KONSEP KESEJAHTERAAN EKONOMI DALAM PANDAGAN ISLAM
ANDI MUHAMMAD IKRAM
ABSTRAK
Ketentraman
akan dapat dicapai apabila kesejahteraan kehidupan di dalam masyarakat
tercapai. Untuk mencapai kesejahteraan hidup di dalam masyarakat diperlukan
aturan-aturan yang dapat mempertemukan kepentingan individu dengan kepentingan
masyarakat. Kegiatan ekonomi Islam tidak semata-mata bersifat materi saja,
namun mencakup beberapa aspek materi maupun spiritual yang juga bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan hidup seseorang secara sederhana. Rakus terhadap kekayaan dan sikap yang
mementingkan materi belaka, sangat dicela.
Walaupun di dalam syari’at Islam diakui adanya hak-hak yang bersifat
perorangan terhadap suatu benda, bukan berarti atas sesuatu benda yang
dimilikinya itu, seseorang dapat berbuat sewenang-wenang. Sebab aktivitas ekonomi dalam pandangan
Islam, selain untuk memenuhi kebutuhan hidup sendiri, juga masih melekat hak
orang lain. Konsep berekonomi dalam islam bukan hanya untuk mencari keuntugan
dunia tapi, lebih dari itu mencari keberkahan serta keuntungan Akhirat. 😊
Keyword
: Kesejahteraan, Ekonomi Islam
Pendahuluan
Islam adalah agama yang
sempurna. Hal ini dikarenakan didalamnya dibahas nilai-nilai, etika, dan
pedoman hidup secara komperhensif. Islam pula merupakan agama penyempurna
agama-agama terdahulu dan mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, baik
persoalan aqidah maupun muamalah. Dalam hal muamalah, Islam mengatur kaitannya
dengan relasi manusia dengan sesama dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya
sehari-hari termasuk didalamnya dituntun bagaimana cara mendapatkan keseimbangan
maupun kesejahteraan kehidupan dunia maupun akhirat.
Kesejahteraan merupakan
impian dan harapan bagi setiap manusia yang hidup di muka bumi ini, setiap
orang tua pasti mengharapkan kesejahteraan bagi anak-anak dan keluarganya, baik
itu berupa kesejahteraan materi maupun kesejahteraan spiritual, orang tua
selalu berusaha untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarganya, mereka akan
bekerja keras, membanting tulang,
mengerjakan apa saja demi memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, mereka akan
memberikan perlindungan dan kenyamanan bagi keluarganya dari berbagai macam
gangguan dan bahaya yang menghadangnya.
Dalam upaya memenuhi
kebutuhan hidupnya, manusia tidak akan mampu menyelesaikannya atau
memperolehnya tanpa bantuan orang lain, sebagaimana yang ditegaskan oleh Ibnu
Khaldun (1994: 45) dalam bukunya Muqaddimah bahwa “Manusia adalah makhluk
sosial”, manusia akan membutuhkan orang lain dalam rangka memenuhi
kebutuhannya, seorang pedagang membutuhkan mitra dagang untuk menjual barang
barangnya dan juga membutuhkan pekerja untuk menyelesaikan atau memproduksi
bahan baku menjadi barang yang bisa dikonsumsi. Allah sendiri telah menjamin
kesejahteraan bagi hambanya dan makhluk yang bernyawa sebagaimana yang tersebut
dalam Surat hud ayat 6 “Dan tidak ada suatu binatang melata-pun di bumi
melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya” namun jaminan itu tidak diberikan
dengan tanpa usaha, sebagaimana yang telah dijelaskan Allah dalam Surat Ar Ra’d
ayat 11 “Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka
merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”. Selain itu manusia juga
membutuhkan lembaga atau institusi yang memfasilitasi, melindungi dan mengatur norma-norma
dan aturan-aturan yang memudahkan bagi mereka untuk memenuhi kebutuhannya,
dalam istilah modern lembaga tersebut dikenal dengan “Pemerintah”, Para
pencetus kemerdekaan bangsa Indonesia telah merumuskan kesejahteraan sebagai
tujuan bangsa dalam batang tubuh UUD 1945 dan telah menjabarkannya dalam Bab
perekonomian nasional dan kesejahteraan social dalam pasal 33 UUD 1945 dengan
menegaskan bahwa Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara,
sayangnya harapan dan cita-cita tersebut masih jauh dari kenyataan.
