Pendahuluan: Mencari Jarum di Tumpukan Jerami
Hari ini, mendengar kata "Pejabat", apa yang terlintas di benak kita? Mobil mewah, rumah gedongan, atau gaya hidup hedonis keluarga mereka?
Rasanya sulit membayangkan ada pejabat negara selevel Perdana Menteri atau Wakil Presiden yang hidupnya pas-pasan, bahkan cenderung miskin. Tapi percayalah, Indonesia pernah dipimpin oleh manusia-manusia "setengah dewa" yang integritasnya melampaui logika zaman sekarang.
Mari kita berkenalan kembali dengan dua raksasa sejarah: Mohammad Hatta (Bung Hatta) dan Mohammad Natsir. Mereka adalah anomali. Mereka adalah bukti bahwa jabatan tak harus identik dengan kekayaan.
1. Bung Hatta: Sang Proklamator dan Sepatu Bally yang Tak Terbeli
Siapa tak kenal Bung Hatta? Wakil Presiden pertama RI, seorang intelektual kelas dunia. Logikanya, beli sepatu mahal pasti perkara mudah baginya.
Namun, ada satu kisah pilu yang ditemukan setelah beliau wafat. Di dalam dompetnya, terselip sebuah guntingan iklan koran lusuh. Iklan itu bergambar sepatu kulit merk Bally.
Hatta sangat mengidamkan sepatu itu. Namun, uang tabungannya tak pernah cukup. Gajinya sebagai pejabat negara ia gunakan untuk membantu kerabat dan keperluan rumah tangga yang pas-pasan. Ia tak mau menggunakan kuasa jabatannya untuk meminta "jatah" atau fasilitas negara demi sepatu itu.
Hingga akhir hayatnya, sepatu Bally itu tak pernah terbeli. Sang Proklamator pergi dengan membawa mimpi sederhananya, namun meninggalkan warisan integritas yang tak ternilai harganya.
Pelajaran: Hatta mengajarkan bahwa menahan diri dari keinginan pribadi adalah syarat mutlak seorang pemimpin.
2. Mohammad Natsir: Jas Tambalan Sang Perdana Menteri
Mohammad Natsir adalah Perdana Menteri RI (1950-1951) dan tokoh yang disegani dunia Islam.
Suatu hari, seorang pejabat pemerintahan kaget bukan main saat bertamu ke rumah Natsir. Ia melihat jas yang dikenakan Sang Perdana Menteri memiliki bekas jahitan tambalan di bagian lengan. Kemejanya pun kusam, kerahnya sudah belel.
Natsir menolak fasilitas mobil mewah Chevy Impala yang ditawarkan padanya. Ia lebih memilih pulang pergi rapat naik sepeda onthel atau menumpang mobil temannya. Rumahnya? Ia menumpang di paviliun milik sahabatnya, Prawoto Mangkusasmito, karena tak mampu beli rumah di Menteng.
Bahkan saat lengser dari jabatannya, Natsir tak punya tabungan yang cukup untuk pindah rumah. Ia kembali menjadi rakyat biasa yang bersahaja, tanpa sisa kemewahan sedikitpun.
Pelajaran: Bagi Natsir, jabatan adalah amanah berat, bukan ladang untuk menumpuk harta.
Kesimpulan: Kita Rindu Pejabat "Miskin"
Mungkin terdengar aneh, tapi bangsa ini merindukan sosok pejabat yang berani "miskin" demi rakyat. Hatta dan Natsir membuktikan bahwa kehormatan seseorang tidak dinilai dari merk sepatu atau kilap mobilnya, tapi dari kebersihan hati dan tangannya.
Semoga di tahun-tahun mendatang, lahir kembali bibit-bibit Hatta dan Natsir baru dari generasi muda Indonesia.
📚 Sumber Referensi Valid
A. Sumber Buku:
- Hatta, Meutia. (2002). Bung Hatta: Pribadinya dalam Kenangan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
- Noer, Deliar. (1990). Mohammad Hatta: Biografi Politik. Jakarta: LP3ES.
- Luth, Thohir. (1999). M. Natsir: Dakwah dan Pemikirannya. Jakarta: Gema Insani.
- Tempo (Seri Buku Saku). (2019). Natsir: Politik Santun di Antara Dua Rezim. Jakarta: KPG.
B. Sumber Link :
- Historia.id. Sepatu Bally yang Tak Terbeli Bung Hatta.
- Republika.co.id. Jas Bertambal Sang Perdana Menteri Mohammad Natsir.
