Keberadaan Partai Keadilan Tak Lepas dari Jasa Mas Ripto
“Pertemuan yang tidak kebetulan”
Perkenalan saya dengan Mas Ripto (panggilan akrap Suripto) berlangsung secara tidak sengaja. Mas Ripto itu peserta pengajian di salah satu majelis taklim yang dipimpin oleh Hartono Marjono, Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA) di tahun 1983-an.
Saya sendiri tidak ada hubungannya dengan majelis taklim itu, karena saya satu tahun sebelumnya, atau pada 1982 masih berada di tahanan militer Angkatan Darat (AD) dan Angkatan Laut (AL).
Saya dipenjara oleh rezim Soeharto selama lebih dari dua tahun. Awalnya setahun di Kebayoran lama, di penjara bekas tahanan komunis. Setahun kemudian dipindahkan ke penjara di kawasan Taman Mini yang dikenal dengan sebutan “Kampus Bambu Kuning”.
Saya dikeluarkan dari tahanan tanpa jelas kesalahannya serta tanpa diadili di pengadilan pada Juni 1983. Saya ditahan hanya karena menyampaikan materi ceramah yang dianggap menyinggung kekuasaan. Saya kemudian bertemu dengan Mas Ripto di majlis taklim pimpinan Hartono marjono pada akhir 1983.
Setelah masuk pada era Orde Reformasi, kehausan orang untuk mendirikan partai politik cukup besar. Hartono Marjono, Amien Rais, dan Hamzah Haz, masing-masing mendirikan partai politik yang berbeda.
Saya dan beberapa teman juga mendirikan dan membangun Partai Keadilan (PK) antara lain berkat sumbangsih pemikiran dari Mas Ripto kala itu.
Situasi di Penjara
Sebelum menjelaskan perkenalan saya lebih jauh dengan Mas Ripto, saya ingin menyampaikan situasi di penjara militer kala itu. Di penjara yang saya tempati ada komandan yang paling kejam, namanya Kolonel Tudong Sihombing, kalau tidak salah. Jika menyiksa orang kejamnya luar biasa.
Suatu ketika ada ramai-ramai pertandingan tinju antara Ellyas Pical dan Thomas Americo. Saya diikat, tapi diajak bertinju. Dia bilang, “Saya Thomas Americo dan kamu Saul Mamby.”
Spontan saya ketawa. Dia rupanya tersinggung. Lalu kepala saya dikemplang pake balok. Kemudian saya pikir saya sudah mati. Ketika tersadar saya melihat orang itu lagi.
Bahkan ada kisah-kisah lucu. Saya tidak diperkenankan mandi berhari-hari. Suatu ketika badan terasa gatal, waktu itu hari menjelang subuh. “Pak, saya mau shalat subuh, mau wudhu,” kata saya kepada tentara yang jaga. Dia bilang, “tayamum saja!” Saya bilang, “Kalau ada air tidak boleh tayamum, nanti bapak dosa ‘lho’,”. Akhirnya dia memperbolehkan saya masuk kamar mandi. Rupanya takut juga dia dengan dosa.
Sambil diborgol tangan dan kaki, saya masuk ke kamar mandi. Ada sabun, saya cuci tangan, dan tak disangka borgol lepas dari tangan dan kaki karena licin. Akhirnya saya mandi dengan tergesa-gesa.
Sepertinya tentara si penjaga itu curiga dan sangat takut saya lepas borgol. Dia bilang sama komandannya, dan akhirnya siangnya saya dipanggil Tudong Sihombing. Sambil pistol ditodongkan ke kuping saya, dia mengintrogasi saya. Saya katakan bahwa saya tidak melepas borgol, tapi saya bisa mengambil air wudhu. Sebelumnya saya pernah menyaksikan, ada orang tahanan yang dipukul sekali, langsung mati. Tega benar. Begitulah kala itu, bahwa untuk mendakwahkan kebenaran sangat tidak mudah.
Usai keluar penjara, saya masih terus aktif mengisi pengajian.
Menunjukkan kesungguhan
Ketika saya diminta mengisi pengajian di majelis taklim yang bertempat di kompleks perumahan DPA, saya mengiyakan. Yang mengundang itu orang China Muslim, saya lupa namanya.
Di majelis itu ada Husni Thamrin dan Hartono Marjono. Saya sudah kenal dengan mereka. Rupanya di tempat itu juga ada Suripto, tetapi saya ketika itu belum mengenal dia.
Pengajian berlangsung tiap hari Sabtu, malam Ahad. Adapun materi yang saya sampaikan adalah tentang bagaimana membina ummat. Saya berbicara logika sederhana dengan menyatakan bahwa membina ummat itu dapat dilakukan dengan dua langkah.
