Dulu Ninja, Sekarang Orang Gila yang Mengincar Para Ulama (Jangan Lupakan Sejarah)

Sampai saat ini pun di berbagai media termasuk medsos masih ramai membicarakan penyerangan terhadap para ulama oleh orang Gila. Menurut keterangan yang dilansir okezone. com 22/218, polisi telah mendapatkan laporan 21 aksi serangan terhadap para pemuka agama. Sebanyak 15 diantaranya diketahui bahwa serangan itu dilakukan oleh orang dengan gangguan jiwa (ODGJ).
(Hanya ilutrasi/sumber: detikNews)

Dalam artikel ini, admin akan menampilkan tulisan Hanibal Wijayanta tentang serangan terhadap para Ulama oleh orang gila saat ini dan pada waktu dulu yang dilakukan oleh para Ninja. Tulisannya lumayan panjang. Silahkan baca dan nikmati tulisan beliau ini.


OPERASI NAGA HIJAU II?

Oleh Hanibal Wijayanta

Dua pekan belakangan ini, isu penyerangan dan pembunuhan beberapa ustadz dan santri di Jawa Barat beredar kencang. Tanggal 27 Januari lalu, KH Umar Bashri, Pengasuh Pesantren Al Hidayah, Cicalengka, Kabupaten Bandung, dianiaya seseorang hingga luka parah, usai shalat Subuh di dalam masjid. Pelaku belakangan tertangkap, dan sempat disebut mengalami gangguan kejiwaan. Namun kepada seorang kawan, seorang perwira tinggi polisi berbintang tiga mensinyalir bahwa lelaki itu pernah menjadi anggota sebuah Ormas tertentu.

Kamis Subuh, 1 Februari lalu, giliran Komandan Brigade Persatuan Islam, Ustadz R Prawoto diserang dan dianiaya hingga tewas. Pelakunya, seorang preman tetangganya sendiri, yang tersinggung setelah ditegur gara-gara merusak rumah sang Ustadz. Sempat disebut-sebut bahwa si pelaku mengalami gangguan jiwa. Namun, mengingat korban dikenal sebagai pelatih dan jago silat, masyarakat meragukan tingkat kewarasan pelaku.

Maka isu tentang perburuan para ulama dan santri pun merebak kencang. Kesiapsiagaan ditingkatkan. Apalagi dalam beberapa hari terakhir terjadi beberapa penangkapan orang-orang yang mencurigakan, yang konon hendak mencari ustadz-ustadz tertentu. Anehnya, lagi-lagi ketika berhasil ditangkap, orang-orang aneh itu ditengarai mengalami gangguan kejiwaan. Maka, ingatan masyarakat pun melayang pada peristiwa pembunuhan dukun santet di Banyuwangi, yang akhirnya menyasar ke para ustadz di Jawa Timur pasca runtuhnya Orde Baru, di paruh kedua 1998.

Saat itu, saya masih menjadi seorang redaktur muda di Majalah Forum Keadilan. Saya diperintahkan Koordinator Reporter, Pak Haji Hatmantho, dan tentu saja atas persetujuan Pemimpin Redaksi kami, Bang Karni Ilyas, untuk meliput peristiwa mencekam di Banyuwangi itu, pada awal Oktober 1998. Ketika itu, di Banyuwangi, setiap malam semua lelaki meronda di perempatan-perempatan jalan yang dibarikade, sambil membawa clurit dan senjata tajam lainnya untuk bersiaga. Saya sampai kehabisan stok clurit saat mencari di pasar Banyuwangi, untuk suvenir saat akan pulang liputan. Jangan membayangkan meliput peristiwa itu seperti meliput di jaman now. Soal teknologi jelas sangat jauh berbeda. Jaman itu internet belum sampai di pelosok tanah air, termasuk di Banyuwangi. Jadi untuk mencari data kita harus bertemu dan melobby narasumber langsung, sementara narasumber sangat pelit berbagi info.

Suasana politik dan keamanan saat itu pun sangat berbeda. Maklumlah, kekuatan Orde Baru masih sangat terasa. Jadi kami masih harus melipir saat meliput maupun menuliskan laporan ini. Meskipun majalah kami dikenal sebagai majalah yang paling galak ketika itu, namun kami masih belum berani mengungkapkan beberapa hal yang peka dengan langsung dan keras. Kami pun jadi terbiasa mengungkapkan fakta dari rangkaian informasi yang tersirat. Pembaca cerdaslah yang akan mendapatkan kesimpulan seperti yang kami maksud. Padahal, dalam liputan ini, saya maupun tim peliput yang lain --Mas Ivan Haris Prikurnia, Redaktur Pelaksana Nasional Majalah Forum Keadilan, dan Mas Mochamad Toha menemukan tiga pola besar pelaku pembunuhan berantai ini.

