KONSEP KESEJAHTERAAN EKONOMI DALAM PANDAGAN ISLAM

KONSEP KESEJAHTERAAN EKONOMI DALAM PANDAGAN ISLAM

             ANDI MUHAMMAD IKRAM


ABSTRAK

Ketentraman akan dapat dicapai apabila kesejahteraan kehidupan di dalam masyarakat tercapai. Untuk mencapai kesejahteraan hidup di dalam masyarakat diperlukan aturan-aturan yang dapat mempertemukan kepentingan individu dengan kepentingan masyarakat. Kegiatan ekonomi Islam tidak semata-mata bersifat materi saja, namun mencakup beberapa aspek materi maupun spiritual yang juga bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup seseorang secara sederhana.  Rakus terhadap kekayaan dan sikap yang mementingkan materi belaka, sangat dicela.  Walaupun di dalam syari’at Islam diakui adanya hak-hak yang bersifat perorangan terhadap suatu benda, bukan berarti atas sesuatu benda yang dimilikinya itu, seseorang dapat berbuat sewenang-wenang.  Sebab aktivitas ekonomi dalam pandangan Islam, selain untuk memenuhi kebutuhan hidup sendiri, juga masih melekat hak orang lain. Konsep berekonomi dalam islam bukan hanya untuk mencari keuntugan dunia tapi, lebih dari itu mencari keberkahan serta keuntungan Akhirat. 😊

Keyword : Kesejahteraan, Ekonomi Islam


Pendahuluan


Islam adalah agama yang sempurna. Hal ini dikarenakan didalamnya dibahas nilai-nilai, etika, dan pedoman hidup secara komperhensif. Islam pula merupakan agama penyempurna agama-agama terdahulu dan mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, baik persoalan aqidah maupun muamalah. Dalam hal muamalah, Islam mengatur kaitannya dengan relasi manusia dengan sesama dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari termasuk didalamnya dituntun bagaimana cara mendapatkan keseimbangan maupun kesejahteraan kehidupan dunia maupun akhirat.


Kesejahteraan merupakan impian dan harapan bagi setiap manusia yang hidup di muka bumi ini, setiap orang tua pasti mengharapkan kesejahteraan bagi anak-anak dan keluarganya, baik itu berupa kesejahteraan materi maupun kesejahteraan spiritual, orang tua selalu berusaha untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarganya, mereka akan bekerja keras,  membanting tulang, mengerjakan apa saja demi memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, mereka akan memberikan perlindungan dan kenyamanan bagi keluarganya dari berbagai macam gangguan dan bahaya yang menghadangnya.


Dalam upaya memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia tidak akan mampu menyelesaikannya atau memperolehnya tanpa bantuan orang lain, sebagaimana yang ditegaskan oleh Ibnu Khaldun (1994: 45) dalam bukunya Muqaddimah bahwa “Manusia adalah makhluk sosial”, manusia akan membutuhkan orang lain dalam rangka memenuhi kebutuhannya, seorang pedagang membutuhkan mitra dagang untuk menjual barang barangnya dan juga membutuhkan pekerja untuk menyelesaikan atau memproduksi bahan baku menjadi barang yang bisa dikonsumsi. Allah sendiri telah menjamin kesejahteraan bagi hambanya dan makhluk yang bernyawa sebagaimana yang tersebut dalam Surat hud ayat 6 “Dan tidak ada suatu binatang melata-pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya” namun jaminan itu tidak diberikan dengan tanpa usaha, sebagaimana yang telah dijelaskan Allah dalam Surat Ar Ra’d ayat 11 “Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”. Selain itu manusia juga membutuhkan lembaga atau institusi yang memfasilitasi, melindungi dan mengatur norma-norma dan aturan-aturan yang memudahkan bagi mereka untuk memenuhi kebutuhannya, dalam istilah modern lembaga tersebut dikenal dengan “Pemerintah”, Para pencetus kemerdekaan bangsa Indonesia telah merumuskan kesejahteraan sebagai tujuan bangsa dalam batang tubuh UUD 1945 dan telah menjabarkannya dalam Bab perekonomian nasional dan kesejahteraan social dalam pasal 33 UUD 1945 dengan menegaskan bahwa Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara, sayangnya harapan dan cita-cita tersebut masih jauh dari kenyataan. 


