Ditulis oleh Nisrina Hafizah Husna
Mahasiswa STEI SEBI Depok
[WARTANUSANTARA.ID] Mungkin anda pernah mendengar segelintir ucapan atau curhatan guru-guru yang sekedar meluapkan kegelisahan mereka dengan kondisi siswa yang sedang mereka hadapi di sekolah. Jelas ini tidak salah karena faktanya kita memang banyak menemui betapa berbedanya siswa yang kita hadapi saat ini dengan generasi sebelumnya. Seorang pakar terkenal yang bernama Graeme Codrington mencetuskan sebuah teori tentang karakter generasi. Teori ini dinamakan Generation Theory.
Dalam teori tersebut, Graeme Codrington menjelaskan tentang karakter generasi-generasi yang bisa dipelajari dan dipahami sehingga kita bisa membedakan antara generasi yang lalu dan generasi sekarang.
Generasi Z
Generasi selanjutnya sering disebut sebagai generasi Z atau gen Z. Generasi ini lahir pada rentang tahun 1995-2012. Generasi ini juga dijuluki sebagai I generation atau generasi internet. Pada umumnya, mereka memiliki banyak kesamaan dengan generasi sebelumnya. Namun, yang membedakan adalah kemampuannya dalam melakukan berbagai pekerjaan dalam satu waktu secara bersamaan seperti contoh mereka bisa chatting Whatsapp di gadget sambil browsing tugas sekaligus mendengarkan musik menggunakan headphone. Hal ini membuat mereka mengenal teknologi-teknologi terbaru dan piawai menggunakan gadget canggih yang secara masif mempengaruhi mereka dalam berinteraksi di lingkungan sosial. Generasi inilah yang sedang kita hadapi di sekolah.
Banyak generasi X dan generasi Y atau Milenial yang kadang tidak bisa move on dari pengalaman mereka saat mengajar siswa zaman dahulu yang sangat sopan. Jauh berbeda dengan siswa zaman sekarang ketika berpapasan dengan gurunya di jalan mereka bersikap biasa saja. Status guru hanya disematkan di sekolah saja. Kalau di luar sekolah, mereka akan membangun hubungan pertemanan saja. Hal ini tentu sangat berbeda dengan cara berinteraksi antara guru dan siswa pada zaman dahulu yang mana siswa sangat menghormati gurunya. Coba kita renungkan sejenak apa yang sebenarnya terjadi
Siswa zaman dahulu adalah generasi yang belum merasakan ledakan internet. Mereka hanya memainkan permainan tradisional yang banyak dirindukan hingga saat ini. Sedangkan siswa zaman sekarang atau lebih sering disebutnya gen Z adalah generasi yang hidup di era perkembangan teknologi yang begitu pesat sehingga mereka lebih sibuk menyendiri ditemani oleh gadget daripada mereka harus sibuk di kehidupan sosial. Tentu saja menjadi seorang guru untuk gen Z akan terasa berbeda.
Sesuatu yang mustahil terjadi apabila kita menjadikan gen Z seperti siswa-siswa pada zaman dahulu. Sebab, mereka hidup di zaman yang berbeda. Kita harus menerima keadaan ini. Alangkah indahnya jika kita tidak mengeluhkan kondisi siswa yang sedang kita hadapi saat ini. Mari menerima mereka apa adanya dengan tangan terbuka. Jika bisa memilih, mereka pun pasti ingin dilahirkan pada generasi sebelumnya. Mengapa demikian? Sebab jika mereka terlahir pada generasi sebelumnya, mereka akan mempunyai banyak kenangan hidup di saat semuanya serba natural bukan serba instan. Namun kenyataannya, mereka tidak mempunyai pilihan. Mereka harus menerima kenyataan bahwa mereka adalah generasi yang hidup di era ledakan internet, teknologi berkembang pesat dan modernisasi.
