Ditulis oleh Indriyani
Mahasiswa Institut Agama Islam SEBI
[WARTANUSANTARA.ID] Perkembangan teknologi informasi telah membawa
perubahan besar dalam cara manusia melakukan transaksi. Dunia bisnis tidak lagi
hanya berputar di ruang fisik seperti toko atau pasar tradisional, melainkan
telah bergeser secara drastis ke ranah digital melalui berbagai platform
e-commerce. Dalam konteks ini, pelaku usaha Muslim
dihadapkan pada tantangan untuk tetap menjaga integritas nilai-nilai syariah di
tengah arus digitalisasi ekonomi yang sangat dinamis dan kompetitif. Di sinilah
pentingnya kemampuan bernegosiasi secara efektif, cerdas, dan etis untuk
memastikan bahwa aktivitas usaha yang dilakukan tidak hanya menguntungkan
secara finansial, tetapi juga sah secara syariat.
Negosiasi dalam dunia bisnis bukan
semata urusan tawar-menawar harga, melainkan proses menyeluruh untuk mencapai
kesepakatan bersama yang memuaskan kedua belah pihak. Ed Brodow, dalam bukunya Latihan
Singkat Bernegosiasi Jitu di Segala Situasi, menekankan bahwa kunci awal
dari keberhasilan negosiasi terletak pada kejelasan tujuan. Menurutnya, seorang
negosiator yang tidak memiliki arah akan dengan mudah diarahkan oleh lawan
bicaranya. Saya setuju bahwa prinsip ini sangat penting dalam praktik
e-commerce syariah. Dalam konteks bisnis Islam, tujuan tidak hanya sekadar
mencari laba maksimal, melainkan juga menjaga agar semua transaksi tidak
melanggar prinsip-prinsip muamalah seperti larangan riba, kejujuran dalam
informasi, dan keabsahan akad.
Sebagai contoh, ketika seorang pelaku usaha
Muslim berniat menjual produknya di platform digital seperti Tokopedia atau
Shopee, ia harus menetapkan sejak awal bahwa sistem pembayaran harus bebas dari
bunga, seluruh informasi barang harus disampaikan secara jujur dan transparan,
serta akad transaksi harus dilakukan dengan benar menurut syariah. Tanpa
menetapkan batasan ini, sangat mungkin ia masuk dalam kesepakatan yang
mengandung unsur yang tidak halal. Dalam pandangan saya, ketegasan semacam ini
justru menunjukkan profesionalisme dan konsistensi dalam menjalankan bisnis
yang berkah.
Saya juga berpendapat bahwa penting bagi
pelaku usaha untuk mengetahui batas minimum dan maksimum dalam setiap
negosiasi. Misalnya, jika margin keuntungan ideal adalah 25%, maka pelaku usaha
harus menetapkan margin terendah yang masih bisa diterima, sembari
mempertimbangkan biaya produksi dan distribusi. Ini bukan hanya keputusan
teknis, tetapi juga bagian dari perencanaan yang mencerminkan tanggung jawab
dan efisiensi dalam pengelolaan bisnis. Di titik inilah saya melihat bahwa
negosiasi bukan sekadar keterampilan komunikasi, melainkan juga kemampuan
membaca situasi dan menyelaraskan nilai dengan kondisi lapangan.
Salah satu strategi menarik dari Brodow adalah
pentingnya penggunaan keheningan dalam negosiasi. Diam yang tepat, menurutnya,
bisa menjadi alat tekanan yang efektif karena memberi ruang bagi lawan bicara
untuk berpikir ulang dan bahkan memberikan konsesi tambahan. Saya pernah
melihat bagaimana seorang pelaku usaha dengan tenang menolak harga yang terlalu
rendah dari pihak distributor hanya dengan diam dan ekspresi yang netral.
Hasilnya, pihak distributor menaikkan tawarannya tanpa paksaan. Ini menunjukkan
bahwa dalam dunia negosiasi, ketenangan bukan kelemahan, melainkan bentuk
kendali diri yang justru menciptakan posisi tawar lebih tinggi.
Islam sendiri mengajarkan prinsip
kehati-hatian dalam bermuamalah. Dalam Surah Al-Baqarah ayat 275, Allah dengan
tegas menyatakan bahwa jual beli dihalalkan dan riba diharamkan. Ini menjadi
dasar utama dalam semua transaksi bisnis, termasuk dalam ranah digital. Dewan
Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia juga mengeluarkan fatwa No.
146/DSN-MUI/XII/2021 yang memperbolehkan transaksi e-commerce selama memenuhi
rukun dan syarat sah jual beli. Dalam sebuah penelitian oleh Latifah et al.
(2024), dijelaskan bahwa aktivitas jual beli melalui platform digital dapat
dianggap sah selama tidak mengandung unsur gharar, maysir, atau riba dan tetap
menjunjung kejujuran serta keadilan dalam prosesnya. Prinsip-prinsip ini
menjadi dasar kuat bahwa praktik e-commerce bisa sejalan dengan syariah asalkan
dilakukan secara bijak dan sesuai aturan.
Negosiasi dalam prinsip Islam juga menuntut
keberanian untuk menolak jika kesepakatan bertentangan dengan syariat. Konsep walk-away
power sebagaimana dijelaskan oleh Brodow relevan dalam konteks ini. Saya
mengenal seorang pengusaha yang menolak investasi karena skema bagi hasilnya
melibatkan bunga. Meskipun peluang bisnis tampak menguntungkan, ia memilih
mundur demi menjaga komitmennya terhadap nilai-nilai syariah. Keputusan itu
tidak hanya menjaga keberkahan usahanya, tetapi juga meningkatkan reputasi baik
di kalangan konsumennya. Menurut saya, keberanian menolak inilah yang
membedakan pelaku usaha syariah dari praktik konvensional yang hanya
berorientasi pada profit.
Saya pribadi meyakini bahwa sinergi
antara strategi negosiasi modern dan prinsip Islam merupakan pendekatan ideal
dalam menghadapi tantangan e-commerce saat ini. Dengan menguasai teknik-teknik
negosiasi yang ditawarkan oleh Brodow seperti kejelasan tujuan, kekuatan diam,
dan walk-away power, lalu menggabungkannya dengan nilai-nilai syariah seperti
keadilan, tanggung jawab, dan keberkahan, pelaku usaha dapat membangun bisnis
yang berdaya saing tinggi namun tetap konsisten dengan ajaran agama.
Dengan refleksi ini, saya menyimpulkan bahwa
negosiasi dalam e-commerce syariah bukan hanya sebuah proses ekonomi, tetapi
juga cermin dari akhlak dan komitmen spiritual seorang pelaku usaha. Saat nilai
dan strategi berjalan beriringan, maka bisnis bukan hanya tumbuh secara
finansial, tetapi juga berkontribusi terhadap keberlangsungan ekonomi yang
bermoral dan beretika. Itulah wajah ideal dari transformasi digital Islami:
adaptif terhadap perubahan, tapi tetap kokoh pada prinsip.