A. Filosofi Ekonomi Islam 


Ketentuan Tuhan yang harus ditaati bukan hanya yang bersifat mekanis, juga dalam hal etika dan moral. Artinya, selain untuk memenuhi kepuasan manusia yang tak terbatas, kegiatan ekonomi bertujuan untuk menciptakan kesejahteraaan umat Islam.  keadilan dan keseimbangan mengandung pengertian bahwa manusia bebas melakukan seluruh aktifitas ekonomi, sepanjang tidak ada larangan Tuhan yang menetapkannya. Pertanggungjawaban maksudnya adalah bahwa manusia sebagai pemegang amanat Tuhan mempunyai tanggung jawab atas segala pilihan dan keputusannya. Sistem Ekonomi Islam berbeda dengan sistem Ekonomi lainnya, seperti diungkapkan oleh (Zadjuli dalam , Tadjoeddin 1992: 39 seperti dikutip Lubis, 2004: 15), yaitu :


1. Asumsi dasar/norma pokok dalam proses maupun Interaksi kegiatan Ekonomi yang diberlakukan. Dalam sistem Ekonomi Islam yang menjadi asumsi dasarnya adalah Syari’at Islam, yang diberlakukan secara menyeluruh baik terhadap Individu, keluarga, kelompok masyarakat, penguasa dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

2. Prinsip Ekonomi Islam adalah penerapan asas efisiensi dan manfaat dengan serta menjaga kelestarian lingkungan.

3. Motif ekonomi Islam adalah mencari keberuntungan dunia dan akhirat


A. Definisi Kesejahteraan


Menurut kamus bahasa Indonesia, kesejahteraan berasal dari kata sejahtera yang berarti aman, sentosa, makmur dan selamat, (Poerwadarminta, 1999: 887) atau dapat diartikan sebagai kata atau ungkapan yang menunjuk kepada keadaan yang baik, atau suatu kondisi dimana orang-orang yang terlibat di dalamnya berada dalam keadaan sehat, damai dan makmur.


Dalam arti yang lebih luas kesejahteraan adalah terbebasnya seseorang dari jeratan kemiskinan, kebodohan dan rasa takut sehingga dia memperoleh kehidupan yang aman dan tenteram secara lahiriah maupun batiniah. Dalam UU No. 11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial dijelaskan bahwa kesejahteraan social adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya


a. Dalam UU No. 11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial dijelaskan bahwa kesejahteraan social adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya. Sedangkan penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial adalah upaya yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan yang dilakukan Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam bentuk pelayanan sosial guna memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara, yang meliputi rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan social (UU No. 11 Tahun 2009).


Di antara tujuan diselenggarakannya kesejahteraan social adalah Pertama, meningkatkan taraf kesejahteraan, kualitas, dan kelangsungan hidup. Kedua, memulihkan fungsi sosial dalam rangka mencapai kemandirian. Ketiga, meningkatkan ketahanan sosial masyarakat dalam mencegah dan menangani masalah kesejahteraan social. Keempat, meningkatkan kemampuan, kepedulian dan tanggungjawab sosial dunia usaha dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial secara melembaga dan berkelanjutan. Kelima, meningkatkan kemampuan dan kepedulian masyarakat dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial secara melembaga dan berkelanjutan. Keenam, meningkatkan kualitas manajemen penyelenggaraan kesejahteraan sosial.


b. Pemikiran konvensional tentang kesejahteraan lebih banyak bertujuan pada terpenuhinya kebutuhan seseorang dalam hal materi, kesejahteraan spiritual agaknya mendapatkan porsi perhatian yang lebih sedikit dariparda kesejahteraan yang bersifat spiritual, hal ini bisa dilihat dari penjelasan Badan Pusat Statistik (2000) yang menyatakan bahwa ada beberapa indicator yang bisa digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan rumah tangga di antaranya adalah tingkat pendapatan keluarga, komposisi pengeluaran rumah tangga dengan membandingkan pengeluaran untuk pangan dengan non-pangan, tingkat pendidikan keluarga, tingkat kesehatan keluarga, dan kondisi perumahan serta fasilitas yang dimiliki dalam rumah tangga.