Pola pertama, pelaku adalah orang-orang yang dendam terhadap dukun santet. Korbannya benar-benar dukun santet yang memang banyak di Banyuwangi. Mereka umumnya lebih gampang diketahui pelakunya, dan gampang mengakui perbuatan mereka. Mereka biasanya juga langsung diproses secara hukum dengan cepat. Saya mewawancara beberapa pelaku yang rata-rata polos dan cepat mengakui saat ditanya apa yang mereka lakukan. Pola ini terjadi di bulan-bulan awal peristiwa.
Pola kedua, orang-orang yang membunuh karena dendam masa lampau, terutama berkaitan dengan peristiwa 1965. Ini bukan isapan jempol, karena Banyuwangi adalah bekas kantong PKI dan punya sejarah panjang konflik antara PKI dengan Ansor di tahun 1965. Malapetaka terjadi pada 18 Oktober 1965. Ketika itu 65 orang anggota GP Ansor dari Muncar pimpinan Salimin naik sepeda menuju Kelurahan Yosomulyo, Kecamatan Gambiran. “Mereka ingin menyerbu basis PKI itu, tapi sayang mereka buta taktik dan strategi,” ujar Kiai Muchaidlori Iskandar bekas Ketua GP Ansor Banyuwangi Selatan saat saya wawancarai.

Menurut kabar, di tengah hutan Cemethuk, mereka dihadang Pemuda Rakyat --organisasi pemuda Onderbow PKI-- . Di tempat itulah para anggota Anshor itu dibantai lalu dikubur dalam 3 lubang, masing-masing berisi 42, 11 dan 9 mayat. Mendengar kawan-kawan mereka dibantai, kemarahan Pemuda Anshor pun mendidih. Bersama rakyat yang anti PKI dari berbagai Ormas dan Orsospol, mereka menggalang perlawanan bersenjata. Sejak itu gelombang aksi pembalasan berkobar di seluruh Banyuwangi. Basis-basis PKI di berbagai kecamatan seperti Tegaldlimo, Gambiran, dan Glagah pun diserbu. Dari peristiwa Cemethuk, pengganyangan PKI menjalar ke Jember, Bondowoso dan daerah-daerah lainnya hingga tahun-tahun 66-an.

Menurut laporan Tim Pencari Fakta KOTI bentukan Presiden Soekarno, korban akibat peristiwa penganyangan PKI di Banyuwangi mencapai angka 2.000 orang. Jumlah ini konon terbanyak di Jawa Timur. Tapi menurut laporan tim yang diketuai Menteri Dalam Negeri Mayjen TNI Dr Soemarno Sastroatmodjo ini, jumlah itu pun terkesan dikecil-kecilkan. "Wong jumlahnya sak arat-arat (banyak sekali)," ujar Kiai Muchaidlori. Diperkirakan angka sebenarnya mencapai puluhan ribu.

Untuk Pola Kedua ini, mereka juga cukup mudah disidik. Mereka lebih gampang mengaku. Korban dan sasarannya pun jelas: tokoh NU atau bekas aktifis Gerakan Pemuda Ansor atau bekas aktifis gerakan Islam. Tapi umumnya mereka ada yang mendorong atau membiayai. Tokoh di belakang mereka ini yang agak sulit untuk ditemukan. Kami menduga memang ada orang-orang tertentu yang memanfaatkan sentimen soal ini. Siapa mereka? Kita hanya bisa menduga-duga.

Pola Ketiga, pelaku adalah aparat, atau orang-orang yang berpostur dan bertampang mirip aparat. Pelaku umumnya sangat sigap, dan tampak sangat terlatih, mampu meloloskan diri dari kejaran warga, dan umumnya sulit ditangkap. Kalaupun ada satu dua yang tertangkap, awalnya mereka akan bertingkah seperti orang gila. Tapi belakangan ketika berhasil ditangkap massa dan diinterograsi, mereka mengaku sebagai aparat. Belakangan, mereka ini tak jelas proses hukumnya. Apa motif mereka?

