Oleh: Muhammad Shiddiq Shalahuddin Al-bana
Bahaya dan keburukan berikut ini lahir
serta muncul dari perdebatan-perdebatan yang marak belakangan ini, dan
dampaknya secara umum sungguh sangat merugikan akhlak kaum Muslim. Ada 10
bahaya dan keburukan dalam berdebat di seputar persoalan khilafiyah yaitu:
Pertama
adalah, akan cenderung memunculkan sikap dengki di antara kaum Muslim yang
tengah berdebat. Sebagaimana Rasulullah Saw. Pernah bersabda,”Sikap dengki memakan amal kebaikan seorang
hamba seperti api yang melumat kayu bakar”. Seorang pendebat hampir tidak
bisa terbebas dari rasa dengki dan benci terhadap lawan bicaranya. Rasa dengki
itu ibarat api yang baranya masih (selalu) menyala. Orang yang terjera ke dalam
perangkap rasa dengki akan mendapatkan dampak buruknya di alam dunia ini. Ibnu
‘Abbas ra. Pernah berkata,”Tuntutlah ilmu di mana pun ia berada, dan jangan
pernah kalian bersikap taat kepada setan yang kegemarannya hanya bertengkar (berdebat).
Kedua
adalah, akan cenderung memunculkan sikap takabur di antara kaum Muslim yang
tengah berdebat. Sebagaimana Rasulullah Saw. Pernah bersabda,”Seorang Mukmin mustahil memiliki rasa
takabur dalam qalbunya”. Dalam sebuah hadist qudsi diriwayatkan, bahwa
Allah Swt. Pernah berfirman”,Keagungan
adalah jubah-Ku, dan kesombongan adalah busana-Ku. Aku akan membinasakan orang
yang bertengkar (berdebat) dengan mengenakan salah satu dari kedua pakaian-Ku
itu.” Seorang mukmin itu dilarang menjatuhkan diri dalam kehinaan, baik itu
melalui sikap takabur dalam pendebatan ataupun tindakan hina lainnya. Sebagai
mana Rasulullah Saw. Pernah bersabda,”Bahwa
sesungguhnya seorang mukmin itu diperkenankan (dilarang) menjatuhkan dirinya
sendiri dalam kehinaan(kerendahan)”.
Ketiga
adalah, akan cenderung memunculkan sikap dendam antara kaum Muslim yang tengah
berdebat. Seorang berdebat jarang bisa terbebas dari keburukan dan kejahatan
sikap dendam. Sebagaimana Rasulullah Saw. Pernah bersabda,”Seorang mukmin itu
adalah pribadi yang terbebas dari rasa memiliki rasa dendam terhadap sesama”.
Keempat
adalah, akan cenderung memunculkan sikap
mengumpat (ghibah) di antara kaum Muslim yang tengah berdebat. Dalam hal ini,
Allah Swt. Telah mengingatkan bahaya sikap ini dalam firman-Nya, bahwa sikap
mengumpat (ghibah) itu laksana aktivitas memakan bangkai dari saudara sendiri
yang telah meninggal dunia. Sebab, kecenderungan seorang pendebat akan
mencari-cari dan mengungkapkan kebodohan, kelemahan, kekurangan seta ketidaktahuan
lawan bicaranya.
Kelima
adalah, akan cenderung memunculkan sikap mencari-cari kelemahan lawan di antara
Muslim yang tengah berdebat. Sebagaimana Allah Swt. Berfirman,”Jangan kalian mengintip dan memata-matai
kelemahan orang lain”(QS Al-hujarat[49]; 12)
Keenam
adalah, akan cenderung memunculkan sikap mengklaim diri sendiri suci di antara
Muslim yang tengah berdebat. Sebagai mana dijelaskan oleh Allah Swt. Dalam
firman-Nya,”Janganlah kalian menyatakan
diri kalian suci. Sebab sesungguhnya hanya Allah yang paling mengetahui siapa
yang paling bertaqwa diantara kalian,”(QS An-Najm[53]; 32).
