Ditulis oleh Desi Putri Riskiah
Mahasiswa STEI SEBI Depok
[WARTANUSANTARA.ID] "Mashlahat" (juga dikenal sebagai "maslahah" atau "maslahat") adalah istilah dalam ilmu ushul fiqh (metode dasar penentuan hukum dalam Islam) yang merujuk pada kemaslahatan atau kepentingan umum. Maslahat dalam Islam merujuk pada konsep kemaslahatan atau kepentingan umat manusia yang menjadi tujuan dari penetapan hukum Islam.
Konsep ini berdasarkan pada prinsip jalb al-manfa'at wa daf' al-mafsadat, yang berarti menarik manfaat dan menolak kemudaratan. Maslahat merupakan nilai inti dari proses pewahyuan hukum Islam, dan tujuan utama hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan manusia serta menghilangkan segala kemungkinan terjadinya kerusakan dan bahaya bagi manusia (Ali Rusdi, 2017). Substansi maslahat melibatkan identifikasi dan pemahaman terhadap kepentingan umum yang bersifat positif dan dapat memberikan manfaat kepada individu atau masyarakat.
Mashlahat sangat erat kaitannya dengan maqashid. Karena tujuan maqashid adalah untuk memenuhi hajat manusia dengan cara merealisasikan mashlahatnya dan menghindarkan mafsadah dari mereka (Ali Rusdi, 2017).
Maslahat merupakan salah satu prinsip dasar dalam hukum Islam. Maslahat digunakan untuk memberikan solusi terhadap masalah-masalah yang tidak ada nashnya dalam Al-Qur'an dan Sunnah. Maslahat juga digunakan untuk mengembangkan hukum Islam agar sesuai dengan perkembangan zaman. Maslahat dapat menjadi dasar dalam menetapkan hukum Islam, terutama dalam konteks kehidupan manusia agar sesuai dengan maqashid as-syari'ah al-ammah, dalam rangka menarik kemaslahatan, menolak kemafsadatan, dan menegakkan kehidupan yang sempurna (Salma, 2013).
Ragam Mashlahat
Imam asy-Syatibi menjelaskan terdapat tiga bentuk mashlahat (Dr. H Oni Sahroni, 2019), yakni;
1. Dharuriyat, merupakan kebutuhan pokok yang harus dipenuhi, yang mana jika ditinggalkan akan membuat kehidupan menjadi rusak. Maslahat dharuriyat dalam Islam merujuk pada kemaslahatan yang berhubungan dengan kebutuhan pokok umat manusia di dunia dan di akhirat. Kemaslahatan ini menyangkut mewujudkan dan melindungi eksistensi lima pokok, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Dalam kategori ini, terdapat kebutuhan mendasar yang harus dipertahankan dan dilindungi untuk memastikan kelangsungan hidup manusia (Salma, 2013).
2. Hajiyat, merupakan kebutuhan yang sebaiknya dipenuhi, yang jika ditinggalkan akan menimbulkan kesulitan. Maslahat hajiyat dalam Islam merujuk pada kemaslahatan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pokok atau mendasar manusia. Kemaslahatan ini mencakup aspek-aspek seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, dan transportasi. Maslahat hajiyat juga terkait dengan hukum-hukum rukhsah (keringanan) dalam ibadah dan keharusan menikmati perkara-perkara baik yang halal. Dalam konteks kejahatan, Islam membenarkan hukum qisas (hukuman balas) atau membantu keluarga yang membunuh dengan tidak sengaja dengan membayar diat. Konsep maslahat hajiyat menjadi penting dalam memahami bagaimana hukum Islam dapat memenuhi kebutuhan pokok manusia dan memberikan keringanan dalam ibadah (Asman & Muchsin, 2021).