Saat ini, mayoritas profesi guru dihuni oleh generasi X dan hanya sebagian kecil saja dari generasi Y atau Milenial. Artinya, bisa dipastikan sebagian besar guru di Indonesia belum begitu melek teknologi. Hal inilah yang kemudian menjadi celah kuat untuk membenturkan guru dan siswa. Mengapa? Karena gen Z begitu piawai menggunakan teknologi, sedangkan gurunya jauh tertinggal. Dengan penguasaan teknologi yang cukup baik, mereka memiliki kesempatan besar untuk mengakses informasi yang melimpah di internet.
Maka tidak heran jika apa yang disampaikan oleh guru sudah mereka ketahui lebih dahulu melalui mesin pencarian di internet. Alhasil, mereka akan merasa bosan ketika penyampaian guru kurang sesuai dengan ekspektasi mereka dan terkesan monoton. Apabila ini terus terjadi maka dikhawatirkan dapat menghambat perkembangan potensi siswa. Lantas apa yang harus dilakukan guru dalam menghadapi gen Z sehingga pembelajaran yang diberikan bisa maksimal? Berikut ini pembahasannya.
Guru Yang Expert
Ada satu konsekuensi yang akan kita dapatkan ketika kita memilih berkarir sebagai seorang guru, yakni harus menjadi guru yang expert. Stuart E. Dreyfus dan Hubert L. Dreyfus dalam teori Dreyfus Model menyatakan bahwa penguasaan kompetensi dibagi menjadi beberapa tingkatan yaitu:
Pertama, level novice (pemula). Di level ini, seorang praktisi akan mengikuti teknik-teknik yang mereka kuasai secara kaku. Ia masih harus berpikir untuk mengeksekusi keterampilannya dengan baik. Contoh ketika pertama kali mengajar, kita akan menerapkan beberapa teknik dan model pembelajaran yang terkesan kaku sehingga sangat menyulitkan kita untuk berimprovisasi melakukan teknik-teknik pembelajaran baru yang lebih tepat.
Kedua, level advanced beginner (pemula tingkat lanjut). Di level ini, seorang praktisi mulai memahami konteks kapan sebuah teknik efektif dilakukan dan kapan teknik tidak efektif dilakukan. Ia secara sadar sudah mampu menganalisis teknik yang dapat digunakan. Contoh untuk menghadapi siswa yang heterogen dan memiliki keaktifan tingkat tinggi, sangat tidak tepat jika kita menerapkan model pembelajaran contextual learning. Carilah model pembelajaran lain yang betul-betul pas dengan kondisi kelas tersebut. Maka disimpulkan bahwa model pembelajaran yang cocok diterapkan adalah cooperative learning.
Ketiga, level competent (mampu). Di level ini, seorang praktisi mulai memahami prinsip-prinsip atau kaidah di balik teknik yang mereka gunakan sehingga mereka lebih fleksibel dalam menggunakan teknik-teknik yang ia kuasai. Pada level ini, kita sudah sangat mengetahui seluk-beluk teknik yang akan kita gunakan sehingga kita sudah bisa memprediksi kondisi yang akan terjadi ketika melakukan teknik tersebut. Contoh setelah mengetahui bahwa siswa yang heterogen dan memiliki keaktifan yang tinggi maka model pembelajaran yang tepat adalah cooperative learning, secara otomatis pemikiran kita sudah dapat memilih tipe-tipe model pembelajaran cooperative learning untuk kita terapkan diantaranya Student Teams Achievement Division (STAD), investigasi kelompok, pendekatan struktural, dan Jigsaw. Setelah kita memilih satu tipe yang bisa diterapkan, maka secara perlahan akan menghasilkan pencapaian yang luar biasa.
Keempat, level proficient (cakap). Di level ini, intuisi seorang praktisi mulai terbentuk. Ia mulai memahami pola-pola yang terkait dengan keterampilannya. Pada tahap ini kita telah memiliki kemampuan di atas rata-rata bukan saja tentang teori yang paten, tetapi juga tentang penerapannya. Contoh ketika ada seseorang yang mengonsultasikan kendala-kendala pengajaran yang dilakukannya, terutama penerapan model pembelajaran yang tidak membuahkan hasil yang maksimal. Kemudian kita menganalisis satu per satu permasalahannya hingga akhirnya kita membuat satu keputusan bahwa inilah solusi yang bisa orang tersebut lakukan.
