiliki literasi media yang tinggi dalam mendeteksi konten settingan. Keaslian (authenticity) kini lebih berharga daripada heroisme teatrikal.
Pelajaran Berharga
Bagi pejabat publik maupun konsultan komunikasi politik, kasus ini memberikan pelajaran mahal:
- Tinggalkan "Solo Heroism", Fokus pada "Systemic Leadership": Saat bencana, publik tidak butuh menteri yang jadi kuli angkut (karena itu tugas relawan/logistik). Publik butuh menteri yang menjadi dirigen—memastikan rantai pasok pangan lancar, harga stabil, dan bantuan terdistribusi sistematis. Tunjukkan foto sedang memimpin rapat darurat atau menelepon Bulog untuk percepatan stok, itu jauh lebih powerful dan relevan dengan jabatannya sebagai Menko Pangan.
- Keaslian Mengalahkan Dramaturgi: Jangan membuat konten yang melawan logika akal sehat. Jika ingin turun ke lapangan, lakukan interaksi yang manusiawi (misal: mendengarkan keluhan korban), bukan melakukan pekerjaan fisik berat yang jelas-jelas ada orang lain yang lebih mampu melakukannya.
- Sensitivitas Krisis: Jangan menjadikan penderitaan korban sebagai latar belakang (background) untuk konten pribadi. Fokus kamera harusnya pada korban dan solusi, bukan pada "keringat pejabat".
Kesimpulan
Insiden "Zulhas Memanggul Beras" adalah contoh klasik dari anomali komunikasi krisis. Niat untuk menunjukkan kedekatan rakyat hancur karena eksekusi yang over-acting dan pengabaian terhadap konteks sentimen publik yang sedang kritis terhadap isu lingkungan. Ini adalah pengingat bahwa di 2025, rakyat membutuhkan policy maker, bukan aktor.
Sumber Referensi Utama:
- Tribun Jakarta (Des 2025): Kritik Inul Daratista & Sorotan TNI Tangan Kosong
- Paradigma.co.id (Des 2025): Analisis Pengamat soal Pengalihan Isu Kehutanan
- Detik News & RMOL (Des 2025): Respon PAN dan Pembelaan Spontanitas
