Panglima TNI, Pion Skenario Presiden?

Beberapa orang risau terkait munculnya analisis dari kalangan yang selama ini memihak umat. Bukan sosok orang yang menulis analisis itu sebenarnya yang dicemasi, melainkan soal kebenaran ke depan andaikan terbukti analisis itu. Di WhatsApp beberapa analisis yang mengajak umat agar kritis pada gerak-gerik Panglima TNI bermunculan. Pesan utamanya: agar kecintaan selama ini kepada Panglima TNI dikendurkan untuk menjadi sikap waspada.

Inti dari pelbagai analisis dari orang itu (sebagiannya saya kenal kritikus praktik diskursif penguasa sekarang), akrobat Panglima TNI sepanjang 2017 ini hanya bagian skenario Presiden memasang bakal penemannya di Pilpres 2019. Skenarionya, Panglima TNI menjadi pendulang simpati dan suara kalangan pemilih muslimin yang masih resisten terhadap arah kebijakan Presiden. Agar tidak tampak di depan publik, khususnya relawan fanatik pendukungnya, Presiden membuat dua kaki yang terkesan dibiarkan saling bertabrakan.

Modus manajemen konfliknya di depan umat Islam adalah Presiden memunculkan dualisme “good cop - bad cop”, dengan Panglima TNI sebagai protagonis sementara Kapolri berkedudukan sebagai anatagonis. Kesan Panglima TNI dianaktirikan (adapun Kapolri dianakemaskan oleh Presiden) menguatkan koneksi simpati umat, dan sebaliknya memunculkan kekecewaan kepada Presiden (juga Kapolri).
Terhadap asumsi skenario seperti itu, ada beberapa pertanyaan kritis mesti diajukan:
1. Apakah kepribadian Panglima TNI sosok pragmatis-oportunis dalam memandang kekuasaan?
2. Apakah sosok Presiden sudah sedemikian berintegritas hingga Panglima TNI pun “tunduk” pada karismanya? Bukankah ada pertaruhan jiwa korps yang dipertaruhkan kelak saat Panglima TNI pensiun di depan anak buah dan jajarannya?
3. Apakah Panglima TNI rela “dipionkan” di tengah jiwa resah kesatuan dan anak buahnya yang ditepikan pemerintah di bawah pesta penganakemasan Polri?
4. Apakah memainkan taktik dua kaki itu inisiatif Presiden dalam memecah konsentrasi lawan, sebagaimana sering dipandang dilakukannya dalam menjerat PPP dan Partai Golkar?
5. Bilapun bukan murni dari Presiden, tentu dari tim penasihat dan pemikir di sekitarnya. Di sini masih ada faktor Luhut B Panjaitan. Pertanyaannya, sebagai sosok militer, apakah determinasi LBP begitu linier otomatis mampu menaklukkan Panglima TNI sekarang—sebagai junior jauhnya? Skenario di atas, mengasumsikan—secara tersirat—“keluguan” Panglima TNI untuk tidak mengerti dirinya dipionkan Presiden lewat taktik bikinan LBP.
6. Memainkan taktik dua kaki memerlukan kecerdasan, kesabaran, dan konsolidasi pihak Presiden sedemikan rapi dan kokoh. Apakah ini sudah terjadi? Bukankah taktik “berpura-pura” (dramaturgi Presiden) tanpa sepengetahuan tim relawan dan barisan penasihat memiliki risiko tersendiri di tengah stabilnya gelombang serangan kalangan pengkritik penguasa?
7. Ditarik dengan diuji sementara ini sebagai pion, apakah Panglima TNI sudah mengukur diri bakal menyiapkan respons efektif agar tidak terjadi model pembatasan atau pembungkaman wakil presiden sebagaimana dialami Wapres H. M. Jusuf Kalla sekarang?
8. Sebagian kita mestinya tak patut lupa, bila skenario di atas dirancang tim penasihat, jangan lupa latar belakang mereka. Sebagian tim inti masih berwarna apa yang saya sebut “minda Moerdani”. Para didikan dan turunan atau pengagum mantan mantan Pangab ABRI Jenderal Leonardus Benny Moerdani, sejauh pengamatan saya, bukan bertipe penyuka taktik menjinakkan lawan potensial seperti skenario di atas. Bila iya, tentu ada perubahan berarti di pikiran mereka, dan itu mestinya terbilang strategi anyar (konsekuensinya, masih mungkin untuk bubar di tengah jalan karena terbilang hijau diujikan di lapangan).
9. Tergelitik saya pada foto terlampir, yang bersumberkan dari laman resmi Kantor Staf Presiden, dari berita Rapat Pimpinan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Perwira Tinggi Polri di Gedung Gatot Soebroto, Markas Besar (Mabes) TNI Cilangkap, Jakarta Timur, pada Senin, 16 Januari 2017. Foto yang berbeda bahasa tubuh antara Panglima TNI dan Kapolri tersebut diunggah di laman institusi pemerintahan. Bagi pencinta Panglima TNI, gestur tersebut sebentuk kewibawaan, sementara Kapolri sebaliknya.
Di lain pihak, bagi pendukung pemerintahan dan belakangan acap nyinyir pada akrobat Panglima TNI, gestur yang sama diartikan “penghinaan” pada Presiden. Apa maknanya, entah disengaja atau tidak, tim KSP “menikmati” perbedaan tafsiran itu. Repotnya, tafsiran itu “dipelihara” sebagai modus menginferiorkan salah satu petinggi tadi atas yang lain. Bila demikian, jajaran di KSP dengan kendali di bawah Teten Masduki pun patut diangkat untuk disebut dalam konfigurasi yang “memainkan” bisikan dramaturgi (bila benar adanya) kepada Presiden.
* * *
Sementara ini, 9 pertanyaan di atas selagi belum tuntas terjawab, memandang Panglima TNI sebagai pion Presiden masihlah hipotesis tak matang. Spekulasi soal pemionan itu ini sekadar warning agar muslimin tidak dikelabui sosok "baru" yang mendadak tampil (seolah paling) heroik. Kiranya, kecintaan umat pada sosok Panglima TNI wajar ketika tiadanya pejabat tinggi yang berani menjadi bamper dari aspirasi mereka. Tinggal kecintaan itu jangan sampai membutakan muslimin.
Di lain sudut, pengguliran Panglima TNI sebagai kemungkinan pion juga mesti diantisipasi kehadirannya justru dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk mengetes umat. Seakan-akan soal pionnya Pangglima TNI itu benar adanya. Dengan demikian, kecintaan (amat) umat berubah menjadi curiga. Jadilah Panglima TNI sudah ditinggalkan umat, berikutnya tim sukses Presiden menepikan calon penantang potensial. Menepikan bukan untuk kemudian direkrut, melainkan untuk dikotakkan.
Foto: Dokumen laman resmi Kantor Staf Presiden

*Judul, gambar, dan konten diambil dari akun fb bersangkutan

0/Post a Comment/Comments