Senada dengan BPS, Jones dan Klenow (2011: 47) menyatakan bahwa indeks kesejahteraan dan PDB perkapita mempunyai korelasi yang sangat tinggi, hal ini disebabkan karena konsumsi rata-rata di beberapa negara mempunyai perbedaan dan mempunyai korelasi yang kuat dengan pendapatan, secara grafis hal ini bisa digambarkan sebagai berikut : 


Atau dapat dinotasikan secara sederhana dengan  W = Æ’ (I) 

Dimana :  W = Kesejahteraan 

   I   = PDB perkapita


Dalam penelitian yang dilakukan Jones dan Klenow, tingkat kesejahteraan diukur dengan data konsumsi, waktu luang, perbedaan standar hidup, dan tingkat kematian. Data diambil dari beberapa Negara Eropa Barat dan Amerika Serikat, di mana kedua wilayah tersebut cenderung memiliki kesamaan dalam standar hidup, konsumsi rata-rata, dan tingkat harapan hidup, dan ini sangat berbeda dengan kondisi di negara-negara berkembang, seperti yang terjadi di Negara-Negara Sub Sahara Afrika.


Sugiharto (2007: 33) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa menurut Badan Pusat Statistik, indikator yang digunakan untuk mengetahui tingkat kesejahteraan ada delapan yaitu pendapatan, konsumsi atau pengeluaran keluarga, keadaan tempat tinggal, fasilitas tempa tinggal, kesehatan anggota keluarga, kemudahan mendapatkan pelayanan kesehatan, kemudahan memasukkan anak ke jenjang pendidikan, dan kemudahan mendapatkan fasilitas transportasi.


B. Kesejahteraan dalam perspektif al-Qur’an dan Hadits


Islam datang sebagai agama terakhir yang bertujuan untuk mengantarkan pemeluknya menuju kepada kebahagiaan hidup yang hakiki, oleh karena itu Islam sangat memperhatikan kebahagiaan manusia baik itu kebahagiaan dunia maupun akhirat, dengan kata lain Islam (dengan segala aturannya) sangat mengharapkan umat manusia untuk memperoleh kesejahteraan materi dan spiritual.


Chapra menggambarkan secara jelas bagaimana eratnya hubungan antara Syariat Islam dengan kemaslahatan. Ekonomi Islam yang merupakan salah satu bagian dari Syariat Islam, tentu mempunyai tujuan yang tidak lepas dari tujuan utama Syariat Islam. Tujuan utama ekonomi Islam adalah merealisasikan tujuan manusia untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat (falah), serta kehidupan yang baik dan terhormat (al-hayah al-thayyibah). Ini merupakan definisi kesejahteraan dalam pandangan Islam, yang tentu saja berbeda secara mendasar dengan pengertian kesejahteraan dalam ekonomi konvensional yang sekuler dan materialistic (Chapra, 2001: 102).


Pertumbuhan ekonomi merupakan sarana untuk mencapai keadilan distributive, karena mampu menciptakan lapangan pekerjaan yang baru, dengan terciptanya lapangan kerja baru maka pendapatan riil masyarakat akan meningkat, dan ini merupakan salah satu indicator kesejahteraan dalam ekonomi Islam, tingkat pengangguran yang tinggi merupakan masalah yang memerlukan perhatian serius seperti halnya dalam ekonomi kapitalis, hanya saja dalam pemikiran liberal, tingkat pengangguran yang tinggi bukan merupakan indicator kegagalan sistem ekonomi kapitalis yang didasarkan pada pasar bebas, hal itu dianggap sebagai proses transisional, sehingga problem itu dipandang akan hilang begitu pertumbuhan ekonomi mengalami peningkatan (Naqvi, 2003: 136).


a. Menurut Imam Al-ghazali kegiatan ekonomi sudah menjadi bagian dari kewajiban social masyarakat yang telah ditetapkan oleh Allah Swt, jika hal itu tidak dipenuhi, maka kehidupan dunia akan rusak dan kehidupan umat manusia akan binasa. Selain itu, Al-ghazali juga merumuskan tiga alasan mengapa seseorang harus melakukan aktivitas ekonomi, yaitu: Pertama, Untuk memenuhi kebutuhan hidup masing-masing. Kedua, Untuk menciptakan kesejahteraan bagi dirinya dan keluarganya dan Ketiga, Untuk membantu orang lain yang sedang membutuhkan (Al-ghazali, 1991: 482).