A. Filosofi Ekonomi Islam
Ketentuan Tuhan yang harus
ditaati bukan hanya yang bersifat mekanis, juga dalam hal etika dan moral.
Artinya, selain untuk memenuhi kepuasan manusia yang tak terbatas, kegiatan
ekonomi bertujuan untuk menciptakan kesejahteraaan umat Islam. keadilan dan keseimbangan mengandung
pengertian bahwa manusia bebas melakukan seluruh aktifitas ekonomi, sepanjang
tidak ada larangan Tuhan yang menetapkannya. Pertanggungjawaban maksudnya
adalah bahwa manusia sebagai pemegang amanat Tuhan mempunyai tanggung jawab
atas segala pilihan dan keputusannya. Sistem Ekonomi Islam berbeda dengan
sistem Ekonomi lainnya, seperti diungkapkan oleh (Zadjuli dalam , Tadjoeddin
1992: 39 seperti dikutip Lubis, 2004: 15), yaitu :
1. Asumsi dasar/norma
pokok dalam proses maupun Interaksi kegiatan Ekonomi yang diberlakukan. Dalam
sistem Ekonomi Islam yang menjadi asumsi dasarnya adalah Syari’at Islam, yang
diberlakukan secara menyeluruh baik terhadap Individu, keluarga, kelompok
masyarakat, penguasa dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
2. Prinsip Ekonomi Islam
adalah penerapan asas efisiensi dan manfaat dengan serta menjaga kelestarian
lingkungan.
3. Motif ekonomi Islam
adalah mencari keberuntungan dunia dan akhirat
A.
Definisi Kesejahteraan
Menurut kamus bahasa
Indonesia, kesejahteraan berasal dari kata sejahtera yang berarti aman,
sentosa, makmur dan selamat, (Poerwadarminta, 1999: 887) atau dapat diartikan
sebagai kata atau ungkapan yang menunjuk kepada keadaan yang baik, atau suatu
kondisi dimana orang-orang yang terlibat di dalamnya berada dalam keadaan
sehat, damai dan makmur.
Dalam arti yang lebih luas
kesejahteraan adalah terbebasnya seseorang dari jeratan kemiskinan, kebodohan
dan rasa takut sehingga dia memperoleh kehidupan yang aman dan tenteram secara
lahiriah maupun batiniah. Dalam UU No. 11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan
Sosial dijelaskan bahwa kesejahteraan social adalah kondisi terpenuhinya
kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak
dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya
a. Dalam UU No. 11 tahun
2009 tentang Kesejahteraan Sosial dijelaskan bahwa kesejahteraan social adalah
kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara
agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat
melaksanakan fungsi sosialnya. Sedangkan penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial
adalah upaya yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan yang dilakukan
Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam bentuk pelayanan sosial
guna memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara, yang meliputi rehabilitasi
sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan social (UU No. 11
Tahun 2009).
Di antara tujuan
diselenggarakannya kesejahteraan social adalah Pertama, meningkatkan taraf
kesejahteraan, kualitas, dan kelangsungan hidup. Kedua, memulihkan fungsi
sosial dalam rangka mencapai kemandirian. Ketiga, meningkatkan ketahanan sosial
masyarakat dalam mencegah dan menangani masalah kesejahteraan social. Keempat,
meningkatkan kemampuan, kepedulian dan tanggungjawab sosial dunia usaha dalam
penyelenggaraan kesejahteraan sosial secara melembaga dan berkelanjutan. Kelima,
meningkatkan kemampuan dan kepedulian masyarakat dalam penyelenggaraan
kesejahteraan sosial secara melembaga dan berkelanjutan. Keenam, meningkatkan
kualitas manajemen penyelenggaraan kesejahteraan sosial.
b. Pemikiran konvensional
tentang kesejahteraan lebih banyak bertujuan pada terpenuhinya kebutuhan
seseorang dalam hal materi, kesejahteraan spiritual agaknya mendapatkan porsi
perhatian yang lebih sedikit dariparda kesejahteraan yang bersifat spiritual,
hal ini bisa dilihat dari penjelasan Badan Pusat Statistik (2000) yang
menyatakan bahwa ada beberapa indicator yang bisa digunakan untuk mengukur
tingkat kesejahteraan rumah tangga di antaranya adalah tingkat pendapatan
keluarga, komposisi pengeluaran rumah tangga dengan membandingkan pengeluaran
untuk pangan dengan non-pangan, tingkat pendidikan keluarga, tingkat kesehatan
keluarga, dan kondisi perumahan serta fasilitas yang dimiliki dalam rumah
tangga.