Pertama, bagaimana ummat berinteraksi dengan nilai-nilai Islam sehingga masyarakat dapat terwarnai dengan ajaran Islam. Saya memakai skema bahasa Arab, sehingga jamaah tersepuh oleh nilai-nilai Islam, dan setelah tersepuh baru kami ajak memperjuangkan Islam.
Setelah itu Mas Ripto meminta saya mengisi pengajian lagi, padahal saya ketika itu hanya sebagai ustadz pengganti. Akhirnya kita sepakat mengaji tiap Selasa di tempat yang sama, di rumah Pak Hartono, tokoh Pelajar Islam Indonesia (PII), dengan peserta yang sudah diseleksi.
Mas Ripto adalah peserta yang paling aktif dan konsisten selalu hadir, bahkan kadang-kadang dia mengajak istrinya ke pengajian. Pak Hartono juga dengan istri, dan banyak peserta lainyya juga mengajak keluarga untuk ikut pengajian, sampai suatu ketika Mas Ripto menyampaikan keinginannya untuk pergi haji.
“Ustadz saya mau haji,” katanya. Terus saya bilang, “Semoga berhasil menjadi haji mabrur.” Beberapa hari kemudian Mas Ripto dating ke rumah, meminta nasehat dalam rangka rencana kepergiannya ke Tanah Suci.
Lalu saya katakan, haji itu gampang, ibadah fisik, dan bacaan haji Cuma satu, yakni “Labbaik Allahumma Labbaik.” Artinya “Aku sambut panggilanMu. Ya Allah aku sambut panggilanMu”
Mas Ripto selama ikut pengajian menunjukkan kesungguhan, dari tidak bisa membaca Al-Quran sampai mahir bacaannya. Pesan saya kepada dia hanya satu: mantapkan bacaan “Labbaik Allahumma Labbaik” itu dengan pasti, lalu tambah dengan doa yang lain. Yang penting setelah haji tetap “Labbaik.” Jangan laa (tidak) baik.
Peran Dalam Berdirinya Partai Keadilan
Khusus dalam kiprah politik, tidak banyak yang mengetahui tentang kiprah Suripto dalam ikut membangun Partai Keadilan (PK) yang didirikan pada 1998 dan kemudian menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) pada 2002.
PK lahir di tengah gelombang reformasi, dimana dalam berbagai kegiatan Mas Ripto dijadikan salah satu mentor dalam membangun organisasi yang kuat, termasuk sebagai "payung security" karena ia diterima di kalangan tentara. Itulah arti penting peran Mas Ripto dalam keberadaan PK kala itu sampai berlanjut ke PKS hingga saat ini.
Sebelum terjun ke partai politik, Suripto mempunyai cerita panjang yang berliku dan terjal. Pada 1970 sampai 1981 ia menjadi Sekretaris Lembaga Studi Strategis (LSS) yang berada di lingkungan Dewan Pertahanan dan keamanan Nasional (Wanhankamnas).
LSS itu merupakan tempat berkumpul dan berdiskusi para intelektual muda ketika itu seperti Fuad Hassan, Sarlito Wirawan Sarwono, dan Yuwono Sudarsono.
Setelah Presiden Soeharto mengangkat Fuad Hassan sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Fuad mengajak Suripto untuk menjabat sebagai Deputi Bidang Kemahasiswaan.
Saya tidak tahu Mas Ripto orang intel. Yang saya ingat ia rajin ikut pengajian di rumahnya Hartono Marjono di Kebayoran Baru, Jakarta. Ia cukup tekun menyimak apa yang saya sampaikan, bahkan punya keinginan kuat untuk bisa mengaji dengan baik.
Ketika saya dengan Mas Ripto sudah saling kenal, kami kemudian sering melakukan diskusi. Saya bertanya, apa tugasnya di Departemen Pendidikan. Ia menjawab, “Untuk menjadikan mahasiswa kembali ke kampus dan tidak sering turun ke jalan.”
Tugas itu mudah, kata saya. Tarik saja mahasiswa yang muslim ke pengajian di kampus-kampus. Bahkan di tingkat SMA ada juga kegiatan Rohani Islam (Rohis) yang digalang para mahasiswa.
Jika ada gangguan terhadap pengajian mahasiswa, maka Mas Ripto yang menyelesaikannya, Ia menjumpai Pembantu Rektor (Purek) yang membidangi kemahasiswaan agar kegiatan pengajian di kampus tidak dihalangi, apalagi dibubarkan, karena kegiatan itu adalah bagian dari misi Departemen DPK.
Kira-kira begitu. Suripto langsung mendatangi Purek III, dan bukan dia yang datang ke mahasiswa. Jadi kira-kira Mas Ripto itu seperti payung security. Jadi punya peran penting pada titik itu.
