Mufti Peredam Jihad

Mufti Peredam Jihad

Oleh Yusuf Maulana

"Dahulukan prinsip agama ketimbang kebesaran tokoh." Begitu salah satu metode Dr Mohamed el-Moctar el-Shinqiti dalam karyanya saat menilai perselisihan di kalangan shahabat Nabi. Prinsip yang sama lebih memadai ketika menilai kebesaran kedudukan para anak keturunan "dzurriyah Nabi".
Adakah jaminan polah mereka pasti sejalan dan selalu selaras otomatis dengan prinsip Islam? Jawabannya jelas. Pun soal manuver politik, tak mesti mereka perbuat demi politik kenabian. Bukan hari ini saja bila ada pemegang genealogi Nabi tapi polah laku politiknya mendukung despot, tak terkecuali di Indonesia.
Lalu atas dasar apa mereka bertindak berseberangan dengan jalan politik atau pendekatan para alim lainnya yang mungkin berstatus manusia bertakwa belaka tanpa punya jalur ke garis kenabian? Banyak muslimin paham soal ini sebenarnya. Nah, ada kronik yang perlu dijadikan cermin. Agar prinsip Isl tidak dikalahkan gegara kita takjub dan sungkan pada kebesaran seseorang.
* * * * *
Halaman terakhir fatwa Salim al-Attas itu belum (sempat) terpublikasikan. Entah bagaimana reaksi saudara seiman mereka semisal lembaran fatwa itu tersiar. Salim adalah mufti Johor tapi entah mengapa membuat fatwa bagi negeri seberang: Kesultanan Atjeh.


Dalam fatwanya itu Mufti Salim berseru agar saudara seimannya di Atjeh menghentikan perlawanan terhadap orang-orang Belanda. Fatwa dikeluarkan di naskah beralmanak Muharam 1312 atau Juli 1894 dengan diparaf sang mufti langsung.
Tak jelas landasan dalil, pertimbangan, dan ghirah sang mufti hingga berani menyarankan dalam fatwa. Sementara di negeri Atjeh kala itu tengah giat-giatnya perlawanan, jihad, atas kehadiran kolonial "kape" Belanda. Apakah sang mufti sengaja memihak Belanda, ataukah ada kaidah fiqh yang menghajatkan umat Islam di Atjeh lebih patut berhenti jihad?


Berganti tahun, periode 1935-1941 di Johor naik Sayyid Alwi bin Thahir al-Haddad. Sang mufti ini dikenal sangat antipati pada gerakan kaum muda, yang masa itu beken dipanggil "wahabi". Karya-karya kaum muda semisal Ahmad bin Hassan dari Persatuan Islam dilarang beredar di Johor. "Wahabi", demikian ujar Mufti Alwi, "adalah antek dan bikinan kaum penjajah!"
Terhadap sangkaan keras sang mufti, di Jawi terpanggillah Hamka membalas pandangan tersebut. Soal ulama dan puak wahabi yang dilabeli pendukung penjajah. Terbitlah di negeri Malaya karya Hamka: "Teguran Suci dan Jujur terhadap Mufti Johor". Karya ini konon disambut gempita kalangan kaum muda di negeri jiran gegara selama ini dipojokkan oleh pendukung fatwa Mufti Johor.
Mufti Johor Sayyid Alwi, yang sering dinisbatkan sebagai keturunan baginda Nabi Muhammad, silap membaca kiprah puak wahabi. Sejak perlawanan Padri sampai menjelang Indonesia diproklamasikan, kalangan didikan wahabi tak pernah bertingkah sebagai penyokong penjajajah.
Beliau tampaknya tak tahu ataukah alpa bahwa ada Sayyid di Batavia nan beken malahan digelari "sahabat Pemerintah Hindia Belanda" oleh Dr Christiaan Snouck Hurgronje karena jasa-jasanya "mengamati" dan membantu penguasa kolonial. Nama sang ulama ini adalah Sayyid Utsman bin Abdullah bin Aqil bin Jahja al-Alawi al-Hadrami. Dari pakar kitab ini mestinya mufti Johor berintrospeksi. Sesama Alawi patut menenggang amal masing-masing. Jangan sangka orang lain sebagai antek penjajah, malah puak sendiri justru pelakunya. (Betapapun ada sisi "kebenaran" dari kecaman Mufti Johor dalam kasus oknum bercorak mirip wahabi menyokong Belanda, seperti dalam soal Sayyid Utsman dari Batavia ini).
Bersyukur saudara kami di Aceh, yang lebih taat pada ulama dan mufti lokal pengumandang jihad. Hingga Belanda nyaris putus asa menghadapi perlawanan mereka. Hingga membutuhkan seruan berkebalikan dari mufti negeri lain. Inilah satu pelajaran: penguasa penindas kadang diam-diam berhajat "dibantu" para cendekiawan, hatta oleh alim pendaras Quran dan Sunnah. Dan seperti di Batavia, peran itu elok lancar dimainkan seorang "keturunan" Rasulullah. Kita tak tahu apakah sang Sayyid bersiasat melakukan dakwah dengan sekian pemahaman maqashid syariah ataukah ada tendensi lain. Wallahu a'lam.
Yang terang, zaman boleh berputar, aktor berubah-ubah tapi semangat mereplikasikan kejadian di atas bukan tiada lagi. Tentang para alim yang bersandar di bahu kekuasaan dan memilih menyerukan surutkan perlawanan atas kuasa zalim. Ulama semacam ini akan tampak reaktif dan sensitif ketika kekuasaan disentil saudara ulama yang lain. Tapi di lain waktu, ia begitu enggan menuding jemari ke muka kekuasaan, meski jelas lahirnya berbuat salah, entah apa sebabnya.
Maka, janganlah engkau heran selalu ada "mufti" pemoderat, pengerem, penahan laju, penempuh jalan rendah hati, dan sebutan elegan intelektual seolah paling sufistik anti-emosi akut di tubuh umat manakala ada peran oposisi dan koreksi jujur para ulama lainnya. Memang tak selalu oposisi dan koreksi itu pasti absolut benar. Tapi mohonlah engku budiman membaca konteks peristiwa dengan mata hati bening. Para ulama tak akan iseng mengorek dan mengupasi aib kekuasaan kalau tidak ada asbab mendasari.
Insaflah kita sekarang nan awam ini untuk menahan lisan. Jangan ulang silap Mufti Johor semasa Hamka. Bergegas kritis pada puak seiman sebagai antek penjajah, malah saudara senasab jadi pelakunya.
~ Bahan bacaan dan foto dari P.JS. Van Koningaveld (1989), Snouck Hurgronje dan Islam; Hamka (2009, edisi cetak ulang), Teguran Suci dan Jujur terhadap Mufti Johor; Hamid Algadri (1984), C. Snouck Hurgronje; Politik Belanda terhadap Islam & Keturunan Arab.

Mufti Peredam Jihad "Dahulukan prinsip agama ketimbang kebesaran tokoh." Begitu salah satu metode Dr Mohamed el-Moctar...

Dikirim oleh Yusuf Maulana pada Sabtu, 13 Februari 2021

0/Post a Comment/Comments