Senada dengan BPS, Jones
dan Klenow (2011: 47) menyatakan bahwa indeks kesejahteraan dan PDB perkapita mempunyai
korelasi yang sangat tinggi, hal ini disebabkan karena konsumsi rata-rata di
beberapa negara mempunyai perbedaan dan mempunyai korelasi yang kuat dengan
pendapatan, secara grafis hal ini bisa digambarkan sebagai berikut :
Atau dapat dinotasikan
secara sederhana dengan W = Æ’ (I)
Dimana : W = Kesejahteraan
I = PDB perkapita
Dalam penelitian yang
dilakukan Jones dan Klenow, tingkat kesejahteraan diukur dengan data konsumsi,
waktu luang, perbedaan standar hidup, dan tingkat kematian. Data diambil dari
beberapa Negara Eropa Barat dan Amerika Serikat, di mana kedua wilayah tersebut
cenderung memiliki kesamaan dalam standar hidup, konsumsi rata-rata, dan
tingkat harapan hidup, dan ini sangat berbeda dengan kondisi di negara-negara berkembang,
seperti yang terjadi di Negara-Negara Sub Sahara Afrika.
Sugiharto (2007: 33) dalam
penelitiannya menjelaskan bahwa menurut Badan Pusat Statistik, indikator yang
digunakan untuk mengetahui tingkat kesejahteraan ada delapan yaitu pendapatan,
konsumsi atau pengeluaran keluarga, keadaan tempat tinggal, fasilitas tempa
tinggal, kesehatan anggota keluarga, kemudahan mendapatkan pelayanan kesehatan,
kemudahan memasukkan anak ke jenjang pendidikan, dan kemudahan mendapatkan
fasilitas transportasi.
B. Kesejahteraan dalam perspektif
al-Qur’an dan Hadits
Islam
datang sebagai agama terakhir yang bertujuan untuk mengantarkan pemeluknya
menuju kepada kebahagiaan hidup yang hakiki, oleh karena itu Islam sangat
memperhatikan kebahagiaan manusia baik itu kebahagiaan dunia maupun akhirat,
dengan kata lain Islam (dengan segala aturannya) sangat mengharapkan umat
manusia untuk memperoleh kesejahteraan materi dan spiritual.
Chapra
menggambarkan secara jelas bagaimana eratnya hubungan antara Syariat Islam
dengan kemaslahatan. Ekonomi Islam yang merupakan salah satu bagian dari
Syariat Islam, tentu mempunyai tujuan yang tidak lepas dari tujuan utama
Syariat Islam. Tujuan utama ekonomi Islam adalah merealisasikan tujuan manusia
untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat (falah), serta kehidupan yang baik
dan terhormat (al-hayah al-thayyibah). Ini merupakan definisi kesejahteraan
dalam pandangan Islam, yang tentu saja berbeda secara mendasar dengan
pengertian kesejahteraan dalam ekonomi konvensional yang sekuler dan materialistic
(Chapra, 2001: 102).
Pertumbuhan
ekonomi merupakan sarana untuk mencapai keadilan distributive, karena mampu
menciptakan lapangan pekerjaan yang baru, dengan terciptanya lapangan kerja
baru maka pendapatan riil masyarakat akan meningkat, dan ini merupakan salah
satu indicator kesejahteraan dalam ekonomi Islam, tingkat pengangguran yang
tinggi merupakan masalah yang memerlukan perhatian serius seperti halnya dalam
ekonomi kapitalis, hanya saja dalam pemikiran liberal, tingkat pengangguran
yang tinggi bukan merupakan indicator kegagalan sistem ekonomi kapitalis yang
didasarkan pada pasar bebas, hal itu dianggap sebagai proses transisional,
sehingga problem itu dipandang akan hilang begitu pertumbuhan ekonomi mengalami
peningkatan (Naqvi, 2003: 136).
a.