Tiga criteria di atas menunjukkan bahwa kesejahteraan seseorang akan terpenuhi jika kebutuhan mereka tercukupi, kesejahteraan sendiri mempunyai beberapa aspek yang menjadi indikatornya, di mana salah satunya adalah terpenuhinya kebutuhan seseorang yang bersifat materi, kesejahteraan yang oleh Al-ghazali dikenal dengan istilah (al-mashlahah) yang diharapkan oleh manusia tidak bisa dipisahkan dengan unsur harta, karena harta merupakan salah satu unsur utama dalam memenuhi kebutuhan pokok, yaitu sandang, pangan dan papan (Karim, 2008: 318).


Al-ghazali juga menegaskan bahwa harta hanyalah wasilah yang berfungsi sebagai perantara dalam memenuhi kebutuhan, dengan demikian harta bukanlah tujuan final atau sasaran utama manusia di muka bumi ini, melainkan hanya sebagai sarana bagi seorang muslim dalam menjalankan perannya sebagai khalifah di muka bumi di mana seseorang wajib memanfaatkan hartanya dalam rangka mengembangkan segenap potensi manusia dan meningkatkan sisi kemanusiaan manusia di segala bidang, baik pembangunan moral maupun material, untuk kemanfaatan seluruh manusia.


b. Dalam kosep ekonomi Islam, uang adalah barang public, sedangkan modal adalah barang pribadi, uang adalah milik masyarakat, sehingga orang yang menimbun uang (dibiarkan tidak produktif) maka orang tersebut telah mengurangi jumlah uang beredar, dan hal ini dapat menyebabkan perekonomian menjadi lesu, jika uang diibaratkan darah, maka perekonomian yang kekurangan uang sama halnya dengan tubuh yang kekurangan darah, karena itulah menimbun uang sangat dilarang dalam Islam (Karim, 2001: 21).   Karena modal merupakan barang pribadi, maka modal merupakan barang yang harus diproduktifkan jika tidak ingin berkurang nilainya akibat tergerus oleh inflasi, dengan begitu modal merupakan salah satu objek zakat, bagi yang tidak ingin memproduktifkan modalnya, Islam memberikan alternative dengan melakukan mudharabah atau musyarakah (bisnis dengan bagi hasil), sedangkan bagi yang tidak mau menanggung risiko, maka Islam juga memberikan alternative lain dengan melakukan qard (meminjamkan modalnya tanpa imbalan apapun).


c. Al-Qur’an telah menyinggung indikator kesejahteraan dalam Surat Quraisy ayat 3-4, “Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan (pemilik) rumah ini (Ka’bah). yang telah memberikan makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari rasa takut” berdasarkan ayat di atas, maka kita dapat melihat bahwa indicator kesejahteraan dalam Al-Qur’an tiga, yaitu menyembah Tuhan (pemilik) Ka’bah, menghilangkan lapar dan menghilangkan rasa takut.


Indicator pertama untuk kesejahteraan adalah ketergantungan penuh manusia kepada Tuhan pemilik Ka’bah, indicator ini merupakan representasi dari pembangunan mental, hal ini menunjukkan bahwa jika seluruh indicator kesejahteraan yang berpijak pada aspek materi telah terpenuhi, hal itu tidak menjamin bahwa pemiliknya akan mengalami kebahagiaan, kita sering mendengar jika ada orang yang memiliki rumah mewah, kendaraan banyak, harta yang melimpah namun hatinya selalu gelisah dan tidak pernah tenang bahkan tidak sedikit yang mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri, padahal seluruh kebutuhan materinya telah terpenuhi. Karena itulah ketergantungan manusia kepada Tuhannya yang diaplikasikan dalam penghambaan (ibadah) kepada-Nya secara ikhlas merupakan indicator utama kesejahteraan (kebahagiaan yang hakiki) seseorang sebagaimana yang dialami oleh penduduk Bhutan, Negara yang memiliki indeks kebahagiaan tertinggi dan merupakan negara paling aman di dunia.


