QAWAID FIQHIYYAH (KUBRA)

Oleh Saebi Pazry


Qawaid Fiqhiyyah (kaidah – kaidah fiqih) menempati posisi yang sangat penting dalam literatur Hukum Islam. Kaidah – kaidah ini merupakan ketetapan – ketetetapan hukum yang uum, dimana ulama melakukan satu proses induksi dari banyak ketentuan fiqh sebagai generalisasi hukum. Para ulama memandangnya sebagai karakteristik fiqh yang sistematis dan sudah menjadi bawaan lahir yang sulit diubah tanpa mengganti keseluruhan strukturnya.[1]


Kaidah – kaidah hukum mempunyai peran utama dalam mengelompokkan fiqh dan menetapkan aturan – aturannya, dimana keberagaman dan bagian – bagian yang bercerai – berai dalam fiqh disatukan dalam satu konsep. Fungsi utama dari Qowaid Fiqhiyyah adalah mengelompokkan dan mengkonsolidasikan ketentuan – ketentuan fiqh yang identic di bawah aturan – aturan yang universal dan menyeluruh. Kaidah – kaidah hukum memotret suatu gambaran umum tentang dasar, semangat dan filsafat hukum tentang islam.

Qowaid Fiqhiyyah pada dasarnya diperuntukkan sebagai bantuan hukum dan bimbingan interpretasi untuk memahami ketentuan – ketentuan fiqh yang terkandung dalam literatur ilmu hukum. Qowaid Fiqhiyyah dapat dijadikan pedoman oleh ahli hukum dalam mengeluarkan suatu fatwa oleh pengadilan dalam memutuskan suatu perkara.

Karena Qowaid Fiqhiyyah dapat dijadikan suatu pedoman oleh ahli hukum dalam memutuskan suau perkara, sang penulis merasa perlu memahami kaidah pokok apa saja yang terdapat dalam Qowaid Fiqhiyyah yaitu; Al-Umuuru bi Maqaashidiha, Adh-Dhararu Yuzaalu, Al – ‘Aadah Muhakkamah, Al – Masyaqqoh Tajlibu Taysir, Dan Al – Yaqiinu La Yuzal Bisy Syak.



1.      Al Umuuru bi Maqaashidiha

Al – Umuuru bi Maqaashidiha (Segala sesuatu didasarkan pada niatnya), kaidah ini menganjurkan bahwa ketika menilai keabsahan dan akibat hukum suatu perbuatan, niat melakukan perbuatan itu harus diperhitungkan, di samping aspek yang kelihatan dari perbuatan itu. Kaidah ini didasarkan pada hadits yang sangat terkenal dari Rasulullah SAW yang menyatakan:

            “ Innamal A’malu bin niyyat….”[2]

Arti hadits itu, bahwa balasan terhadap suatu perbuatan tergantung kepada niatannya. Contohnya dalam hal muamalah adalah penjual buah anggur yang menjual anggur menjadi minuman yang memabukkan tidak sah, sebab motivasi membelinya tidak diperbolehkan.[3]

2.      Adh Dhararu Yuzaalu

Adh – Dhararu Yuzaalu (Kemudharatan itu harus dihilangkan), kaidah ini memberikan solusi ketika suatu mudarat terjadi, maka tindakan – tindakan yang tepat harus diambil untuk menghilangkan mudharat tersebut. Kaidah ini memberikan jalan keluar pada pihak yang menderita kerugian.
Sejumlah ayat Al – Qur’an memberikan dalil – dalil dasar atas kaidah ini:

            “…janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan…”.[4]
            “…janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya…”.[5]
            “…janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka…”.[6]

Penerapannya:
-          Khiyar al – ‘ayb (Hak untuk membatalkan kontrak karena barangnya cacat)
-          Khiyar al – gabn (Hak untuk membatalkan kontrak karena penipuan)
-          Penghentian kontrak karena beberapa keadaan

3.      Al – ‘Aadah Muhakkamah

Suatu praktik yang berlaku umum di tengah – tengah masyarakat (urf) diperhitungkan sebagai salah satu sumber hukum syariah. Adat kebiasaan memberikan suatu dasar (dalil) bagi keputusan pengadilan dimana seorang hakim mempunyai alternatif dalam menghakimi suatu perkara. Adat kebiasaan itu juga memberikan bantuan dan bimbingan interpretasi yang menolong seorang hakim untuk menginterpretasikan ketentuan – ketentuan hukum dari Al-Qur’an dan Sunnah. Tak dipungkiri, banyak hukum – hukum dari Al-Qur’an yang telah diinterpretasikan oleh ahli fiqh dengan bantuan ‘Urf dan adat kebiasaan.[7]

Al – ‘Aadah Muhakkamah (adat kebiasaan adalah hakim (dibenarkan hukumnya)), kaidah ini menyatakan bahwa prakik – praktik yang umum dan sering dilakukan di tengah – tengah masyarakat berlaku sebagai suatu dalil Syariah. Seorang hakim dapat menyandarkan keputusannya pada kebiasaan dan tradisi di samping dalil – dalil lain, dengan syarat kebiasaan itu tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah.[8]  

Suatu kebiasaan dapat diakui sebagai satu sumber hukum dan sebagai satu kewenangan dalam keputusan pengadilan ketika memenuhi syarat – syarat tertentu, yaitu:

1.      Kebiasaan itu harus merupakan kebiasaan yang paling banyak dan merupakan tradisi umum.
2.      Kebiasaan itu harus tidak bertentangan dengan ajaran/perintah Syariah.
3.      Kebiasaan itu harus tidak bertentangan dengan syarat suatu kesepakatan.