Menurut Imam Al-ghazali kegiatan ekonomi sudah menjadi bagian dari kewajiban
social masyarakat yang telah ditetapkan oleh Allah Swt, jika hal itu tidak
dipenuhi, maka kehidupan dunia akan rusak dan kehidupan umat manusia akan
binasa. Selain itu, Al-ghazali juga merumuskan tiga alasan mengapa seseorang
harus melakukan aktivitas ekonomi, yaitu: Pertama,
Untuk memenuhi kebutuhan hidup masing-masing. Kedua, Untuk menciptakan kesejahteraan bagi dirinya dan keluarganya
dan Ketiga, Untuk membantu orang lain
yang sedang membutuhkan (Al-ghazali, 1991: 482).
Tiga
criteria di atas menunjukkan bahwa kesejahteraan seseorang akan terpenuhi jika
kebutuhan mereka tercukupi, kesejahteraan sendiri mempunyai beberapa aspek yang
menjadi indikatornya, di mana salah satunya adalah terpenuhinya kebutuhan
seseorang yang bersifat materi, kesejahteraan yang oleh Al-ghazali dikenal
dengan istilah (al-mashlahah) yang diharapkan oleh manusia tidak bisa
dipisahkan dengan unsur harta, karena harta merupakan salah satu unsur utama
dalam memenuhi kebutuhan pokok, yaitu sandang, pangan dan papan (Karim, 2008:
318).
Al-ghazali
juga menegaskan bahwa harta hanyalah wasilah yang berfungsi sebagai perantara
dalam memenuhi kebutuhan, dengan demikian harta bukanlah tujuan final atau
sasaran utama manusia di muka bumi ini, melainkan hanya sebagai sarana bagi
seorang muslim dalam menjalankan perannya sebagai khalifah di muka bumi di mana
seseorang wajib memanfaatkan hartanya dalam rangka mengembangkan segenap
potensi manusia dan meningkatkan sisi kemanusiaan manusia di segala bidang,
baik pembangunan moral maupun material, untuk kemanfaatan seluruh manusia.
b.
Dalam kosep ekonomi Islam, uang adalah barang public, sedangkan modal adalah
barang pribadi, uang adalah milik masyarakat, sehingga orang yang menimbun uang
(dibiarkan tidak produktif) maka orang tersebut telah mengurangi jumlah uang
beredar, dan hal ini dapat menyebabkan perekonomian menjadi lesu, jika uang
diibaratkan darah, maka perekonomian yang kekurangan uang sama halnya dengan
tubuh yang kekurangan darah, karena itulah menimbun uang sangat dilarang dalam
Islam (Karim, 2001: 21). Karena modal
merupakan barang pribadi, maka modal merupakan barang yang harus diproduktifkan
jika tidak ingin berkurang nilainya akibat tergerus oleh inflasi, dengan begitu
modal merupakan salah satu objek zakat, bagi yang tidak ingin memproduktifkan
modalnya, Islam memberikan alternative dengan melakukan mudharabah atau
musyarakah (bisnis dengan bagi hasil), sedangkan bagi yang tidak mau menanggung
risiko, maka Islam juga memberikan alternative lain dengan melakukan qard
(meminjamkan modalnya tanpa imbalan apapun).
c.
Al-Qur’an telah menyinggung indikator kesejahteraan dalam Surat Quraisy ayat
3-4, “Maka hendaklah mereka menyembah
Tuhan (pemilik) rumah ini (Ka’bah). yang telah memberikan makanan kepada mereka
untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari rasa takut”
berdasarkan ayat di atas, maka kita dapat melihat bahwa indicator kesejahteraan
dalam Al-Qur’an tiga, yaitu menyembah Tuhan (pemilik) Ka’bah, menghilangkan
lapar dan menghilangkan rasa takut.
Indicator
pertama untuk kesejahteraan adalah
ketergantungan penuh manusia kepada Tuhan pemilik Ka’bah, indicator ini
merupakan representasi dari pembangunan mental, hal ini menunjukkan bahwa jika
seluruh indicator kesejahteraan yang berpijak pada aspek materi telah
terpenuhi, hal itu tidak menjamin bahwa pemiliknya akan mengalami kebahagiaan,
kita sering mendengar jika ada orang yang memiliki rumah mewah, kendaraan
banyak, harta yang melimpah namun hatinya selalu gelisah dan tidak pernah
tenang bahkan tidak sedikit yang mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri, padahal
seluruh kebutuhan materinya telah terpenuhi. Karena itulah ketergantungan
manusia kepada Tuhannya yang diaplikasikan dalam penghambaan (ibadah)
kepada-Nya secara ikhlas merupakan indicator utama kesejahteraan (kebahagiaan
yang hakiki) seseorang sebagaimana yang dialami oleh penduduk Bhutan, Negara
yang memiliki indeks kebahagiaan tertinggi dan merupakan negara paling aman di
dunia.
