“Gitu saja kok repot”
ini perkataan Gus Dur (Abdurrahman Wahid) yang sangat populer di masyarakat Indonesia. Menurut
puterinya, Yenny Wahid, kalimat sederhana tersebut dari Fiqih, yakni kosa kata
arab Yasir Wa La Tuasir artinya
permudah jangan dipersulit. Saat Gus Dur menjabat presiden RI dikenal pandai
berdiplomasi dengan humor.
Mungkin pembaca bertanya-tanya, di mana letak kegilaannya
Gus Dur? Ambil nafas dulu ya, mari simak kisah kegilaannya di bawah ini..
Gus Dur merupakan cucu KH. Hasyim Asy’ari, pendiri NU dan
pesantren Tebuireng Jatim, yang memiliki perpustakaan pribadi yang besar. Kiayi
Hasyim merupakan sosok yang gemar membeli buku, membaca, dan menulisnya
kembali. Kebiasaan membaca menurun kepada anaknya, Wahid Hasyim (ayah Gus Dur).
Ayah Gus Dur sangat mempengaruhinya dalam kegilaan membaca, Gus Dur sendiri pecandu
buku. Ia jarang keluar keluar tanpa membawa sebuah buku. Jika tidak ada sesuatu
yang ditemukannya, ia diizinkan untuk mencarinya di toko-toko jualan buku bekas
di Jakarta. Ayah Gus Dur meninggal dunia pada bulan April 1953. Ibunya lah yang
berjuang sendirian untuk membesarkan anak-anaknya.
Gus Dur pernah tidak naik kelas pada tahun 1954, ia harus
mengulang kelas satu SMEP karena gagal dalam ujian. Kegagalan ini disebabkan
seringnya ia menonton pertandingan sepak bola hingga tidak punya waktu untuk
mengerjakan pekerjaan rumahnya. Ia pandai, walaupun pada saat yang sama
bermalas-malasan. Pelajaran-pelajaran di kelasnya ia rasakan tidak cukup
menantang. Walaupun sedih ditinggalkan ayahnya, ia tidak pernah menunjukkan
kesedihannya. Ia habiskan sebagian besar waktunya untuk menonton sepak bola dan
membaca buku.
Gusdur dikirim ke Yogyakarta untuk melanjutkan SMPnya, dan
tinggal di rumah teman ayahnya bernama Kiayi Junaidi seorang anggota Majelis
Tarjih Muhammadiyah. Tiga kali dalam seminggu pergi belajar ke pesantren
al-Munawwir di Krapyak. Tahun 1957 lulus dari SMEP di Yogyakarta, ia mulai
mengikuti pelajaran secara penuh di pesantren. Ia bergabung dengan pesantren
Tegalrejo di Magelang, di bawah asuhan Kiayi Khudori. Pada saat yang sama
belajar juga paro waktu di pesantren Denanyar, Jombang, di bawah asuhan
kakeknya dari pihak ibu, Kiayi Bisri Syansuri. Ia juga belajar di pesantren
Tambak beras di bawah bimbingan Kiayi Wahab Hasbullah. Ia dapat membuktikan
sebagai siswa yang cemerlang dan mempunyai ingatan yang kuat.
Ketika kuliah di al-Azhar Kairo, selain menghabiskan
waktunya menonton film-film Eropa, ia sering berada di perpustakaan Kairo,
Universitas Amerika, dan Prancis. Pada saat kuliah di Bagdad, ia tidak terlepas
dari perpustakaan. Selain belajar tentang ilmu keislaman, ia juga mempunyai minat yang besar pada teori sosial Barat liberal.
Hal yang unik darinya, ketika masih kuliah di Mesir, secara
pemikiran ia berseberangan dengan Sayyid Quthb (pemikir Ikhwanul Muslimin), ia
sangat muak dengan kebrutalan rezim Nasser yang menindas para aktivis Ikhwanul
Muslimin terutama Sayyid Quthb. Ia memutuskan untuk bergabung dengan ratusan
mahasiswa untuk berdoa di depan penjara Sayyid Quthb pada hari digantung
matinya oleh rezim Nasser.
Memang Gus Dur itu presiden gila, ya gila karena banyak membaca
buku. Karena saking gilanya membaca buku, ia menjadi salah satu tokoh besar umat
Islam yang pernah menjabat ketum PBNU dan Presiden RI yang ke empat.
(tulisan di atas diringkas dari buku berjudul MEREKA BESAR
KARENA MEMBACA karya Suherman)
Apabila banyak kesalahan data, mohon saran masukannya. Terima
kasih banyak
Selesai di kaki gunung Gede Pangrango.