Kehalalan jual beli ‘arbun (jual beli dengan uang muka) merupakan contoh penerapan Al – ‘Aadah Muhakkamah pada kehidupan bermasyarakat. Jual beli ‘arbun adalah suatu transaksi dimana seseorang membeli suatu barang dan membayar sejumlah uang di muka kepada penjual, dengan syarat jika transaksi selesai, maka uang muka tadi akan diperhitungkan ke dalam total harga. Dan jika pembeli tidak membayar sisanya, maka penjual tidak akan mengembalikan uang muka tersebut.[9]

4.      Al – Masyaqqoh Tajlibu Taysir

Al – Masyaqqoh Tajlibu Taysir (suatu kesulitan dapat melahirkan kemudahan). Hukum – hukum Syariah didasarkan atas kenyamanan, keringanan dan menghilangkan kesulitan dari masyarakat. Aspek kenyamanan dan keringanan dalam Syariah ini telah ditekankan dalam Al-Qur’an dan Sunnah.

            “…Alah tidak hendak meyulitkan kamu. Tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu supaya kamu bersyukur…”(QS. 5:6)

            “…Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu…”(QS. 2:185)

Rasulullah SAW bersabda “Agama islam adalah mudah. Agama yang paling Allah adalah keyakinan yang toleran”

Kaidah ini menyatakan bahwa dalam kasus tertentu, demi menjaga kepentingan dasar dan kebutuhan masyarakat, hukum asal yang ketat, yang menyebabkan kesulitan yang sulit dibayangkan, dapat diringankan. Dalam keadaan mendesak keluesan diperbolehkan. Kaidah ini mencakup semua keadaan yang memerlukan suatu konsekuensi hukum dari hukum asalnya, agar pemenuhan kewajiban dapat terlaksana dan dalam kapasitas seorang manusia normal.[10]

Secara umum, kaidah ini membolehkan keringan dari aturan asal dalam kasus darurat dan kebutuhan. kaidah ini dijelaskan oleh kaidah – kaidah pelengkap lainnya sebagai berikut:

1.      Keadaan darurat membolehkan hal yang dilarang.
2.      Suatu urusan jika meluas, akan menyempit.
3.      Keadaan darurat itu ditentukan oleh kadarnya.
4.      Sesuatu yang dibolehkan karena ada alesannya, akan dilarang ketika alasan itu tidak ada.
5.      Darurat tidak meniadakan hak orang lain.

5.      Al – Yaqiinu La Yuzal Bisy Syak

Al – Yaqiinu La Yuzal Bisy Syak (Keyakinan tidak dapat dihapuskan dengan keraguan), makna dari kaidah ini adalah bahwa begitu sesuatu didasarkan atas keraguan, maka hal itu hanya bias dibatalkan melalui bukti tertentu yang seimbang. Atas dasar prinsip ini, harta waris tidak dapat dituntut dari orang yang hilang, karena dugaannya ia masih hidup sepanjang tidak ada bukti yang menyatakan bahwa ia sudah meninggal dunia.

Dengan indikasi yang sama, sekali akad jual beli dilakukan, ia dianggap akan terus berlanjut hingga transfer kepemilikan didasarkan dengan bukti tertentu. Alasannya, akad jual beli tidak mengenal batas waktu, tidak seperti akad sewa menyewa. Jadi, hal itu beralasan jika dianggap terus berlangsung.

Dengan dasar yang sama, kedudukan seorang yang terlilit hutang tidak akan dipengaruhi oleh keraguan akan kemungkinan pembebasan hutangnya, bahkan setelah kematiannya. Di sini, hutangnya adalah kepastian dan pembebasan hutang bary kemungkinan. Sehingga, kedudukan yang benar adalah, hutang itu akan dianggap terus ada sampai pembebasan hutang didasarkan oleh bukti tertentu.[11]


Daftar Pustaka:

-          - Buku Kaidah – Kaidah Fiqih Keuangan dan Transaksi Bisnis (Terjemahan dari Karya  Prof. Dr. Muhammad Tahir Mansoori)
-         -  Frank B Vogel and Samuel L. hayes, Islamic Law and Finance: Religion, Risk and Return, Kluwer Law International, The Hague, 1988


[1] Frank B Vogel and Samuel L. hayes, Islamic Law and Finance: Religion, Risk and Return, Kluwer Law International, The Hague, 1988, hal.35
[2] Hadits Arbain No. 1
[3] Lihat buku Kaidah Kaidah Fiqih Keuangan dan Transaksi Bisnis, hal. 22.
[4] Q.S. Al – Baqarah ayat 231
[5] Q.S. Al – Baqarah ayat 233
[6] Q.S. Ath – Thalaq ayat 6
[7] Lihat buku Kaidah Kaidah Fiqih Keuangan dan Transaksi Bisnis, hal. 99.
[8] Lihat buku Kaidah Kaidah Fiqih Keuangan dan Transaksi Bisnis, hal. 101.
[9] Lihat buku Kaidah Kaidah Fiqih Keuangan dan Transaksi Bisnis, hal. 103.
[10] Lihat buku Kaidah Kaidah Fiqih Keuangan dan Transaksi Bisnis, hal. 76.
[11] Lihat buku Kaidah Kaidah Fiqih Keuangan dan Transaksi Bisnis, hal. 119.

0/Post a Comment/Comments