3. Tahsinat, merupakan kebutuhan pelengkap yang jika tidak terpenuhi makan akan membuat kehidupan menjadi kurang nyaman. Konsep maslahat tahsinat dalam Islam merujuk pada kemaslahatan yang bersifat tersier atau mewah, yang berkaitan dengan peningkatan kualitas hidup dan kebahagiaan manusia. Kemaslahatan ini mencakup aspek-aspek yang tidak hanya memenuhi kebutuhan pokok, tetapi juga meningkatkan kualitas kehidupan, seperti seni, keindahan, dan kenyamanan. Dalam konteks hukum Islam, maslahat tahsinat memungkinkan adanya keringanan dalam ibadah dan memberikan ruang bagi manusia untuk menikmati kebaikan yang halal. Konsep ini menjadi penting dalam memahami bagaimana hukum Islam tidak hanya memenuhi kebutuhan dasar, tetapi juga memperhatikan aspek-aspek peningkatan kualitas hidup manusia (Asman & Muchsin, 2021).
Ketiga kebutuhan itu bertujuan merealisasikan tujuan-tujuan berikut:
1. Hifdzu Din (menjaga agama); Segala upaya yang diperlukan untuk melindungi dan mempertahankan agama Islam dalam kondisi darurat yang dapat mengancam ajaran Islam. Hifdzu din dalam Islam merujuk pada konsep menjaga dan memelihara agama. Konsep ini merupakan salah satu dari lima tujuan utama syariat Islam yang dikenal sebagai maqashid al-shariah. Konsep hifdzu din menunjukkan pentingnya menjaga keberlangsungan agama Islam dan mempertahankan kepatuhan terhadap hukum-hukum syariat. Hal ini juga menunjukkan pentingnya memelihara kebebasan beragama dan hak asasi manusia dalam konteks agama
2. Hifdzu Nafs (menjaga jiwa); Hifdzu an-nafs dalam Islam merujuk pada konsep menjaga dan memelihara jiwa. Konsep ini merupakan salah satu dari lima tujuan utama syariat Islam yang dikenal sebagai maqashid al-shariah. Hal ini juga menunjukkan pentingnya memelihara kesehatan mental dan emosional, serta menjaga keseimbangan antara kebutuhan jasmani dan rohani. Konsep ini menjadi penting dalam memahami bagaimana hukum Islam memperhatikan kesejahteraan jiwa manusia sebagai bagian integral dari ajaran agama (Fitri, 2023).
3. Hifdzu ‘Aql (menjaga akal); Hifdzu al-'aql dalam Islam merujuk pada konsep menjaga dan memelihara akal. Konsep ini merupakan salah satu dari lima tujuan utama syariat Islam yang dikenal sebagai maqashid al-shariah. Konsep hifdzu al-'aql menunjukkan pentingnya menjaga keberlangsungan akal manusia, baik dalam hal pendidikan, pengembangan intelektual, maupun perlindungan terhadap gangguan-gangguan yang dapat merusak akal. Hal ini juga menunjukkan pentingnya memelihara kesehatan mental dan intelektual sebagai bagian integral dari ajaran agama (Fitri, 2023).
4. Hifdzu Nasab (menjaga keturunan); hifdzu nasab atau dikenal juga dengan sebutan hifdzu nasl dalam Islam merujuk pada konsep menjaga dan memelihara keturunan. Konsep ini merupakan salah satu dari lima tujuan utama syariat Islam yang dikenal sebagai maqashid al-shariah. Hal ini juga menunjukkan pentingnya memelihara hubungan keluarga dan membangun keluarga yang sejahtera. Konsep ini menjadi penting dalam memahami bagaimana hukum Islam memperhatikan kesejahteraan keluarga dan memelihara hubungan sosial dalam masyarakat (Chollisni & Damayanti, 2016).
5. Hifdzu Mal (menjaga harta); Hifdzu al-mal dalam Islam merujuk pada konsep menjaga dan memelihara harta. Konsep ini merupakan salah satu dari lima tujuan utama syariat Islam yang dikenal sebagai maqashid al-shariah. Konsep hifdzu al-mal menunjukkan pentingnya menjaga harta dan memelihara kekayaan secara halal dan berkelanjutan. Hal ini juga menunjukkan pentingnya memperhatikan aspek ekonomi dan keuangan dalam ajaran agama, serta memelihara keadilan dan keseimbangan sosial dalam masyarakat. Konsep ini menjadi penting dalam memahami bagaimana hukum Islam memandang pentingnya memelihara harta dan kekayaan sebagai bagian integral dari ajaran agama (Chollisni & Damayanti, 2016).