Indicator
kedua adalah hilangnya rasa lapar
(terpenuhinya kebutuhan konsumsi), ayat di atas menyebutkan bahwa Dialah Allah
yang memberi mereka makan untuk menghilangkan rasa lapar, statemen tersebut
menunjukkan bahwa dalam ekonomi Islam terpenuhinya kebutuhan konsumsi manusia
yang merupakan salah satu indicator kesejahteraan hendaknya bersifat secukupnya
(hanya untuk menghilangkan rasa lapar) dan tidak boleh berlebih-lebihan apalagi
sampai melakukan penimbunan demi mengeruk kekayaan yang maksimal, terlebih lagi
jika harus menggunakan cara-cara yang dilarang oleh agama, tentu hal ini tidak
sesuai anjuran Allah dalam surat Quraisy di atas, jika hal itu bisa dipenuhi,
maka kita tidak akan menyaksikan adanya korupsi, penipuan, pemerasan, dan
bentuk-bentuk kejahatan lainnya (Athiyyah, 1992: 370).
Sedangkan
indikator yang ketiga adalah
hilangnya rasa takut, yang merupakan representasi dari terciptanya rasa aman,
nyaman, dan damai. Jika berbagai macam kriminalitas seperti perampokan,
pemerkosaan, pembunuhan, pencurian, dan kejahatan-kejahatan lain banyak terjadi
di tengah masyarakat, hal itu menunjukkan bahwa masyarakat tidak mendapatkan
ketenangan, kenyamanan dan kedamaian dalam kehidupan, atau dengan kata lain
masyarakat belum mendapatkan kesejahteraan.
Ayat
lain yang menjadi rujukan bagi kesejahteraan terdapat dalam Al-Qur’an surat
An-nisaa’ ayat 9 yang artinya adalah “Dan
hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan
dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)
mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah
mereka mengucapkan perkataan yang benar”.
Berpijak pada ayat di atas,
kita dapat menyimpulkan bahwa kekhawatiran terhadap generasi yang lemah adalah
representasi dari kemiskinan, yang merupakan lawan dari kesejahteraan, ayat
tersebut menganjurkan kepada manusia untuk menghindari kemiskinan dengan
bekerja keras sebagai wujud ikhtiar dan bertawakal kepada Allah, sebagaimana
hadits Rasulullah Saw. yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi “Sesungguhnya Allah menyukai seseorang yang melakukan amal perbuatan
atau pekerjaan dengan tekun dan sungguh-sungguh (profesional)” (Qardhawi, 1995:
256).
Pada
ayat di atas, Allah juga menganjurkan kepada manusia untuk memperhatikan
generasi penerusnya (anak keturunannya) agar tidak terjatuh dalam kondisi
kemiskinan, hal itu bisa dilakukan dengan mempersiapkan atau mendidik generasi
penerusnya (anak keturunannya) dengan pendidikan yang berkualitas dan
berorientasi pada kesejahteraan moral dan material, sehingga kelak menjadi SDM
yang terampil dan berakhlakul karimah, mengingat anak adalah asset yang
termahal bagi orang tua (Ar- Razi, 1981: 206).
Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa kesejahteraan dapat diperoleh dengan membentuk
mental menjadi mental yang hanya bergantung kepada Sang Khalik (bertaqwa kepada
Allah Swt.), dan juga berbicara dengan jujur dan benar, serta Allah Swt. Juga
menganjurkan untuk menyiapkan generasi penerus yang kuat, baik kuat dalam hal
ketaqwaannya kepada Allah Swt. Maupun kuat dalam hal ekonomi, Zuhaili (1985: 8)
menjelaskan bahwa ketika Saad bin Abi Waqash r.a. ingin mewasiatkan dua pertiga
dari hartanya padahal ketika itu tidak ada yang mewarisi hartanya kecuali hanya
seorang putrinya, kemudian Rasulullah Saw. Pun bersabda “Sepertiga saja, sepertiga itu sudah banyak, sesungguhnya jika kamu
meninggalkan ahli warismu dalam keadaan berkecukupan adalah lebih baik dari
pada membiarkan mereka dalam keadaan kekurangan dan meminta-minta kepada orang
lain” (HR. Jamaah).
