![]() |
(Baitul Hikmah era modern di Baghdad, Irak./Republika) |
Sebagian besar dari kita masih
belum tahu tentang kapan munculnya AHLUS-SUNNAH WAL JAMA’AH. Bagaimana proses
istilah tersebut menjadi populer sampai hari ini? Mari kita simak sejarah
kemunculan istilah AHLUS-SUNNAH WAL JAMA’AH, kami mengambil semua referensinya
dari Majalah Hidayatullah edisi 05|XXIX|September 2017/Dzulhijjah 1438 H. Tanpa
ada pengurangan dan penambahan. Silahkan simak tulisan di bawah ini;
AHLUS-SUNNAH WAL-JAMA’AH
Istillah AHLUS-SUNNAH WAL JAMA’AH amat populer. Bagaimana
sejarah kemunculannya?
Salah satu pemikiran dalam Islam yang sampai saat ini masih
eksis adalah Ahlus-Sunnah wal Jama’ah. Bahkan ini diikuti mayoritas umat Islam
di dunia.
Para ahli sejarah menjelaskan kemunculan aliran ini secara
substansial sebenarnya sudah ada sejak masa Nabi Muhammad SAW. Hanya saja
ketika itu namanya belum diformalkan.
Rosulullah Saw. Dalam sebuah kesempatan menyampaikan bahwa
umat Islam akan terpecah menjadi 73 golongan, hanya satu yang masuk surga dan
lainnya masuk neraka. Satu golongan itu disebut al-jama’ah. (Riwayat Ahmad, Abu
Daud, dan ad-Darimi)
Nabi Saw. Kemudian wafat. Tongkat kepemimpinan dilanjutkan
oleh khalifah Abu Bakar ash-Shidiq RA. Kemudian Umar bin Khatab RA. Sampai di
sini, dalam tubuh kaum muslimin tidak ada perpecahan.
Pelanjutnya adalah khalifah Utsman bin Affan RA. Beliau wafat
karena dibunuh pemberontak. Kemelut muncul dan terjadilah perang antara kubu
Ali bin Abi Thalib RA. Dan Muawiyah.
Secara militer, peperangan dimenangi oleh Ali. Tetapi secara diplomatis, Muawiyah yang
unggul. Dalam peristiwa ini lahir istilah populer yang dikenal dengan Tahkim,
yaitu kelompok Muawiyah mengibarkan bendera putih dengan Al-Qur’an berada di
ujung tombak sebagai tawaran damai.
Berawal dari sini, muncul kelompok baru yang menolak adanya
Tahkim, yaitu khawarij. Jadi, umat Islam terpecah menjadi tiga golongan, yaitu
Syiah (Pendukung Ali), Khawarij, dan pendukung Muawiyah.
Guna menguatkan kekuasaan dengan dalil agama, Muawiyah
membuat aliranatau golongan baru bernama Jabariyah. Salah satu ajarannya yaitu
setiap tindakan manusia adalah kehendak Allah SWT. Dalilnya adalah: “Tidaklah engkau memanah, pada saat memanah, akan
tetapi Allah-lah yang memanah.” Al-Anfal[8]:17)
Merebaknya ajaran Jabariyah membuat situasi menjadi rumit. Banyak
orang yang malas bekerja karena yakin bahwa apa yang dilakukan adalah kehendak
Allah SWT.
Melihat situasi yang tidak baik itu, cucu Ali yang bernama
Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib membuat aliran baru yang dikenal
dengan Qadariyah. Aliran ini mengajarkan bahwa manusia memiliki kehendak dan bertanggung
jawab atas setiap perbuatannya. Allah SWT. Tidak ikut campur dalam setiap
kehendak manusia. Dalilnya yang populer adalah : “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka
mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (ar-Rad [13]: 11)
Estafet kepemimpinan kemudian beralih dari kekhalifahan
Muawiyah ke Dinasti Abbasiyah. Di masa ini, doktrin Qadariyah menjadi aliran
yang paling populer dan menjadi pondasi untuk melakukan pembangunan. Paham ini
dianggap paling berjasa dalam melakukan reformasi besar-besaran dan menjadi
negara maju dalam berbagai aspek, seperti ilmu pengetahuan.
Dalam perkembangannya, Qadariyah bermetamorfosa menjadi
aliran Mu’tazilah. Ajarannya adalah menggunakan logika dalam setiap Ijtihad. Bahkan
kemudian aliran ini menjadi aliran resmi Negara.