Indicator kedua adalah hilangnya rasa lapar (terpenuhinya kebutuhan konsumsi), ayat di atas menyebutkan bahwa Dialah Allah yang memberi mereka makan untuk menghilangkan rasa lapar, statemen tersebut menunjukkan bahwa dalam ekonomi Islam terpenuhinya kebutuhan konsumsi manusia yang merupakan salah satu indicator kesejahteraan hendaknya bersifat secukupnya (hanya untuk menghilangkan rasa lapar) dan tidak boleh berlebih-lebihan apalagi sampai melakukan penimbunan demi mengeruk kekayaan yang maksimal, terlebih lagi jika harus menggunakan cara-cara yang dilarang oleh agama, tentu hal ini tidak sesuai anjuran Allah dalam surat Quraisy di atas, jika hal itu bisa dipenuhi, maka kita tidak akan menyaksikan adanya korupsi, penipuan, pemerasan, dan bentuk-bentuk kejahatan lainnya (Athiyyah, 1992: 370).


Sedangkan indikator yang ketiga adalah hilangnya rasa takut, yang merupakan representasi dari terciptanya rasa aman, nyaman, dan damai. Jika berbagai macam kriminalitas seperti perampokan, pemerkosaan, pembunuhan, pencurian, dan kejahatan-kejahatan lain banyak terjadi di tengah masyarakat, hal itu menunjukkan bahwa masyarakat tidak mendapatkan ketenangan, kenyamanan dan kedamaian dalam kehidupan, atau dengan kata lain masyarakat belum mendapatkan kesejahteraan.


Ayat lain yang menjadi rujukan bagi kesejahteraan terdapat dalam Al-Qur’an surat An-nisaa’ ayat 9 yang artinya adalah “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”.


 Berpijak pada ayat di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa kekhawatiran terhadap generasi yang lemah adalah representasi dari kemiskinan, yang merupakan lawan dari kesejahteraan, ayat tersebut menganjurkan kepada manusia untuk menghindari kemiskinan dengan bekerja keras sebagai wujud ikhtiar dan bertawakal kepada Allah, sebagaimana hadits Rasulullah Saw. yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi “Sesungguhnya Allah menyukai seseorang yang melakukan amal perbuatan atau pekerjaan dengan tekun dan sungguh-sungguh (profesional)” (Qardhawi, 1995: 256).


Pada ayat di atas, Allah juga menganjurkan kepada manusia untuk memperhatikan generasi penerusnya (anak keturunannya) agar tidak terjatuh dalam kondisi kemiskinan, hal itu bisa dilakukan dengan mempersiapkan atau mendidik generasi penerusnya (anak keturunannya) dengan pendidikan yang berkualitas dan berorientasi pada kesejahteraan moral dan material, sehingga kelak menjadi SDM yang terampil dan berakhlakul karimah, mengingat anak adalah asset yang termahal bagi orang tua (Ar- Razi, 1981: 206).


Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kesejahteraan dapat diperoleh dengan membentuk mental menjadi mental yang hanya bergantung kepada Sang Khalik (bertaqwa kepada Allah Swt.), dan juga berbicara dengan jujur dan benar, serta Allah Swt. Juga menganjurkan untuk menyiapkan generasi penerus yang kuat, baik kuat dalam hal ketaqwaannya kepada Allah Swt. Maupun kuat dalam hal ekonomi, Zuhaili (1985: 8) menjelaskan bahwa ketika Saad bin Abi Waqash r.a. ingin mewasiatkan dua pertiga dari hartanya padahal ketika itu tidak ada yang mewarisi hartanya kecuali hanya seorang putrinya, kemudian Rasulullah Saw. Pun bersabda “Sepertiga saja, sepertiga itu sudah banyak, sesungguhnya jika kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan berkecukupan adalah lebih baik dari pada membiarkan mereka dalam keadaan kekurangan dan meminta-minta kepada orang lain” (HR. Jamaah).


