Riba, Bunga, Margin, dan Bagi Hasil (Bahan Diskusi Kuliah Muamalah/Ekonomi Islam)

Pengharaman riba sudah disepakati semua ulama, karena tercantum secara tersurat dalam al-Qur’an dan Hadits. Tetapi mempersamakan riba dengan bunga bank, lalu dengan margin bank syari’ah adalah perdebatan khas ulama abad modern, sejak akhir abad kesembilan belas Masehi untuk kasus bung bank, dan sejak tahun 1990an untuk kasus margin bank syari’ah. Sekalipun para ulama dan ekonom “Perbankan Syari’ah” telah sepakat dengan pengharaman bunga bank karena dianggap riba, dan membolehkan margin karena bukan riba, diskusi ketiga hal itu masih terus bergulir dalam disiplin ilmu masail fiqhiyah untuk isu-isu ekonomi kontemporer.
(sumber : matahati.blogdetik.com)

Riba dalam berbagai tafsir klasik diartikan sebagai pertambahan nilai hutang yang ditambahkan ketika penghutang tidak mampu bayar saat jatuh tempo, dua atau tiga kali lipat dari pokok hutang tergantung berapa lama waktu tambah yang diperlukan. Atau petani yang sudah kontrak menerima bayaran untuk menyerahkan hasil panennya, ketika pas panen tidak sanggup atau tidak berhasil, maka harus membayar dua atau tiga kali lipat dari nilai kontrak semula. Ini yang disebut sebagai riba jahiliyah.

Dalam teks-teks hadits dan diskusi fiqh, pembahasan riba lebih kompleks lagi, tidak hanya hutang piutang, tetapi juga pertukaran barang (barter beras misalnya yang beda takaran), dan bahkan mengambil manfaat apapun (seperti meminta tumpangan kepada penghutang), adalah dianggap riba. Diskusi fiqh juga membahas mengenai trik jual beli, yang sesungguhnya ingin memuluskan kontrak hutang piutang dengan memberi nilai tambah dari pokok hutang. Trik hutang ini biasa disebut sebagai “bai’ al-inah”. Trik ini juga bagi banyak ulama dianggap riba yang diharamkan al-Qur’an. Setidaknya ada dua jenis riba dalam diskusi fiqh berbasis Hadits, riba al-fadhl (nilai tambah akibat pertukaran atau jual beli) dan riba an-nasi’ah (nilai tambah akibat pertambahan waktu).
Beberapa ulama seperti Syekh Muhammad Abduh, Rashid Rida, dan ahli fiqh kontemporer Ma’rud ad-Dawalibi berpendapat bahwa bunga bank konvensional bukan riba, karena sifatnya yang institutif, terkontrol oleh negara, dan demi kemaslahatan bergulirnya keuangan publik (misalnya untuk menjaga inflasi). Secara sistem dan tehnis, bunga bank sama sekali berbeda dari praktik riba Jahiliyah yang zalim dan memeras yang diharamkan al-Qur’an. Hal yang serupa juga dinyatakan oleh A. Hasan (Pendiri Persis), Muhammad Hatta, Syafruddin Prawiranegara, dan Syaikhul Hadi Purnomo, juga beberapa ulama dan cendekiawan muslim Indonesia.
Bagi para ulama dan ekonom “Perbankan Syari’ah”, bunga bank konvensional adalah contoh nyata riba pada abad modern. Karena unsur utama riba adalah pertambahan nilai pada pokok hutang, berapapun nilai tambahnya. Dan ini nyata terjadi dalam setiap transaksi perbankan konvensional. Karena urat nadi perbankan konvensional, sesungguhnya, adalah bunga. Karena itu, pindah ke bank syari’ah adalah niscaya dan wajib. Lebih dari itu, disiplin ekonomi syari’ah mengajukan thesis bahwa uang dalam Islam adalah alat tukar, bukan komoditas, sehingga tidak boleh ada nilai tambah yang diakibatkan pertukaran, atau hutang piutang. Nilai tambah hanya diperbolehkan melalui perdagangan barang (bukan pertukaran uang atau hutang piutang), atau kerjasama investasi dimana tambahan itu merupakan hasil riil (jika berhasil) dari aktivitas investasi tersebut.
Justru dengan thesis ini, para pemikir seperti Zaim Saidi dan kawan-kawan mengkritisi bahwa perbankan syari’ah pada kenyataannya juga mempraktekkan riba yang diharamkan Islam. Karena kerja-kerja perbankan syari’ah sejatinya adalah pengelolaan transaksi keuangan antara orang yang memiliki uang dan orang yang memerlukan uang dan mengambil untang (nilai tambah) dari alur kas di antara mereka. Apa yang diasumsikan sebagai jual beli (murabahah) atau kerjasama investasi (mudarabah) hanya kamuflase di atas kertas, untuk menutupi praktik yang sesungguhnya, yaitu memperoleh nilai tambah dari transaksi keuangan antar nasabah. Bagi sebagian ulama tradisional, praktik perbankan syari’ah, terutama murabahan dan ijarah, untuk mencari margin atau untung, adalah tidak lebih dari trik bai’ al-inah (jual beli yang sesungguhnya hutang piutang) yang diharamkan Islam.
Ini tentu saja tantangan bagi para pegiat fiqh mu’amalah dan ekonomi syari’ah untuk mewujudkan nilai-nilai Islam yang fundamental dalam kancah dinamika keuangan global. Sebagai bahan diskusi, semua yang ditawarkan di atas adalah ijtihad. Yang diperlukan adalah pendalaman, baik dari sisi argumentasi deduktif, maupun evaluasi induktif untuk diskusi lanjutan. Misalnya: apakah ekonomi syari’ah hanya terus berkutat pada “pengisalaman” sektor keuangan melulu (seperti asuransi, obligasi, pasar uang dan pasar saham) atau mendorong agar sektor keuangan benar-benar masuk dalam sektor riil? Apakah ia juga hanya berkutat pada pertumbuhan sektor keuangan semata tanpa memastikan fungsi sosialnya untuk mengentaskan kemiskinan dan memeratakan pendapatan? Wallahu a’lam.

* Sumber : Fb

0/Post a Comment/Comments