Setiap warga wajib menggunakan doktrin Mu’tazilah sebagai
manhajul fikr (aliran pemikiran). Akibatnya, terjadilah pemaksaan doktrin
sampai pada pembunuhan terhadap setiap warga yang tidak mengikuti aliran itu.
Ketika Kekhalifahan Abbasiyah dipegang oleh al-Ma’mun (827
M), al-Ma’tashim, dan al-Wasiq (813-847 M), para ulama dipaksa untuk mengikuti
paham bahwa al-Qur’an adalah makhluk, bukan kalamullah. Siapa saja yang tidak
setuju maka akan disiksa atau dibunuh.
Di antara ulama yang menolak paham tersebut sehingga disiksa
adalah Imam Ahmad (ad-Dzahabi, Siyaru A’laamin Nubalaa’ juz XI:312). Pendiri mazhab
Hanbali ini harus mendekam dalam sel dan mendapat siksaan fisik yang sangat
berat.
Adapun ulama yang dibunuh adalah Imam al-Buwaithi, murid
Imam asy-Syafei’i. Ia disiksa sampai meninggal karena meolak keyakinan
tersebut. (Ibnu Katsir, al-bidayah wan Nihayah), 10/369).
AHLUS SUNNAH MUNCUL KEMBALI
Saat itu ada seorang ulama besar yang mulanya pengikut Mu’tazilah
namun kemudian menyatakan keluar. Beliau adalah Abu Hasan al-Asy’ari, yang
menyatakan netral. Bukan menjadi bagian dari Jabariyah, Qadariyah, atau Mu’tazilah.
Imam al-Asy’ari ingin membangun kembali semangat ajaran yang
dipesankan oleh Nabi Muhammad SAW untuk mengikuti sunnah dan para sahabat. Mengikuti
Imam al-Asy’ari berarti mengikuti jejak salaf dan berpegang teguh terhadapnya,
serta membangun argumentasi yang kokoh terhadap jejak mereka. Muncullah Asy’ariyyah
(Tajuddin as-Subki, Thabaqat as-Syafi’iyyah al-Kubra, III/365)
Istilah itu populer untuk membedakan dengan kelompok
lainnya. Namun sesungguhnya, istilah itu sudah dipakai oleh sebagian sahabat. Ibnu
Abbas ketika menafsirkan surat ali Imran {3} : 106, yang dimaksud “muka yang putih berseri” yaitu
Ahlus-Sunnah wal Jama’ah. Adapun orang-orang yang hitam muram mukanya adalah
ahli bid’ah. (Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an Adhim, 2/92)
Kalangan Tabi’in juga menggunakan istilah itu untuk
mengetahui orang yang benar-benar termasuk Ahlus-Sunnah dan bukan. Ibnu Sirrin
menjelaskan bahwa syarat diterimanya syarat seorang perawi Hadist yaitu harus
dari kalangan Ahlus-Sunnah. (Muqaddimah Muslim)
Tokoh lain yang mendorong agar umat kembali kepada
Ahlus-Sunnah adalah Abu Mansur al-Maturidi. Aliran ini semakin kuat di tengah
derasnya arus Jabariyah, Qadariyah, dan Mu’tazilah yang membingungkan umat.
Yang membedakan mereka dengan ulama Salaf yaitu mereka
menggunakan kalam saat menghadapi tokoh-tokoh Jabariyah dan lainnya. Tentunya,
kalam yang dipakai berpatokan pada hujjah-hujjag salaf.
Para salaf ketika menghadapi kelompok-kelompok tersebut
tidak menggunakan ilmu kalam sebagaimana yang dilakukan Imam Ahmad dan ulama
sebelumnya. Orang yang mengikuti sikap mereka disebut Atsyari dengan tokohnya Imam
Ahmad. Meski kelompok ini tidak
menggunakan kalam, namun mereka tidak mencela ulama yang menggunakan kalam
selama masih berpatokan pada al-Qur’an dan Sunnah.
Berdasar sejarah di atas, Syaikh Abul Aun as-Safarini
al-Hanbali (wafat 1188H) kemudian menggolongkan Ahlus-Sunnah wal Jama’ah
menjadi tiga kelompok. Yaitu al-Atsariyah dengan imamnya Ahmad bin Hambal,
al-Asy’arriyyah (Abul Hasan al-Asy’ari) dan al-Maturidiyyah (Abu Mansur
al-Maturidi). (Lawami’ al-anwar al-Bahiyyah, 1/73).
Sumber : Bahrul Ulum/Suara
Hidayatullah.