Berkat adanya payung security di lingkungan mahasiswa, akhirnya banyak lahir tokoh muda Islam militan dan teguh pendirian yang kemudian ikut bergabung dengan partai-partai politik.
Saya juga ikut merasakan dalam kegiatan pengajian di beberapa tempat. Saat itu kegiatan pengajian banyak dicurigai, katanya sebagai latihan komando jihad, ingin mendirikan Negara Islam Indonesia (NII), dan lain sebagainya.
Tetapi dengan masuknya Mas Ripto, fitnah terhadap pengajian akhirnya tidak banyak lagi, meski ada isu yang terus dikembangkan oleh orang-orang yang tidak suka. Disebutnya pengajian “kaki tangan intel”, “antek-antek tentara”, dan lain sebagainya.
Semua isu itu kita jawab dengan amalan-amalan soleh, sebab cara menangkal fitnah yang paling efektif adalah dengan berbuat amal soleh.
Lalu ketika sebagian kelompok menanyakan kepada saya soal keterlibatan aktif Mas Ripto sebagai orang intel di pengajian, saya jawab, “Ahlan Wa Sahlan” saja.
Bahkan saya pernah dialog dengan para jenderal yang disponsori oleh Pak Tri Sutrisno. Dalam dialog tentang Pancasila dan NKRI itu saya jelaskan secara tuntas. Saya katakan ummat Islam tidak pernah memusuhi Pancasila.
Masalah yang bikin rebut itu adalah ketika ada tafsir tunggal tentang Pancasila yang dipaksakan kepada orang lain, seperti zaman Soekarno, di mana Pancasila ditafsirkan menjadi Trisila, lalu Ekasila. Sesudah Ekasila ketuhanannya kemudian tidak ada. Gotong royong itu Ekasila, Trisilanya itu sosio nasionalisme, sosio internasionalisme, dan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dalam demokrasi, kalua mayoritas masyarakatnya beragama Hindu, konstitusinya akan diwarnai dengan ajaran Hindu. Biasa saja. Jika mayoritas masyarakatnya beragama Nasrani, konstitusinya diwarnai Injil dan sebagainya. Lalu kalau mayoritas Islam, apa tidak boleh konstitusinya ada warna Islam?
Setelah saya jelaskan kepada para jenderal itu, mereka bilang kalau begitu “clear”. Saya katakan tidak ada masalah. Lalu bagaimana tentang cita-cita syariat Islam?
Saya bilang orang Islam harus melaksanakan syariat Islam seperti nikah, makan, dan lain sebagainya. Itu ideologi, kita harus melaksanakan syariat Islam. Bertetangga, berhaji, itu juga syariat Islam. Tafsir orang Islam seperti itu. Tidak memaksakan ke orang lain.
Orang lain juga boleh menafsirkan dengan tafsirannya sendiri, asalkan tidak dipaksakan ke orang lain di luar kelompoknya. Misalnya PKS punya tafsir tentang sesuatu, lalu tafsirannya dipaksakan ke Golkar. Itu tidak boleh.
Keberanian Tiada Tara
Ustadz Hilmi juga menjelaskan, keberanian Mas Ripto itu tiada tara, seperti terbukti saat mengantar bantuan senjata dan uang kepada para pejuang Muslim Bosnia yang sedang di kepung oleh tentara Serbia.
Setelah bergabung dengan kelompok pengajian, komitmen dan konsisten Suripto untuk membantu perjuangan ummat Islam luar biasa, termasuk membantu perjuangan ummat Islam di Bosnia hingga Palestina.
Ia banyak tergerak oleh rasa kemanusiaan dan solidaritas keislaman, sebab di negara-negara itu banyak Muslim dibantai, sementara mereka yang selamat menderita kelaparan dan kesengsaraan yang luar biasa.
Waktu itu meletus perang di Bosnia. Mas Ripto punya ide bagus. Supaya cepat mengumpulkan dana bantuan untuk masyarakat Muslim Bosnia, dia usul agar melibatkan keluarga Presiden Soeharto, khususnya Probo Sutedjo (adik Pak Harto).
Probo Sutedjo diyakinkan oleh kita akan arti pentingnya bantuan kepada Muslim Bosnia. Akhirnya disepakati bantuan dikelola di bawah paying Majelis Ulama Indonesia (MUI). Hasilnya luar biasa. Dalam dua hingga tiga bulan terkumpul dana sebanyak dua juta dolar AS.
Setelah dana terkumpul, ternyata tidak ada yang punya akses ke Bosnia. Akhirnya saya sampaikan kepada teman-teman bahwa saya tahu celah-celahnya di sana, karena ada beberapa teman kuliah di Arab yang berasal dari Bosnia. Setelah saya kontak, ternyata mereka tidak minta uang dan makanan, tetapi minta senjata untuk berperang melawan tentara Serbia. ‘Nah’ disitulah ada kesulitan.