Batasan-Batasan Mashlahat
Mashlahat dalam syariat memiliki dhawabith (batasan) yang bertujuan untuk menentukan substansi mashlahat yang bersifat umum dan mengaitkannya dengan dalil hukum, sehingga terdapat keterkaitan antara aspek umum dan hukumnya (Dr. H Oni Sahroni, 2019). Adapun dhawabith mashlahat itu ialah:
Pertama, Mashlahat itu termasuk bagian dari maqashid syariah
Seperti yang dijelaskan pada bagian sebelumnya, syariah memiliki maqashid lima tujuan utama yang Allah SWT inginkan pada hambaNya. Maka setiap perilaku yang bertujuan untuk memenuhi kelima hajat manusia tersebut disebut dengan mashlahat. Dan sebaliknya sebaliknya, setiap perilaku yang menghilangkan kelima hal tersebut disebut dengan istilah mafsadat.
Kedua, Tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah
1. Tidak bertentangan dengan al-Qur’an
Setiap mashlahat yang bertentangan dengan al-Qur’an terbagi atas dua bagian;
- Mashlahat berdasarkan asumsi dan tidak berdasarkan asal yang bisa diqiyaskan. Jika nash qath’i dilalah, maka kekuatan hukum mashlahat menjadi batal. Seperi firman Allah SWT yang berbunyi;
ÙˆَاَØَÙ„َّ اللّٰÙ‡ُ الْبَÙŠْعَ ÙˆَØَرَّÙ…َ الرِّبٰواۗ
“Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al-Baqarah [2] : 275)
Ayat diatas menjelaskan perbedaan hukum jual beli dan hukum riba. Yang mana dikatakan bahwa hukum jual beli adalah boleh dan hukum riba adalah haram. Ketentuan hukum yang terdapat dalam ayat ini tidak bisa dibatalkan dengan mashlahat.
- Mashlahat yang berdasarkan pada asal dalam qiyas karena memiliki ‘illat yang sama. Jika mashlahat tersebut adalah cabang (furu’) yang memiliki kesamaan dengan asal, dan qiyasnya adalah qiyas yang benar serta perbedaan keduanya adalah perbedaan juz’i, seperti perbedaan antara ‘am dan khas. Maka hakikat perbedaan ini adalah perbedaan antara dua dalil yang memiliki kekuatan hukum yang sama. Maka menggunakan kedua dalil yang bertentangan ini menjadi kewenangan asli ushul fiqh.
2. Tidak bertentangan dengan as-Sunnah
Setiap mashlahat yang tidak memiliki sandaran qiyas, jika bertentangan dengan nash baik bersifat qath’i maupun zhanni, maka nash tersebut tidak berkekuatan hukum. Berdasarkan hasil ijma’ ulama, diputuskan bahwa mashlahat yang seperti ini batal dan tidak berkekuatan hukum.
Begitupun mashlahat yang berlandaskan qiyas, jika bertentangan dengan nash qath’i dan sharih, maka qiyas tersebut adalah qiyas fasid dan tidak bisa dijadikan sandaran hukum. Namun, jika mashlahat tersebut berdasarkan qiyas dan bertentangan dengan nash dzanni seperti khabar ahad, dan pertentangan ini bisa diselesaikan dengan cara takhsis -misalnya- maka hukumya dikembalikan pada ijtihad para mujtahid untuk menggabungkan antara nash, dan bukan memilih mashlahat dan meninggalkan nash.
Menurut ar-Risuni qiyas tidak perlu di masukkan dalam dhawabith mashlahah, karena mashlahat itu jika berkesesuaian dengan maqashid syariah, maka syarat tersebut tidak diperlukan lagi. Karena mashlahat seperti ini adalah asl dan menjadi maqashid, maka mashlahat yang berstatus asl dan tujuan ini tidak bisa di qiyaskan (Dr. H Oni Sahroni, 2019).