Contoh lain untuk menemukan sebuah solusi tentang permasalahan pembelajaran, seorang guru harus melakukan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) untuk memutuskan solusi yang tepat untuk permasalahan yang dialaminya. Jika sudah melakukan hal tersebut, maka level kita saat ini berada di level cakap.
Kelima, level expertise (ahli). Inilah level tertinggi, dimana intuisi seorang praktisi sudah sangat tajam sehingga mampu mengeksekusi skillnya tanpa harus berpikir. Ia sudah masuk dalam tahap unconscious competence. Tahap ini terjadi saat kita sering melakukan penelitian dalam setiap masalah yang dihadapinya di kelas. Pengalaman yang banyak membuat intuisi akan segera menemukan solusi dari apa yang pernah ia alami sebelumnya. Seorang guru yang expert tidak perlu lagi membuka teori terlebih dahulu untuk menemukan solusi, tetapi bukan berarti mereka tidak belajar. Sejatinya, ilmu mereka ada dalam pikirannya.
Merancang Kreativitas Siswa
Sebagai guru tentu saja kita dituntut untuk merancang program kreativitas bukan hanya di dalam kelas tetapi juga program yang berdampak pada seluruh stakeholder sekolah. Cobalah melakukan langkah demi langkah hingga kita semakin mahir membuat program kreatifitas di sekolah. Carolyn Edwards dan Kay Springate dalam artikelnya yang berjudul The Lion Comes Out of The Stone: Helping Young Children Achieve Their Creative Potential memberikan beberapa cara yang dapat diterapkan untuk membuat program kreatifitas siswa
diantaranya:
Pertama, berikan kesempatan dan waktu yang luang kepada siswa untuk mengeksplorasi dan melakukan pekerjaan terbaiknya serta jangan mengintervensi pada saat mereka sedang termotivasi dalam menyelesaikan tugas-tugasnya secara produktif. Cara ini menunjukkan bahwa guru harus lebih menonjolkan peran sebagai fasilitator dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menyelesaikan permasalahan sendiri.
Kedua, ciptakan lingkungan sekolah yang menarik dan mengasyikkan. Mendesain lingkungan sekolah yang menyenangkan bisa menambah kreatifitas siswa.
Ketiga, sediakan berbagai bahan dan sumber belajar yang menarik dan bermanfaat bagi siswa. Misalnya guru membuat pojok membaca di kelas. Hal ini memungkinkan siswa untuk selalu mengupgrade pengetahuan dan informasi guna menambah khazanah pemikiran mereka. Siswa yang memiliki intensitas waktu membaca yang banyak akan memiliki pengetahuan yang luas dibandingkan siswa yang hanya menghabiskan waktunya untuk hal-hal yang tidak bermanfaat. Dan siswa yang rutin membaca buku pemikirannya jauh lebih kritis saat bertanya kepada guru.
Keempat, ciptakan iklim kelas yang kritis. Kelas seperti ini akan mendorong siswa untuk mampu menyampaikan pendapatnya. Doronglah siswa agar berargumen berdasarkan fakta yang ada bukan berdasarkan perasaan dan asumsi terhadap suatu permasalahan.
Jadilah guru yang sesuai dengan perkembangan zaman. Agar pengetahuan kita sebagai guru tidak tertinggal dengan murid-murid kita yang lebih paham tentang perkembangan teknologi. Jangan lupa kita sebagai guru mengajarkan hal-hal yang menumbuhkan jiwa sosial. Salah satu contohnya dengan bersedekah. Sahabat bisa menyalurkannya ke lembaga Zakat Sukses. atau bisa klik link dibawah.
Sumber diolah dari
1. https://m.kumparan.com/amp/user-24092024130312/tren-gen-z-saat-menjadi-guru-23aiuoemhtm