Oleh: Bunyanun Rizki (STEI SEBI)
Maqashid ? Bai al inah ?
Kata yang agak asing untuk orang awam dan mungkin kata yang familiar untuk orang yang bergelut dalam ekonomi islam .
Sebelum membahas tentang pelarangnya yuk simak pengertiannya.
Maqashid merupakan bentuk jama’ dari maqsud yang berasal dari suku kata Qashada yang berarti maksud atau tujuan.
Bai berarti jual beli sedangkan secara umum Al-‘Inah adalah seseorang menjual suatu barang dengan harga tertentu secara kredit lalu ia kembali membelinya dari pembeli dengan harga yang lebih sedikit secara kontan.
Bai al inah juga dapat di artikan dari dua aspek yaitu aspek penjual dan pembeli.
Bai’ al-inah adalah seorang membeli barang secara tidak tunai, dengan kesepakatan, akan menjual kembali pada penjual pertama dengan harga lebih kecil secara tunai.
Bai’ al-inah bisa diartikan dari aspek pembeli dan aspek penjual . Dari aspek pembeli, bai’ al-inah adalah seorang membeli barang secara tidak tunai, dengan kesepakatan, akan menjual kembali pada penjual pertama dengan harga lebih kecil secara tunai.
Sedangkan dari aspek penjual, bai’ al-inah adalah: seseorang menjual barang secara tunai dengan kesepakatan, akan membelinya kembali dari pembeli yang sama dengan harga yang lebih kecil secara tidak tunai.
Rasulullah Saw bersabda : Ibnu Umar meriwayatkan, bahwa Rasulullah Saw berdabda “Apabila manusia akan dinar dan dirham, melakukan jual beli ‘inah mengikuti ekor ekor sapi dan meninggalkan jihad dijalan Allah, maka Allah Swt, akan menurunkan musibah dan tidak akan menarik kembali kecuali mereka kembali komitmen dengan agama mereka.” (HR Imam Ahmad)
Hukumnya Bai al Inah menurut para ulama :
Jual beli secara Al-‘Inah adalah haram dan tidak diperbolehkan menurut Jumhur ulama (kebanyakan ulama). Hal tersebut diriwayatkan dari ‘Aisyah, Ibnu ‘Abbas, Anas bin Malik, Ibnu Sirin, Asy-Sya’by, An-Nakh’iy dan juga merupakan pendapat Al-Auza’iy, Ats-Tsaury, Abu Hanifah, Malik, Ahmad dan Ishaq.
Disisi lain Imam Asy-Syafi’iy dan pengikutnya membolehkan jual beli dengan cara Al-‘Inah.
Pada dasarnya Bai (Jual-Beli) itu diperbolehkan jika tidak ada maqashid yang melarangnya.
Larangan tersebut memiliki maqashid yaitu menghindarkan transaksi hilah ribawiyah (manipulasi) untuk melakukan riba yang terlarang atau praktek simpan pinjam berbunga dengan modus jual beli.
Contoh
Bunyan menjual motor seharga Rp.20 juta secara cicilan kepada Fajar, dengan syarat Fajar harus menjual kembali motor itu kepada Bunyan secara tunai seharga Rp.15 juta.
Transaksi tersebut haram karena ada persyaratan bahwa Bunyan bersedia menjual motor ke Fajar asalkan Fajar kembali menjual barang tersebut kepada Bunyan. Dalam kasus ini di isyaratkan bahwa akad 1 berlaku efektif bila akad 2 dilakukan. Peryaratan ini mencegah terpenuhinya rukun jual beli.
Maqashid ? Bai al inah ?
Kata yang agak asing untuk orang awam dan mungkin kata yang familiar untuk orang yang bergelut dalam ekonomi islam .
![]() |
(Sumber : Al-Khoirot.net) |
Maqashid merupakan bentuk jama’ dari maqsud yang berasal dari suku kata Qashada yang berarti maksud atau tujuan.
Bai berarti jual beli sedangkan secara umum Al-‘Inah adalah seseorang menjual suatu barang dengan harga tertentu secara kredit lalu ia kembali membelinya dari pembeli dengan harga yang lebih sedikit secara kontan.
Bai al inah juga dapat di artikan dari dua aspek yaitu aspek penjual dan pembeli.
Bai’ al-inah adalah seorang membeli barang secara tidak tunai, dengan kesepakatan, akan menjual kembali pada penjual pertama dengan harga lebih kecil secara tunai.
Bai’ al-inah bisa diartikan dari aspek pembeli dan aspek penjual . Dari aspek pembeli, bai’ al-inah adalah seorang membeli barang secara tidak tunai, dengan kesepakatan, akan menjual kembali pada penjual pertama dengan harga lebih kecil secara tunai.
Sedangkan dari aspek penjual, bai’ al-inah adalah: seseorang menjual barang secara tunai dengan kesepakatan, akan membelinya kembali dari pembeli yang sama dengan harga yang lebih kecil secara tidak tunai.
Rasulullah Saw bersabda : Ibnu Umar meriwayatkan, bahwa Rasulullah Saw berdabda “Apabila manusia akan dinar dan dirham, melakukan jual beli ‘inah mengikuti ekor ekor sapi dan meninggalkan jihad dijalan Allah, maka Allah Swt, akan menurunkan musibah dan tidak akan menarik kembali kecuali mereka kembali komitmen dengan agama mereka.” (HR Imam Ahmad)
Hukumnya Bai al Inah menurut para ulama :
Jual beli secara Al-‘Inah adalah haram dan tidak diperbolehkan menurut Jumhur ulama (kebanyakan ulama). Hal tersebut diriwayatkan dari ‘Aisyah, Ibnu ‘Abbas, Anas bin Malik, Ibnu Sirin, Asy-Sya’by, An-Nakh’iy dan juga merupakan pendapat Al-Auza’iy, Ats-Tsaury, Abu Hanifah, Malik, Ahmad dan Ishaq.
Disisi lain Imam Asy-Syafi’iy dan pengikutnya membolehkan jual beli dengan cara Al-‘Inah.
Pada dasarnya Bai (Jual-Beli) itu diperbolehkan jika tidak ada maqashid yang melarangnya.
Larangan tersebut memiliki maqashid yaitu menghindarkan transaksi hilah ribawiyah (manipulasi) untuk melakukan riba yang terlarang atau praktek simpan pinjam berbunga dengan modus jual beli.
Contoh
Bunyan menjual motor seharga Rp.20 juta secara cicilan kepada Fajar, dengan syarat Fajar harus menjual kembali motor itu kepada Bunyan secara tunai seharga Rp.15 juta.
Transaksi tersebut haram karena ada persyaratan bahwa Bunyan bersedia menjual motor ke Fajar asalkan Fajar kembali menjual barang tersebut kepada Bunyan. Dalam kasus ini di isyaratkan bahwa akad 1 berlaku efektif bila akad 2 dilakukan. Peryaratan ini mencegah terpenuhinya rukun jual beli.