Ketujuh
adalah, akan cenderung memunculkan sikap nifaq (munafiq) di antara kaum Muslim
yang tengah berdebat. Seorang pendebat mengungkapkan sikap bersahabatnya dengan
lawan hanya secara lahiriah, akan tetapi jauh di dasar sanubari ia memendam
kebencian kepada lawan debatnya. Sebagaimana Nabi Saw. Pernah mengingatkan
dalam sabda beliau,”Ketika seorang ‘alim
tidak mererapkan ilmu yang didapatnya ke dalam amal dan prilaku sehari-hari,
sama artinya dengan ia mengungkapkan rasa cinta kepada kekasihnya (orang lain)
dengan lisan, akan tetapi memilihara kebencian di dalam qalbunya, atau sama
saja dengan ia telah memutuskan tali silaturrahim, hingga Allah ‘Azza wa jalla
mengutuknya, membuat lidahnya keluh, dan tertutup mata batinnya”.
Kedelapan
adalah, akan cenderung memunculkan sikap menolak kebenaran di antara kaum musli
yang tengah berdebat. Salah satu yang paling dibenci oleh Allah Swt. Pada diri
pendebat adalah, menolak kebenaran yang disampaikan, jika perlu dengan menipu
dan berkhianat. Sebagaimana Rasulullah Saw. Telah melarang pendebatan, bahkan
sekedar perbincangan yang mengarah ke sana (perdebatan), mengenai urusan yang
tidak bermanfaat (persoalan khalifiyah). Beliau bersabda,”Siapa saja yang meninggalkan perdebatan, sedangkan berada pada posisi
yang batil (keliru), maka Allah akan membangunkan baginya sebuah rumah di
perkampungan surge. Dan siapa saja yang meninggalkan perdebatan sedangkan
berada pada posisi yang haq (benar), maka Allah akan membangunkan baginya
sebuah rumah di surge yang tertinggi”.
Kesembilan
adalah, akan cederung memunculkan sikap riya’ di antara kaum muslim yang tengah
berdebat. Di antara sifat-sifat jelek perdebatan adalah riya’ (pamer) dan ‘ujub
(menyanjung diri sendiri) di hadapan orang lain dalam usaha menarik serta
menyesatkan mereka. Riya’ atau ‘ujub adalah penyakit terbesar yang menyebabkan
pendebat di cela, dan riya’ termasuk katagori dosa besar.
Kesepuluh
adalah, dosa besar namun tersembunyi, yang diakibatkan oleh perdebatan dan
pertengkaran dengan sesame. Di samping berbagai bentuk keburukan yang sudah
saya sebutkan tadi, perdebatan dan pertengkaran banyak melahirkan dosa kecil
lainnya, yang timbul akibat kotroversi-kontraversi yang kemudian saling mengait
antara satu dengan lainnya, hingga memunculkan sikap menyerang, saling pukul,
saling merusak, dan lain sebagainya.
Pahamilah, bahwa pada saat kta
mengklasifikasikan (mengelompokkan) akhlak yang terburuk dalam tuntunan ajaran
islam, maka akan kita dapati semua itu terkumpul dalam sikap-sikap tercela;
seperti dalam memperbincangkan urusan khilafiyah yang sama sekali tidak berguna
bagi kemaslahatan umat. Sebab, mencari keridhaan manusia sama artinya dengan
menduakan Allah Swt, dan itu termasuk katagori berbuat atau melakuakan dosa
yang tidak terampuni (dosa besar). Jadi, siapay saja yang menuntut ilmu bukan
untuk tujuan mengharapkan ridha Allah Swt. Dan kebahagian negeri akhirat, maka ilmu
yang didapat menjadi sia-sia bagi pemiliknya. Berkaitan dengan masalah ini,
Nabi Saw. Pernah bersabda,”Hamba yang
sangat menderita dengan ditimpa azab (siksa) pada hari kebangkitan nanti
adalah; siapa yang memiliki ilmu, yang ilmunya itu samasekali tidak
mendatangkan manfaat bagi pemiliknya”.
Oleh karena itu ketahuilah, bahwa ada
tiga kelompok ulama. Kelompok pertama adalah ulama yang menghancurkan diri
mereka sendiri dan juga merusak orang lain. Kelompok kedua adalah ulama yang
memberi manfaat bagi sendiri dan juga bagi orang lain. Ulama yang demikian ini
akan menyeru manusia kepada kebaikan. Sedangkan kelompok ketiga adalah ulama
yang membawa kehancuran bagi dirinya sendiri, akan tetapi justru memberi
manfaat bagi orang lain.
Sumber:
Ihya ‘ulumuddin 1: Ilmu dan keyakinan / al-imam al-Ghazali hal 103-108
Ihya ‘ulumuddin 1: Ilmu dan keyakinan / al-imam al-Ghazali hal 103-108