Wartanusantara.id – Di antara sembilan wali (Wali Songo) penyebar Islam di tanah Jawa, nama Sunan Kalijaga adalah yang paling melegenda dan lekat di hati masyarakat. Beliau bukan hanya seorang ulama, tetapi juga budayawan, seniman, dan politisi ulung yang merumuskan wajah Islam Nusantara yang ramah.
Berbeda dengan wali lain yang mungkin tampil dengan jubah kearab-araban, Sunan Kalijaga justru memilih tampil dengan pakaian adat Jawa (blangkon dan surjan). Siapakah sosok nyentrik ini sebenarnya?
Masa Muda: "Robin Hood" dari Tuban
Sunan Kalijaga lahir sekitar tahun 1450 M dengan nama asli Raden Said. Beliau adalah putra Adipati Tuban, Tumenggung Wilatikta.
Masa mudanya dipenuhi gejolak. Raden Said muda dikenal sebagai pemuda yang berontak melihat ketidakadilan di sekitarnya. Ia tidak tega melihat rakyat Tuban kelaparan karena upeti yang tinggi, sementara lumbung kadipaten penuh.
Ia kemudian melakukan aksi nekat: merampok lumbung harta pejabat korup dan membagikannya kepada rakyat miskin. Karena aksinya ini, ia dijuluki "Lokajaya" (Penguasa Wilayah) atau semacam "Robin Hood"-nya tanah Jawa. Namun, tindakan ini membuatnya diusir dari istana.
Pertobatan dan Tongkat Sunan Bonang
Titik balik hidupnya terjadi saat ia hendak merampok seorang tua yang ternyata adalah Sunan Bonang. Bukannya melawan, Sunan Bonang justru menasihati Raden Said dengan lembut hingga hatinya luluh.
Sunan Bonang kemudian memberikan ujian: Raden Said diminta menjaga tongkatnya yang ditancapkan di pinggir sungai (kali) tanpa boleh beranjak sampai Sunan Bonang kembali. Raden Said menuruti perintah itu hingga bertahun-tahun lamanya, sampai tubuhnya ditumbuhi lumut/akar.
Karena peristiwa "menjaga kali" itulah, ia kemudian mendapat gelar Sunan Kalijaga.
Strategi Dakwah: Membangun Tanpa Merobohkan
Sunan Kalijaga dikenal dengan pendekatan Tasawof (Sufistik) yang luwes. Filosofinya adalah "Tut Wuri Handayani" (mengikuti dari belakang sambil memengaruhi). Beliau tidak menghancurkan budaya Jawa yang Hindu-Buddhis, tetapi mewarnainya dengan nilai Islam.
1. Wayang Kulit Bernapaskan Tauhid Masyarakat Jawa sangat gemar wayang. Sunan Kalijaga memodifikasi bentuk wayang agar tidak melanggar syariat (tidak menyerupai manusia utuh) dan mengubah alur ceritanya.
- Jamus Kalimasada: Pusaka Yudhistira diartikan sebagai Kalimat Syahadat.
- Punakawan: Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong diciptakan sebagai tokoh rakyat jelata yang bijak, menyisipkan humor dan nasihat agama.
2. Tembang Lir-Ilir Beliau menciptakan tembang dolanan yang sarat makna makrifat. Lagu "Lir-ilr, lir-ilir, tandure wis sumilir..." adalah ajakan untuk bangkit dari kegelapan (kebodohan) dan menanam amal kebaikan selagi masih hidup ("mumpung padhang rembulane").
3. Grebeg Maulud (Sekaten)
Tradisi perayaan ulang tahun Nabi Muhammad SAW dikemas dengan pesta rakyat di alun-alun Demak, diiringi Gamelan Sekaten. Ini menjadi sarana mengumpulkan massa untuk diajak masuk Islam secara sukarela.
Warisan untuk Indonesia
Sunan Kalijaga wafat dan dimakamkan di Kadilangu, Demak. Warisan terbesarnya bukanlah bangunan megah, melainkan karakter Islam Indonesia yang toleran, mencintai budaya lokal, dan damai.
Beliau mengajarkan bahwa menjadi Muslim tidak harus menjadi orang Arab. Kita bisa tetap menjadi orang Jawa (atau orang Indonesia) yang beriman teguh kepada Allah SWT.
Referensi Sumber:
- Sunyoto, Agus. (2016). Atlas Wali Songo: Buku Pertama yang Mengungkap Wali Songo sebagai Fakta Sejarah. Tangerang Selatan: Pustaka IIMaN.
- Solichin, Salam. (1960). Sekitar Wali Sanga. Kudus: Menara Kudus.
- Kementerian Agama RI. (2019). Buku Siswa Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) Kelas IX MTs. Jakarta: Direktorat KSKK Madrasah.