Ketiga, Tidak bertentangan dengan mashlahat yang lebih besar
Mashlahat menjadi berkekuatan hukum jika tidak bertentangan dengan mashlahat yang lebih besar. Jika terdapat mashlahat yang lebih besar, maka mashlahat yang lebih kecil itu menjadi batal.
Setiap hukum fikih tidak akan melahirkan mashlahat atau tidak mengandung mashlahat kecuali jika mashlahat tersebut sesuai dengan hukum tersebut. dan mashlahat bisa sesuai dengan hukum tersebut jika tidak bertentangan dengan mashlahat yang lebih besar atau yang setara.
Penerapan Mashalih Mursalah dalam Ekonomi Islam
Dalil Investasi dalam Mudharabah
Dalam konteks mudharabah, syariat merujuk pada prinsip-prinsip hukum Islam yang mengatur akad kerja sama antara pemilik modal (shahibul mal) dan pengelola usaha (mudharib). Akad mudharabah adalah kerja sama usaha antara dua pihak di mana pemilik modal menyediakan dana untuk diinvestasikan dalam suatu usaha, sedangkan pengelola usaha bertanggung jawab mengelola dan menjalankan usaha tersebut. Manfaat dari usaha dibagi antara pemilik modal dan pengelola usaha sesuai dengan kesepakatan sebelumnya, sedangkan kerugian ditanggung oleh pemilik modal kecuali jika disebabkan oleh kelalaian atau kesalahan pengelola usaha (Astuti, 2019).
Maksud syariah dari mudharabah dapat dilihat pada dua hal:
1. Jika seseorang memiliki kelebihan harta dan memiliki kemampuan untuk mengelolanya, maka ia harus bekerja dan mengelolanya sendiri. Dan jika usaha berhasil, maka seluruh keuntungan menjadi miliknya.
2. Jika seseorang memiliki kelebihan harta namun tidak memiliki kemampuan untuk mengelolanya sendiri, maka ia harus menyerahkannya kepada pihak lain untuk mengelolanya.
Ketentuan tersebut sesuai dengan mashlahat, bahwa setiap pihak bisa mandiri dan mampu untuk memenuhi kebutuhan mendasarnya sehingga dapat menunaikan tanggung jawabnya sebagai hamba Allah SWT. oleh karena itu, setiap modal yang dimiliki baik uang atau keahlian harus dikelola menjadi modal usaha, baik sebagai pemilik modal atau pengelola (Dr. H Oni Sahroni, 2019).
DAFTAR PUSTAKA
Ali Rusdi, M. (2017). Maslahat Sebagai Metode Ijtihad Dan Tujuan Utama Hukum Islam. DIKTUM: Jurnal Syariah dan Hukum, 15(2), 151–168. https://doi.org/10.35905/diktum.v15i2.432
Asman, & Muchsin, T. (2021). Maqasid al-Shari’ah in Islamic Law Renewal: The Impact of New Normal Rules on Islamic Law Practices during the Covid-19 Pandemic. Mazahib Jurnal Pemikiran Hukum Islam, 20(1), 77–102. https://doi.org/10.21093/mj.v20i1.2957
Astuti, S. (2019). Akad Mudharabah Dalam Perbankan Syariah. 29.
Chollisni, A., & Damayanti, K. (2016). Analisis Maqashid Al-Syari’ah Dalam Keputusan Memilih Hunian Islami Pada Perumahan Vila Ilhami Tangerang. Jurnal Islaminomic, 7(1).
Dr. H Oni Sahroni, M. A. (2019). Ushul Fikih Muamalah (3 ed.). Rajawali Pers.
Fitri, S. R. (2023). Islam Dan Hak Asasi Manusia Dalam Al-Qur’an. Metta Jurnal Penelitian Multidisiplin Ilmu, 2(1), 1311–1318. https://melatijournal.com/index.php/Metta/article/view/371
Salma. (2013). Maslahah Dalam Perspektif Hukum Islam. Journal of Chemical Information and Modeling, 53(9), 1689–1699.