Kira-kira sebulan setelah liputan ke Banyuwangi ini, saya mewawancarai Ketua Umum PB NU, KH Abdurrahman Wahid di Gedung PB NU, jalan Kramat Raya. Kalau tidak salah saya ditemani --saat itu-- reporter saya Ahmad Usmar Almarwan. Dalam wawancara sejak Zhuhur hingga Ashar itu, kami terus mengulik informasi dari Gus Dur yang tetap duduk di kursinya sambil terkantuk-kantuk. Ketika kami hendak pamit, tiba-tiba Gus Dur tergeragap bangun, dan mengatakan bahwa peristiwa yang terjadi di Jawa Timur itu adalah Operasi Naga Hijau.

Melihat intensitas peristiwa di Jawa Barat belakangan ini, kita masih belum bisa memastikan, apakah peristiwa terakhir ini adalah salinan peristiwa di masa lampau. Sebab, korban pembunuhan di Banyuwangi yang kemudian menjalar di berbagai tempat di Jawa Timur saat itu, benar-benar luar biasa. Reaksi balik masyarakat yang terlanjur ketakutan pun menjadi sangat mengerikan, terutama ketika orang-orang yang diduga pelaku dibantai dan bahkan diseret di sepanjang jalan. Kita tentu berharap, agar peristiwa itu tidak berulang kembali.

Nah, apakah anda berminat membaca tulisan saya, Tulisan Utama Forum Khusus, di Majalah Forum Keadilan edisi 15/Minggu II Oktober 1998 ini? Silakan...
====
Mencari Dalang Banjir Darah di Tapal Kuda

Bermula dari isu pembersihan dukun santet, pembunuhan merajalela di 13 wilayah di Jawa dan Madura. Belakangan, guru ngaji, ustadz dan kiai pun menjadi korban. Ada oknum aparat yang terlibat, tapi banyak yang meyakini pola tersebut khas PKI.

Banting harga adalah salah satu trik kuno untuk mengundang pembeli. Tapi jika nyawa orang diobral murah, kengerianlah yang muncul. Hal itulah yang terjadi di Banyuwangi dan beberapa daerah pesisiran Jawa dan Madura belakangan ini. Nyawa orang hanya bernilai Rp 9 ribu rupiah, seharga sebotol minuman keras, ongkos bensin, atau bahkan sebungkus rokok.

Tak ayal, kecemasan pun mencekam. Begitu malam tiba, kampung sepi, jalanan dibarikade drum-drum dan kawat berduri, sementara para peronda bersiaga dengan senjata di tangan. Di beberapa tempat, salat jamaah dilakukan mirip situasi perang. Satu kelompok shalat, sementara yang lain berjaga-jaga. Kecurigaan terhadap orang asing pun menjadi-jadi. Soalnya, hingga akhir minggu ini ratusan orang telah tewas dibantai massa bertopeng ala ninja.

Semula tersiar kabar bahwa para korban pembantaian adalah dukun santet. "Karena itu awalnya masyarakat tak terlalu ambil pusing," kata Ketua MUI Banyuwangi KH Ali Muchaidlori. Selain dukun santet dianggap penyakit masyarakat, pembunuhan dukun santet memang sering terjadi di wilayah ini. Sejak 7 tahun belakangan, belasan orang mati dikeroyok massa karena dituduh sebagai dukun santet.

Namun, ketika rentetan pembunuhan telah menyimpang dari batas kewajaran, masyarakat mulai resah. Aksi pembunuhan yang semula hanya terjadi di tiga wilayah basis dukun santet, masing-masing kecamatan Rogojampi, Kabat dan Glagah, akhirnya merembet ke kecamatan lain. "Masyarakat mulai was-was," kata Kiai Muchaidlori.

Bulan Agustus-September, pembunuhan meningkat tajam. Dari hanya 5 kasus pada bulan Juli, melonjak menjadi 47 kasus pada bulan Agustus dan 80 kasus pada bulan September. Belakangan diketahui justru para guru ngaji, ustadz dan kiai menjadi korban. "Empat puluh persen dari korban adalah guru ngaji dan kiai," kata Ketua PC NU Banyuwangi, KH Abdurrahman Hassan. Sejak itu siskamling digalakkan.