Al-Qur’an juga menyinggung tentang kesejahteraan yang terdapat pada surat An Nahl ayat 97 “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang Telah mereka kerjakan”. yang dimaksud dengan kehidupan yang baik pada ayat di atas adalah memperoleh rizki yang halal dan baik, ada juga pendapat yang mengatakan kehidupan yang baik adalah beribadah kepada Allah disertai memakan dengan rizki yang halal dan memiliki sifat qanaah, ada pendapat lain yang mengatakan kehidupan yang baik adalah hari demi hari selalu mendapat rizki dari Allah Swt. Menurut Al-Jurjani, rizki adalah segala yang diberikan oleh Allah Swt. Kepada hewan untuk diambil manfaatnya baik itu rizki halal maupun haram (Al-Jurjani, 1983: 70).


Ayat ke-20 dari Surat Al-hadid juga dijadikan sebagai rujukan bagi kesejahteraan masyarakat, yang artinya “Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya kehidupan dunia Ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; Kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning Kemudian menjadi hancur. dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. dan kehidupan dunia Ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu”.


Berkaitan dengan ayat tersebut, Al-Mawardi menjelaskan bahwa orang-orang jahiliyah dikenal sebagai masyarakat yang sering berlomba-lomba dalam hal kemewahan harta duniawi dan bersaing dalam hal jumlah anak yang dimilikinya, karena itu bagi orang yang beriman dianjurkan untuk berlomba-lomba dalam hal ketaatan dan keimanan kepada Allah Swt. Karena kita juga mengetahui bahwa berlomba-lomba dalam hal kemewahan duniawi dapat menjerumuskan manusia ke dalam kesombongan kebinasaan, seperti yang terdapat dalam Surat At-Takatsur ayat 1-2 yang artinya “Bermegah-megahan Telah melalaikan kamu. Sampai kamu masuk ke dalam kubur” (Al-Mawardi, 1982: 192).


Ayat di atas menjelaskan kepada kita bahwa aspek-aspek yang sering dijadikan indikator kesejahteraan seperti tingkat pendapatan (besarnya kekayaan), kepadatan penduduk (jumlah anak), perumahan, dan lain-lain bisa menipu seseorang jika tidak diiringi dengan pembangunan mental atau moral yang berorientasi pada nilai-nilai ketuhanan. yang pada gilirannya manusia dikhawatirkan akan terjebak pada persaingan kemewahan duniawi yang serba hedonis dan materialistik, dengan demikian penanaman tauhid (pembentukan moral dan mental) merupakan indikator utama bagi kesejahteraan.


                Khan (1997: 20) menjelaskan bahwa ayat di atas juga didukung oleh sebuah hadits Rasulullah Saw. yang diriwayatkan oleh Abu hurairah r.a. bahwa Rasulullah Saw. Bersabda “Kaya bukanlah karena kebanyakan harta, tetapi kaya adalah kaya jiwa” (HR. Muslim, Tirmidzi, dan Ibnu Majah), hadits tersebut juga menjelaskan bahwa pembangunan moral dan mental lebih utama dari pada pemenuhan tingkat pendapatan, secara logika pembangunan moral dan mental akan menghasilkan SDM yang berkualitas, dengan SDM yang berkualitas akan menghasilkan peningkatan total output, dengan begitu maka pendapatan masyarakat juga akan meningkat, atau dapat dinotasikan secara sederhana dengan     ↑SDM  → ↑Q → ↑D → ↑Y    


Kesimpulan


Simpulan Aspek-aspek yang sering dijadikan sebagai indicator untuk mengukur kesejahteraan masyarakat adalah pendapatan, kependudukan, kesehatan, pendidikan, ketenagakerjaan, konsumsi, perumahan, dan social budaya. Tetapi mengapa sebagian orang yang sudah memiliki rumah mewah, kendaraan, deposito dan berbagai bentuk kekayaan lainnya justru merasa gelisah, tidak tenang, ketakutan, bahkan ada yang mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Berdasarkan fakta di atas, rasanya ada yang kurang dalam mengukur kesejahteraan masyarakat.