Al-Qur’an
juga menyinggung tentang kesejahteraan yang terdapat pada surat An Nahl ayat 97
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh,
baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan
kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan kami beri
balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang Telah mereka
kerjakan”. yang dimaksud dengan kehidupan yang baik pada ayat di atas
adalah memperoleh rizki yang halal dan baik, ada juga pendapat yang mengatakan
kehidupan yang baik adalah beribadah kepada Allah disertai memakan dengan rizki
yang halal dan memiliki sifat qanaah, ada pendapat lain yang mengatakan
kehidupan yang baik adalah hari demi hari selalu mendapat rizki dari Allah Swt.
Menurut Al-Jurjani, rizki adalah segala yang diberikan oleh Allah Swt. Kepada
hewan untuk diambil manfaatnya baik itu rizki halal maupun haram (Al-Jurjani,
1983: 70).
Ayat
ke-20 dari Surat Al-hadid juga dijadikan sebagai rujukan bagi kesejahteraan
masyarakat, yang artinya “Ketahuilah, bahwa
Sesungguhnya kehidupan dunia Ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan,
perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang
banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para
petani; Kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning
Kemudian menjadi hancur. dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan
dari Allah serta keridhaan-Nya. dan kehidupan dunia Ini tidak lain hanyalah
kesenangan yang menipu”.
Berkaitan
dengan ayat tersebut, Al-Mawardi menjelaskan bahwa orang-orang jahiliyah
dikenal sebagai masyarakat yang sering berlomba-lomba dalam hal kemewahan harta
duniawi dan bersaing dalam hal jumlah anak yang dimilikinya, karena itu bagi
orang yang beriman dianjurkan untuk berlomba-lomba dalam hal ketaatan dan
keimanan kepada Allah Swt. Karena kita juga mengetahui bahwa berlomba-lomba
dalam hal kemewahan duniawi dapat menjerumuskan manusia ke dalam kesombongan
kebinasaan, seperti yang terdapat dalam Surat At-Takatsur ayat 1-2 yang artinya
“Bermegah-megahan Telah melalaikan kamu.
Sampai kamu masuk ke dalam kubur” (Al-Mawardi, 1982: 192).
Ayat
di atas menjelaskan kepada kita bahwa aspek-aspek yang sering dijadikan
indikator kesejahteraan seperti tingkat pendapatan (besarnya kekayaan),
kepadatan penduduk (jumlah anak), perumahan, dan lain-lain bisa menipu
seseorang jika tidak diiringi dengan pembangunan mental atau moral yang
berorientasi pada nilai-nilai ketuhanan. yang pada gilirannya manusia
dikhawatirkan akan terjebak pada persaingan kemewahan duniawi yang serba
hedonis dan materialistik, dengan demikian penanaman tauhid (pembentukan moral
dan mental) merupakan indikator utama bagi kesejahteraan.
Khan (1997: 20) menjelaskan
bahwa ayat di atas juga didukung oleh sebuah hadits Rasulullah Saw. yang
diriwayatkan oleh Abu hurairah r.a. bahwa Rasulullah Saw. Bersabda “Kaya
bukanlah karena kebanyakan harta, tetapi kaya adalah kaya jiwa” (HR. Muslim,
Tirmidzi, dan Ibnu Majah), hadits tersebut juga menjelaskan bahwa pembangunan
moral dan mental lebih utama dari pada pemenuhan tingkat pendapatan, secara
logika pembangunan moral dan mental akan menghasilkan SDM yang berkualitas,
dengan SDM yang berkualitas akan menghasilkan peningkatan total output, dengan
begitu maka pendapatan masyarakat juga akan meningkat, atau dapat dinotasikan
secara sederhana dengan ↑SDM → ↑Q → ↑D → ↑Y
Kesimpulan
Simpulan
Aspek-aspek yang sering dijadikan sebagai indicator untuk mengukur
kesejahteraan masyarakat adalah pendapatan, kependudukan, kesehatan, pendidikan,
ketenagakerjaan, konsumsi, perumahan, dan social budaya. Tetapi mengapa
sebagian orang yang sudah memiliki rumah mewah, kendaraan, deposito dan
berbagai bentuk kekayaan lainnya justru merasa gelisah, tidak tenang,
ketakutan, bahkan ada yang mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Berdasarkan
fakta di atas, rasanya ada yang kurang dalam mengukur kesejahteraan masyarakat.