Tapi aksi tak berhenti sampai di situ. Masih pada bulan September beredar selebaran Gantung (Gerakan Anti Tenung). "Kalau saudara ingin selamat, sebaiknya kamu jangan menghalang-halangi saya, jangan menyuruh orang-orang baik berjaga malam menjaga saya, melindungi orang sihir," begitu bunyi selebaran itu.

Lalu ancaman lewat telefon bermunculan. Secara fisik, kelompok ninja pun mulai beraksi. Kini sasarannya para pengurus dan kiai NU, mubaligh dari ormas Islam lainnya, dan tokoh masyarakat. Gara-gara sering disatroni ninja, pengajian di beberapa pesantren terpaksa diliburkan. "Saya termasuk yang diancam," kata Kiai Abdurrahman. Beberapa kiai dan santri sempat pula berduel dengan kawanan ninja.

Meskipun demikian, aksi teror di bumi Blambangan tetap meningkat. Bahkan, menginjak bulan Oktober, 28 orang telah menjadi korban, meskipun bulan baru berjalan 10 hari. Namun, dalam kurun terakhir ini, korban yang terbunuh sudah beragam. Selain guru ngaji, petani, tukang ngarit, dan sais dokar juga menjadi korban.

Dari Banyuwangi aksi pembunuhan menular ke wilayah tapal kuda lainnya, seperti Jember, Situbondo, Bondowoso, Lumajang, Probolinggo, Pasuruhan, bahkan menyeberang ke Madura dan meloncat ke Demak dan Serang. "Kalau malam jangan pakai pakaian hitam. Saya khawatir akan terjadi salah faham dengan warga yang berjaga-jaga," pesan KH Mushoddiq Ali Fikri, pengasuh Pondok Pesantren Riyadhush-Sholihin, Jember. Akhir minggu ini, 17 orang menjadi korban isu dukun santet. "Padahal sebagian korban adalah guru ngaji," ujarnya.

Aksi teror juga merambah kampung dan persawahan di Situbondo, bahkan kadang terjadi pada siang hari. "Siang hari orang sudah takut ke sawah," kata KH Hafidh Thohir. Semua gara-gara dibacoknya seseorang di sawah. Jumlah korban meninggal di Sumenep mencapai angka 26 orang. Tragisnya, seorang korban dibunuh ketika sedang shalat. Sedangkan di Demak, korban dibunuh saat membacakan iqamat sebelum shalat.

Para Kiai beken di Jawa Timur pun tak luput dari sasaran teror. Rais Syuriah NU Jawa Timur KH Imron Hamzah, Ketua PW NU KH Hasyim Muzadi, KH Wahid Zaini Pengasuh PP Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo mengalami hal serupa. Di Jombang, KH Yusuf Hasyim maupun KH Azis Masyhuri juga diteror lewat telefon. "Sudah banyak Kiai yang diteror dengan ancaman mau dibunuh dan didatangi langsung," ujar KH M Choiron Sjakur dari PP Wahid Hasyim, Bangil, Pasuruhan.
Karena itu para ulama segera merapatkan barisan. Ulama-ulama NU menggelar silaturahmi khusus membahas masalah ini di Pondok Pesantren Langitan, Tuban, 14 Oktober lalu. Demikian pula Muhammadiyah. Lalu bersama MUI Jawa Timur, NU dan Muhammadiyah mengeluarkan seruan agar para pelaku menghentikan aksinya.

Tapi yang paling disesalkan adalah soal antisipasi aparat. "Disengaja atau tidak, tapi sudah sangat terlambat sekali," kata Kiai Abdurrahman. Menurutnya, aparat baru turun tangan ketika jumlah korban mencapai 70 orang. Ustadz Umar Suryantara, mubaligh kondang Banyuwangi membandingkan keterlambatan ini dengan saat penjarahan terhadap kebun dan toko beberapa waktu lalu yang begitu cepat. "Apa nyawa orang Islam lebih murah dari pada orang Cina dan sembako?" ujarnya.

Tapi tentu saja aparat keamanan menolak tuduhan itu. "Semua itu karena pada saat yang sama terjadi serangkaian kejadian di berbagai kota yang butuh kedatangan ABRI," kata Pangdam V Brawijaya, Mayjen TNI Djoko Subroto. "Kita tak perlu saling menyalahkan," kata Kapolda Mayjen Pol Drs M Dayat menambahkan.

