Boikot Produk Terafiliasi Israel: Ancaman Ekonomi atau Peluang Buat Brand Lokal?


Ditulis OIeh Nizmah Rosyidatul Izzah
Mahasiswa Program Studi Ekonomi Syariah Pascasarjana UIN SYAHADA Padangsidimpuan


[WARTANUSANTARA.ID] Gerakan boikot produk yang punya keterkaitan dengan Israel makin meluas di Indonesia. Ini dipicu rasa solidaritas terhadap Palestina dan seruan dari berbagai kelompok masyarakat. Tagar seperti #BoikotIsrael dan #BoikotProdukIsrael ramai berseliweran di media sosial, mendorong orang untuk menghindari produk tertentu.

Tapi di balik semangat itu, muncul kekhawatiran soal dampaknya buat ekonomi dalam negeri. Banyak yang mulai bertanya-tanya: apa jangan-jangan boikot ini malah bikin ekonomi goyah dan bikin banyak orang kehilangan pekerjaan? Atau justru bisa jadi peluang emas buat brand lokal unjuk gigi?

Menurut data dari Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo), beberapa gerai waralaba besar kayak KFC dan Pizza Hut kena dampaknya lumayan parah—penurunan omzet sampai 40%. Ini bikin mereka harus putar otak buat efisiensi, termasuk ngurangin karyawan. Bahkan diperkirakan sekitar 25 ribu pekerja sektor ritel bisa kena PHK karena penurunan penjualan.

Tapi penting juga buat dilihat dari sisi lain. Boikot bukan berarti orang berhenti belanja. Konsumsi tetap jalan, cuma arahnya yang berubah. Ini yang disebut para ekonom sebagai market reallocation—pola konsumsi yang bergeser. Orang tetap beli makanan, minuman, dan kebutuhan sehari-hari, tapi mulai milih merek alternatif, terutama yang lokal dan nggak terafiliasi sama Israel.

Nah, di sini peluang besar mulai kelihatan. Pas konsumen mulai cari pengganti, brand lokal yang sebelumnya kurang dilirik malah jadi sorotan. Meski belum semua sektor punya data jelas, di industri kecantikan dan perawatan misalnya, brand lokal udah mulai unggul. Data dari semester pertama 2024 nunjukkin kalau penjualan brand lokal di kategori ini udah ngalahin brand global—angka penjualannya bisa tembus Rp5 triliun. Ini jadi bukti kalau konsumen mulai shifting, bukan cuma karena isu boikot, tapi juga karena makin banyak yang sadar pentingnya dukung produk lokal yang dianggap lebih “bersih” secara nilai dan kepemilikan.

Contohnya kayak Es Teh Indonesia, Haus!, atau Burgreens—yang sekarang mulai banyak dilirik sebagai alternatif lokal dari jaringan waralaba internasional. Di sektor retail dan kecantikan, brand kayak Wardah dan Sociolla juga ikut terdongkrak karena dianggap nggak punya keterkaitan dengan jaringan bisnis global yang bermasalah secara etis. Kenaikan penjualan ini bukan cuma karena orang butuh substitusi, tapi juga karena mereka merasa ada nilai lebih saat pilih produk yang sejalan sama prinsip mereka.

Media sosial punya peran besar dalam memperkuat gerakan ini. Komunitas kayak Halal Corner, Konsumen Cerdas, atau akun edukatif di TikTok dan Instagram jadi penyambung informasi yang cepat dan masif. Mereka bikin daftar brand alternatif, kampanye edukatif soal rantai pasok, dan bantu konsumen buat belanja lebih sadar. Di era digital kayak sekarang, satu konten viral bisa langsung ngaruh ke penjualan nasional.

Nggak cuma di makanan atau minuman, sektor fashion, kecantikan, sampai produk rumah tangga juga kena dampaknya. Konsumen makin kritis: dari bahan baku, kepemilikan brand, sampai posisi pemilik modal di konflik global mulai ditelusuri. Meski nggak semua informasi akurat, tren ini bikin brand lebih hati-hati dan transparan. Dalam jangka panjang, ini bisa jadi titik tolak buat naikinnya standar etika bisnis di Indonesia.

Boikot ini juga memicu tumbuhnya kesadaran soal ethical consumerism—gaya konsumsi yang mempertimbangkan nilai moral dan sosial. Menurut riset Kang dan Hustvedt (2014) di Journal of Business Ethics, konsumen cenderung lebih loyal sama produk yang sesuai sama nilai-nilai pribadi mereka. Ini bisa jadi peluang besar buat brand lokal buat tampil sebagai pilihan yang nggak cuma bagus secara produk, tapi juga punya nilai.

