Oleh Agung Aji Purwasis
Niat
dan motivasi dalam suatu perbuatan memegang peranan penting dalam menentukan
status hukum, apakah perbuatan tersebut benar atau tidak dalam kaca mata
syariah. Jika suatu perbuatan dilakukan dengan niat yang tidak dibenarkan oleh
Allah SWT, maka perbuatan itu dinilai tidak benar dalam hukum islam dan
otomatis tidak akan menghasilkan pahala, bahkan dihitung sebagai kejahatan dan
perbuatan dosa. Dari aspek hukum, para ulama telah menitikberatkan dengan
sangat dalam para doktrin niat ini dan akibat yang ditimbulkannya. Mereka telah
meneliti banyak perbuatan yang berkaitan dengan berbagai bidang fiqh seperti
ibadah, hubungan keluarga, akad, dan transaksi bisnis, serta bidang fiqh
lainnya. Mereka juga telah menentukan status dan posisi hukum berdasarkan tujuan
dan niatnya.
Untuk menekankan betapa pentingnya peran niat dalam
perbuatan, Iman Ibn al-Qayyim (wafat 476 H/ 1084 M), seorang ulama madzhab
Hambali yang terkemuka menulis: “Dalil-dalil dan aturan-aturan syariah yang
mengatakan bahwa niat diperhitungkan dalam akad. Niat-niat ini mempengaruhi sah
dan tidak sahnya, boleh dan tidak bolehnya suatu akad. Tetapi yang lebih
penting lagi, niat ini mempengaruhi perbuatan yang bukan merupakan suatu akad,
terkait dengan boleh atau tidak bolehnya. Perbuatan yang sama menjadi boleh
dalam suatu waktu dan tidak boleh di waktu yang lain tergantung pada variasi
niat dan tujuanya”.¹
Imam Ibn Hazm (wafat 456 H / 1064 M) telah menekankan
juga pentingnya niat dalam perbuatan hukum. Beliau mengatakan bahwa, “jika
seseorang menjual anggur kepada seseorang yang sudah jelas akan mengekstrak
tuak dari anggur itu, atau menjual senjata kepada pihak yang sudah jelas akan
menggunakannya memerangi kaum muslimin, maka jual-beli seperti itu tidak sah,
karena Allah berfirman: “...dan tolong menolonglah dalam (mengerjakan)
kebajikan dan taqwa dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran...(QS.5:2)”.²
Ulama terkemuka lainnya, Imam Syatibi (wafat 790 H / 1388
M) juga telah menggarisbawahi pentingnya tujuan dan niat dalam menentukan sah
atau tidaknya suatu perkara. Beliau mengatakan: “Amal perbuatan ditimbang dari
niatnya, dan tujuan suatu perbuatan diperhitungkan dalam sifatnya seperti
perbuatan ritual dan perbuatan dagang. .... tujuan dan motivasi membuat
perbedaan antara perbuatan ritual dan perbuatan dagang (dalam hal akad dan
karakternya). Niat dan tujuan itu juga menentukan keabsahannya suatu perbuatan.
Sehingga, ketika tujuan akhir dari suatu perbuatan diharamkan, perbuatan itu
juga diharamkan. Misalnya, ketika jual beli dimaksudkan sebagai sarana menuju
Riba, maka jual beli seperti itu tidak sah.³
Teori niat ini termaktub dalam sejumlah kaidah, salah
satunya yang berbunyi, “segala sesuatu didasarkan pada niatnya”
Kaidah ini didasarkan pada hadits yang terkenal dari rasulullah
SAW yang menyatakan: “Innama a’malu bin
niyyat”. Arti hadits tersebut, bahwa balasan terhadap suatu perbuatan
tergantung pada niat melakukan perbuatan tersebut. Jadi, suatu perbuatan layak
mendapat imbalan hanya ketika perbuatan tersebut dilakukan dengan niat yang
baik.
Kaidah ini menganjurkan bahwa menilai keabsahan dan
akibat hukum suatu perbuatan, niat melakukan perbuatan itu harus
diperhitungkan, di samping aspek yang kelihatan dari perbuatan itu. Jadi,
ketika seseorang menemukan barang orang lain tercecer di jalan dan mengambilnya,
yang kemudian barang itu hilang atau rusak di tangannya, maka kewajiban
mengganti barang itu tergantung pada niat mengambilnya. Jika diniatkan untuk
diserahkan kepada yang punya, dan supaya orang lain tahu, maka dia dianggap
amanah dan tidak berkewajiban membayar ganti rugi. Tapi, jika niatnya untuk
memiliki barang tersebut, maka dia diharuskan membayar ganti rugi kepada
pemilik. Contoh diatas menunjukkan bahwa karena niat, status seseorang yang
menemukan barang dipinggir jalan tadi berubah dari seorang amanah menjadi
seorang pencuri.
Tidak ada pertentangan di antara ulama fiqh tentang
konsistensi niat antara pihak-pihak yang melakukan akad dengan niat antara
pihak-pihak yang melakukan akad dengan niat Allah. Jika niat pihak-pihak yang
melakukan akad tidak selaras dengan niat Allah, maka akadnya menjadi tidak sah.
Alasannya, karena Allah mempunyai maksud dan tujuan dalam setiap akad dan
tindakan. Jika pihak-pihak yang melakukan akad memiliki niat yang sama dengan
Allah, maka akad tersebut sah.
Agungapur/agungaji895@gmail.com
Referensi :
1. Ibn
al-Qayyim, ‘llam al-Muwaqqi’in, vol.3,. hal.96.
2. Ibn
Hazm, Al-Muhallah, vol. 9, hal.29.
3. Syatibi,
Al-Muwafaqat, vol. 2, hal. 323, 324.
4. Kaidah-kaidah
fiqh keuangan dan transaksi bisnis