Saat hari ABRI, Polda dan Kodam menurunkan 1 SSK Brimob Polda Jatim dan 1 SSK satuan elit Kodam Brawijaya. Satuan crime cruiser pun diturunkan. Sejak itu para pelaku pengeroyokan dukun santet makin banyak yang tertangkap. Dari interograsi korban diketahui ada pelaku pengeroyokan yang dibayar Rp 9 ribu hingga satu juta. Tapi sayang, korban sudah terlanjur banyak dan menyebar ke mana-mana.

Belakangan tuduhan miring tertuju ke aparat. Soalnya, dari beberapa pelaku yang tertangkap, beberapa anggota ABRI pun terlibat. Misalnya Serka Slamet Riyadi babinsa Koramil Glagah, Serka Kukuh dan Serda Mahmud dari Koramil Rogojampi, Sertu Saring dari Muncar dan Serka CPM Sugito, anggota Subdenpom Banyuwangi.

Tapi Pangdam membantah keterlibatan itu. Ia hanya mengakui dua anak buahnya yang diperiksa, itupun karena tersangkutnya anak mereka dalam pembunuhan. Padahal, menurut sumber FORUM, selain lima orang tadi, ada dua perwira pertama Angkatan Darat yang terlibat. Masing-masing Lettu TNI Moch Hamse dan Letda TNI Nyoman Manis. "Mereka dipemeriksa Pom Korem Jember," kata sumber tadi.

Pemda Banyuwangi tak luput dari tudingan. Soalnya belakangan diketahui ada radiogram Bupati Banyuwangi nomor 450/1125.807.489.028/1998, 17 September lalu, kepada seluruh Camat se Kabupaten Banyuwangi. Radiogram itu berisi perintah untuk menginventarisasi orang-orang yang dicurigai sebagai tukang sihir di tempat masing-masing. Masyarakat menduga Bupatilah dalang rangkaian pembunuhan itu.

Bupati Turyono tentu saja berkilah. Ia justru berdalih bahwa inventarisasi itu merupakan upaya pencegahan pembunuhan. Soalnya radiogram itu beredar ketika pembunuhan-pembunuhan itu sudah terjadi. "Dengan pendataan itu, kami bermaksud untuk memindahkan mereka ke tempat lain," ujarnya.
Namun, data itu konon bocor ke tangan orang lain. "Daftar itu dimanfaatkan pihak-pihak tertentu untuk memboncengi," ujar Kiai Abdurrahman. Soalnya nama-nama tambahan yang dikenal bukan sebagai dukun santet pun masuk dalam daftar itu. Di Kecamatan Glagah misalnya, semula daftar itu berisi 4 orang, lalu membengkak menjadi 26 orang. Daftar ini pula yang kemudian menjadi acuan para ninja. Tapi siapa pihak-pihak tertentu yang berani memboncengi daftar inventerisasi Pemda?
Bagi para kiai di Jawa Timur, sosok dalang sebenarnya sudah cukup jelas. Dari pola serta teknik yang dilakukan, mereka menengarai keterlibatan eks PKI dalam kasus ini. "Secara fisik, mereka sudah hancur, tapi secara ideologis mereka masih ada," Kata Rais Syuriah PB NU KH Ma'ruf Amien. Pendapat Kiai Ma'ruf dibenarkan Kiai Muchaidlori. "Gerakan mereka sudah mirip gerakan menjelang G-30-S/PKI," katanya.

Meskipun menemukan indikasi keterlibatan eks PKI dalam rentetan geger Banyuwangi, namun anggota Komnas HAM, Mayjen (Purn) Koesparmono Irsan mengaku masih belum bisa menyimpulkan mengapa mereka melakukan itu. "Saya tak tahu apa hal itu karena ke-PKI-annya, karena dendam, atau karena upah," ujarnya.

Namun dugaan keterlibatan eks PKI tampaknya cukup beralasan. Soalnya seusai G 30 S/PKI, Banyuwangi yang dulu dikenal sebagai basis PKI ke dua setelah Blitar pernah menjadi ladang pembunuhan orang-orang PKI oleh GP Anshor. Bukan tak mungkin dengan alasan dendam, mereka turut andil, mengingat belakangan yang terkena sasaran justru para kiai NU dan guru ngaji yang semula tokoh Anshor.