Lalu karena Mas Ripto orang lingkungan intel, kita serahkan urusan itu kepadanya, bagaimana agar Pak Harto mendukung, karena jika Presiden tidak merestui, maka tidak ada yang berani memberikan bantuan dimaksud ke Bosnia.
Entah bagaimana keahlian Mas Ripto menyakinkan Cendana, akhirnya Pak Harto setuju terhadap rencana pemberian bantuan berupa senjata, sehingga kami bisa berangkat ke Eropa serta mendapat dukungan dari para Dubes Indonesia di negara-negara Eropa, meski Panglima ABRI Jenderal Benny Moerdani tidak sependapat hingga membenci Mas Ripto.
Saya sampai sekarang menganggap pemberian bantuan ke Bosnia itu menjadi amal Pak Harto di hari akhir karena tanpa izin dari dia untuk mengirimkan senjata ke Bosnia, pemberian bantuan tersebut dipastikan tidak akan terwujud.
Itu sebabnya, ketika Pak Harto meninggal, saya membuat surat edaran melarang orang menghujat Pak Harto karena saya tahu ada sisi baik perjuangan dia membantu sesame Muslim yang tidak banyak diketahui orang.
Kembali terkait bantuan ke Bosnia, MUI ketika itu mengirim orang berempat; dua militer dan dua sipil. Maaf saya lupa ada colonel aktif yang no ikut kala itu, sedangkan dari pihak sipil adalah saya dan Adi Sasono.
Kami pergi ke perbatasan Kroasia melalui Erpoa. Kami menyewa hotel dan beberapa ruangan untuk menerima tamu dari teman-teman Bosnia dan yang lainnya guna membicarakan bagaimana caranya membeli senjata dan mengantarnya ke tempat tujuan.
Para pedagang senjata dari Eropa ada yang menawarkan senjata berat dan ringan. Kami memilih senjata ringan untuk bergerilya. Perlu digarisbawahi, bahwa di setiap daerah konflik itu pasti ada pasar gelap senjata, di manapun. Waktu di sana itu kita mulai kontak beberapa pedagang senjata yang kita kenal, bahkan termasuk dari Serbia sendiri.
Dalam kaitan ini Suripto sebagai pejabat resmi, di mana-mana harus membuat pelaporan. Kalau saya bukan pejabat, tetapi bisa belanja senjata sampai 1,6 juta dolar AS.
Alhamdulillah setelah membeli senjata, tinggal bagaimana strategi mengirimnya. Senjata akan dikirim ke Sarajevo, sekitar 17 km dari pusat konflik, tepatnya ke dataran Gunung Igman, kota kecil. Kita akan kirim ke sana, kita berangkat dari Kroasia.
Kami diskusi dengan tentara Bosnia, dan disepakati cara mengirimnya hingga tiba ke Gunung Igman dengan pesawat kecil yang terbang buta, tidak boleh memakai lampu atau navigasi. Setelah mendengar penjelasan seperti itu, tim tidak ada yang bersedia karena tidak ada keberanian.
Hanya Suripto yang berani. ”Dengan Bismillah, saya yang akan mengantar,” kata Suripto. Senjata akhirnya sampai di tujuan dan Mas Ripto juga selamat. Mas Ripto masuk ke Igman, sementara saya dan kawan-kawan pindah dan menunggu di Jerman.
Soal pengiriman senjata itu urusan Mas Ripto. Dia pemberani terhadap apa yang diyakininya. Pemberani tiada tara. Bagaimana menyewa gudang senjata dan mengirimnya, itu urusan Mas Ripto.
Mas Ripto juga mengantarkan dana sekitar 400 ribu dolar AS untuk pembangunan masjid yang awalnya diberi nama Masjid Soeharto dan kemudian diganti menjadi Masjid Istiqlal. Dan nama Indonesia sangat dikenal di Bosnia hingga kini. Setelah perang selesai, Pak Harto datang ke Bosnia dalam keadaan aman dan selamat.
Perhatian Suripto ke Palestina juga sama seperti itu. Karena selain kewajiban konstitusional, juga ada kewajiban syariah. Sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Isra ayat 1, yakni kalimat “Baarakna Haulahu”. Kami berkati sekitar Masjidil Aqsha.” Itu artinya siapapun yang peduli terhadap Palestina, dan terlibat di dalamnya, itu karena ada berkah di bumi Palestina.
Diambil dari :
Buku Gagasan dan Pemikiran Suripto, Intel Tiga Zaman, 2018.
Sumber : Ahmad Dzakirin dalam akun Fbnya