Di tengah ketegangan geopolitik, gerakan boikot ini bisa dibilang dorongan tidak langsung menuju kemandirian ekonomi. Selama ini kita terlalu bergantung sama merek global dalam berbagai aspek. Sekarang momennya pas buat mulai bangun ekosistem ekonomi yang lebih mandiri dan berbasis kekuatan lokal. Nggak cuma demi solidaritas politik, tapi juga demi keberlanjutan jangka panjang.

Pemerintah juga udah kasih pernyataan soal ini. Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan, bilang bahwa boikot adalah hak konsumen selama dilakukan secara damai dan nggak melanggar hukum. Tapi, beliau juga ingetin bahwa dampak ekonominya, terutama buat tenaga kerja, harus diperhatikan. Jadi di sinilah peran penting pemerintah—jadi penyeimbang antara hak konsumen dan perlindungan sektor usaha.
Langkah strategis dari pemerintah bisa berupa percepatan dukungan buat UMKM, insentif buat brand lokal, dan kebijakan belanja negara yang lebih mengutamakan produk dalam negeri. Di sisi lain, masyarakat dan komunitas digital bisa terus mengedukasi biar gerakan ini tetap rasional dan berbasis informasi, bukan cuma emosional.

Kalau dilihat secara global, boikot bukan hal baru. Kampanye BDS (Boycott, Divestment, Sanctions) yang dimulai sejak 2005 udah cukup berhasil bikin tekanan ekonomi ke perusahaan yang dianggap dukung pendudukan Israel. Beberapa universitas di Eropa dan AS bahkan udah narik investasi dari perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam konflik itu.

Jadi, ya, boikot memang punya dampak ekonomi jangka pendek, terutama buat perusahaan besar dan para pekerjanya. Tapi kalau disikapi dengan cerdas, ini bisa jadi titik balik buat brand lokal. Dengan dukungan pemerintah, kesadaran konsumen, dan kekuatan komunitas, gerakan ini bisa jadi awal dari ekonomi Indonesia yang lebih mandiri dan beretika. Yang dibutuhin sekarang adalah strategi, solidaritas, dan keberanian buat bangun ekonomi yang nggak cuma mikirin untung, tapi juga nurani.

Langkah selanjutnya bukan cuma soal ikut gerakan boikot, tapi gimana kita bisa ngejaga momentumnya buat ngarah ke ekonomi yang lebih adil dan berdaulat. Pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat punya kesempatan langka buat bareng-bareng bikin ekosistem yang lebih sehat—nggak lagi terlalu bergantung sama pemain global yang nilai-nilainya nggak sejalan sama kemanusiaan. Kalau serius digarap, boikot ini bukan cuma bentuk penolakan, tapi juga pernyataan bahwa ekonomi bisa dijalankan dengan hati nurani, bukan cuma logika pasar.

Medsos PenuIis

Referensi: 

Kang, J., & Hustvedt, G. (2014). Building trust between consumers and corporations: The role of consumer perceptions of transparency and social responsibility. Journal of Business Ethics, 125(2), 253–265. https://doi.org/10.1007/s10551-013-1916-7 

Pratama, A. (2023, November 9). Ramai aksi boikot produk Israel, begini respons Mendag Zulhas. Bisnis.com. https://ekonomi.bisnis.com/read/20231109/12/1712835/ramai-aksi-boikot-produk-israel-begini-respons-mendag-zulhas 

Republika.co.id. (2023, November 16). Dampak boikot produk Israel, Hippindo sebut ada penurunan penjualan hingga 40 persen. Republika. https://ekonomi.republika.co.id/berita/s4tv95502/dampak-boikot-produk-israel-hippindo-sebut-ada-penurunan-penjualan-hingga-40-persen 

Pikiran Rakyat. (2023, November 10). 25.000 pekerja Indonesia terancam PHK akibat aksi boikot anti-Israel. Pikiran Rakyat. https://www.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-017362516/25000-pekerja-indonesia-terancam-phk-akibat-aksi-boikot-anti-israel?page=all 

Valid News. (2023, November 13). Aksi boikot Israel ubah peta persaingan pasar produk kecantikan di Indonesia. Valid News. https://validnews.id/ekonomi/aksi-boikot-israel-ubah-peta-persaingan-pasar-produk-kecantikan-di-indonesia 

0/Post a Comment/Comments