Berbeda
halnya dengan pandagan islam, Kesejahteraan dalam ekonomi islam adalah
kesejahteraan menyeluruh, yaitu kesejahteraan secara material maupun spiritual.
Konsep kesejahteraan dalam islam tidak hanya diukur berdasarkan nilai ekonomi
saja, tetapi mencakup nilai moral, spiritual, dan juga nilai sosial.
Dalam
ekonomi Islam, kebahagiaan hidup justru diberikan oleh Allah Swt. kepada siapa
saja (laki-laki dan perempuan) yang mau melakukan amal kebaikan disertai dengan
keimanan kepada Allah Swt. Sebagaimana yang disebutkan oleh Allah Swt. Dalam
Surat An-nahl ayat 97, sedangkan tiga indicator untuk mengukur kesejahteraan
dan kebahagiaan adalah pembentukan mental (tauhid), konsumsi, dan hilangnya
rasa takut dan segala bentuk kegelisahan, sebagaimana yang disebutkan Allah
Swt. Dalam Surat Quraisy ayat 3-4.
Daftar Pustaka
Al-ghazali, Abu hamid. 1991. Al Mustashfa min Ilmi Al Ushul, Vol. 2, Madinah: Universitas Islam
madinah.
Al-Jurjani, Syarif Ali bin Muhammad. 1983. Kitab At-Ta’rifat, Vol. 3, Beirut: Dar
al Kutub al-Ilmiyah.
Al-Mawardi, Ali bin habib. 1982. An-Nukat Wa al-Uyun Tafsir alMawardi, Vol. 4, Kuwait: Wizarat
al-Auqaf Wa as-Syu‘un al-Islamiyah.
Ar-Razi, Muhammad Fakhruddin. 1981. Tafsir Al-Fakhr ar-Razi asy-Syahir bi Tafisr
al Kabir Wa Mafatih al Ghaib, Vol. 9. Beirut: Dar el Fikr.
Athiyyah, Muhyi al Din. 1992. Al Kasysyaf al Iqtishadi Li Ayat al Qur’an al Karim, Riyadh: Al Dar
al Ilmiyah Lil Kitab al Islami.
Chapra, Umer. 2001. Masa Depan Ilmu ekonomi (Sebuah Tinjauan Islam), Jakarta: gema
Insani Press.
Ibnu Khaldun, Abdurrahman. 1994. Muqaddimah Ibnu Khaldun, Beirut: Muassasah Al Kutub Ats Tsaqafiyah.
Jones, Charles I. dan Peter J. Klenow. 2011. Beyond GDP? Welfare across countries and
Time, LAEF growth and development conference, Chicago.
Karim, Adiwarman Azwar. 2008. Sejarah Pemikiran ekonomi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Karim, Adiwarman Azwar. 2001. ekonomi Islam (Suatu kajian Kontemporer), Jakarta: gema Insani
Press.
Khan, Muhammad Akram. 1997. Ajaran Nabi Muhammad Saw. Tentang ekonomi (Kumpulan Hadits-Hadits
Pilihan Tentang ekonomi), Jakarta: PT Bank Muamalat Indonesia.
Naqvi, Syed Nawab haider. 2003. Menggagas Ilmu ekonomi Islam, yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Qardhawi, yusuf. 1995. Al Iman Wa al Hayah, Beirut, Muassasah Risalah.
Sugiharto Eko. 2007. “Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Nelayan Desa Benua Baru Ilir
Berdasarkan Indikator Badan Pusat Statistik”, ePP.Vol.4.No.2.2007:32-36.
Tadjoeddin, Achmad Ramzy, et al. Berbagai aspek
ekonomi Islam. (Yogyakarta : Tiara wacana dan P3 EI UII, 1992)
UU No. 11 Tentang Kesejahteraan Sosial.
W. J. S. Poerwadarminta. 1999. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.
Zuhaili, Wahbah. 1985. Al Fiqh al Islami Wa Adillatuhu, Vol. 8, Damaskus: Dar al Fikr.