Berbeda halnya dengan pandagan islam, Kesejahteraan dalam ekonomi islam adalah kesejahteraan menyeluruh, yaitu kesejahteraan secara material maupun spiritual. Konsep kesejahteraan dalam islam tidak hanya diukur berdasarkan nilai ekonomi saja, tetapi mencakup nilai moral, spiritual, dan juga nilai sosial.


Dalam ekonomi Islam, kebahagiaan hidup justru diberikan oleh Allah Swt. kepada siapa saja (laki-laki dan perempuan) yang mau melakukan amal kebaikan disertai dengan keimanan kepada Allah Swt. Sebagaimana yang disebutkan oleh Allah Swt. Dalam Surat An-nahl ayat 97, sedangkan tiga indicator untuk mengukur kesejahteraan dan kebahagiaan adalah pembentukan mental (tauhid), konsumsi, dan hilangnya rasa takut dan segala bentuk kegelisahan, sebagaimana yang disebutkan Allah Swt. Dalam Surat Quraisy ayat 3-4.

 

 

 

 

 

 

 

Daftar Pustaka

Al-ghazali, Abu hamid. 1991. Al Mustashfa min Ilmi Al Ushul, Vol. 2, Madinah: Universitas Islam madinah.

Al-Jurjani, Syarif Ali bin Muhammad. 1983. Kitab At-Ta’rifat, Vol. 3, Beirut: Dar al Kutub al-Ilmiyah.

Al-Mawardi, Ali bin habib. 1982. An-Nukat Wa al-Uyun Tafsir alMawardi, Vol. 4, Kuwait: Wizarat al-Auqaf Wa as-Syu‘un al-Islamiyah.

Ar-Razi, Muhammad Fakhruddin. 1981. Tafsir Al-Fakhr ar-Razi asy-Syahir bi Tafisr al Kabir Wa Mafatih al Ghaib, Vol. 9. Beirut: Dar el Fikr.

Athiyyah, Muhyi al Din. 1992. Al Kasysyaf al Iqtishadi Li Ayat al Qur’an al Karim, Riyadh: Al Dar al Ilmiyah Lil Kitab al Islami.

Chapra, Umer. 2001. Masa Depan Ilmu ekonomi (Sebuah Tinjauan Islam), Jakarta: gema Insani Press.

Ibnu Khaldun, Abdurrahman. 1994. Muqaddimah Ibnu Khaldun, Beirut: Muassasah Al Kutub Ats    Tsaqafiyah.

Jones, Charles I. dan Peter J. Klenow. 2011. Beyond GDP? Welfare across countries and Time, LAEF growth and development conference, Chicago.

Karim, Adiwarman Azwar. 2008. Sejarah Pemikiran ekonomi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Karim, Adiwarman Azwar. 2001. ekonomi Islam (Suatu kajian Kontemporer), Jakarta: gema Insani Press.

Khan, Muhammad Akram. 1997. Ajaran Nabi Muhammad Saw. Tentang ekonomi (Kumpulan Hadits-Hadits Pilihan Tentang ekonomi), Jakarta: PT Bank Muamalat Indonesia.

Naqvi, Syed Nawab haider. 2003. Menggagas Ilmu ekonomi Islam, yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Qardhawi, yusuf. 1995. Al Iman Wa al Hayah, Beirut, Muassasah Risalah.

Sugiharto Eko. 2007. “Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Nelayan Desa Benua Baru Ilir Berdasarkan Indikator Badan Pusat Statistik”, ePP.Vol.4.No.2.2007:32-36.

Tadjoeddin, Achmad Ramzy, et al. Berbagai aspek ekonomi Islam. (Yogyakarta : Tiara wacana dan P3 EI UII, 1992)

UU No. 11 Tentang Kesejahteraan Sosial.

W. J. S. Poerwadarminta. 1999. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.

Zuhaili, Wahbah. 1985. Al Fiqh al Islami Wa Adillatuhu, Vol. 8, Damaskus: Dar al Fikr.

 


0/Post a Comment/Comments