Dari beberapa pelaku yang berhasil ditangkap terdapat pula beberapa nama bekas tahanan politik PKI. Misalnya seorang ninja yang ditangkap di Kecamatan Cluring ketika hendak membunuh KH Ahmad Burhan. "Ketika ditanya ia mengaku suruhan orang eks PKI Banyuwangi," kata Kiai Abdurrahman.
Dalam peristiwa pembakaran di Songgon dan pembunuhan di Gambiran, dua orang eks PKI bernama Kumpul dan Ponijan pun terlibat. Komnas HAM pun menemukan fakta ini. Di Jember, keterlibatan eks PKI terbukti dengan tertangkapnya Yakob. Menurut Pangdam, Yakob masih dikenai wajib lapor. "Ia selalu terlibat dalam beberapa kasus lokal semacam penjarahan dan demo-demo," ujar Pangdam.
Wahyudi, Sekretaris Cabang Pagar Nusa Banyuwangi pun sepakat dengan dugaan itu. "Tanpa bermaksud mengkambinghitamkan mereka, kemungkinan itu sangat besar," ujarnya. Tengarai ini didukung dengan kenyataan bahwa aksi itu makin meningkat pada 29, 30 September, dan 1 Oktober seiring dengan isu balas dendam PKI. Namun hingga kini, aktor intelektual besar eks PKI ini belum berhasil ditangkap.

Yang terbesar mungkin baru Wiroso, seniman Banyuwangi yang ditangkap di Genteng. Konon ia dulu aktifis organisasi onderbow PKI, Lekra. Wiroso ditangkap massa setelah dilaporkan anak angkatnya ke aparat desa bahwa di rumahnya banyak ditemukan selebaran Gantung. Para ninja pun konon sering berkumpul di rumahnya. Ketika hendak menyelamatkan diri lewat atap, ia terjatuh lalu diamuk massa.
Ada pula sponsor yang mendanai kegiatan Wiroso dan kawan-kawan, terutama urusan minum-minum. Ia bernama Nyah Ing, pemilik perusahaan pembuat gula, PT Hasil Laut. Namun, begitu Wiroso ditangkap, ia ikut raib. "Kami belum tahu apakah Gantung ini Organisasi Tanpa Bentuk atau sudah terstruktur dengan jaringan kuat," kata Kapolda. Yang jelas, dalam selebarannya, Gantung mengaku punya 199 anggota.

Tapi apakah semua pembunuhan itu dilakukan eks PKI? Tampaknya tidak. Soalnya dalam beberapa kasus ditemukan pelaku pembunuhan yang murni orang setempat, sementara korbannya pun memang diduga keras sebagai tukang santet. "Ini terjadi sampai awal Agustus," ujar Wahyudi.
Menurut Kiai Abdurrahman, isu itu hanya sekedar kamuflase. "Isu diolah agar masyarakat punya minat membunuh tukang santet," ujarnya. Pada bulan-bulan itu para pembunuh biasanya dalam keadaan mabuk dan tidak berasal dari daerah itu. Ditengarai mereka adalah sekumpulan bromocorah yang disewa untuk membunuh tukang santet.

Usaha mempengaruhi emosi massa tampaknya berhasil. Masyarakat mulai berminat melampiaskan dendam kepada para dukun santet. Bahkan ada pula aparat yang menjadi beking. "Isu santet memang relevan untuk disulut," kata Kiai Hasyim Muzadi. Grafik di bulan berikut yang dilakukan massa pun setempat meningkat.

Peningkatan tajam terjadi bulan September. Selain masih terjadi pembunuhan oleh masyarakat sekitar, terdapat pula pembunuhan yang dilakukan secara rapi dengan jadwal yang sama. Bersamaan dengan peningkatan ekskalasi pembunuhan ini, muncul pula isu ninja. "Saat ini warga NU mulai menjadi korban," kata Wahyudi.

Tahap selanjutnya terlihat pola mulai ngawur. Selain korban makin acak, teror pun terus meningkat. Padahal massa sudah tak lagi melakukan aksi pembunuhan. Pada posisi ini sang dalang tampak sengaja melestarikan suasana ketakutan di tengah masyarakat. "Yang memiliki kemampuan seperti itu, selain militer tak ada yang lain kecuali PKI," ujar Ketua Pelaksana ICMI Ahmad Tirto Sudiro.
Nah, kini tugas aparat adalah menyelesaikan kasus ini secara tuntas.
Hanibal W Y Wijayanta, Ivan Haris Prikurnia dan Muhammad Toha
sumber : Fb



0/Post a Comment/Comments