Modus Operandi KOPI-BUTUR (sebuah ajakan untuk berhimpun)

Oleh : Layosibana Akhirun ST., IPP*

Beberapa pertanyaan bermunculan, diselingi cibiran dengan intonasi cemas. Seperti, Kenapa ada komunitas ini? Faedahnya apa?. Itu inti rangkuman beberapa pertanyaan yang jika dirangkum bisa menjadi pertanyaan filosofis yang bermakna.

Kami mahfum bahwa pertanyaan itu muncul hadir karena insting dasar manusia yang selalu mempertanyakan berbagai hal. Tentunya cibiran yang terpental keluar dari benak mereka hanyalah buah ketololan yang sia-sia. Semua juga tahu lobus frontal masing-masing orang berbeda begitupula ukuran hipotalamusnya. Termasuk respon alamiahnya pada realitas. Serta kebebalannya.

Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi komunitas ini mewujud :



Pertama, dunia kosmik hari ini berjalan cepat dan terburu-buru karena teknologi informasi yang memudahkan sekaligus zalim disaat yang lain bagi hubungan antar orang per orang. Ruang dialog yang sediakan media sosial menyediakan arena yang terbuka lebar untuk komunitas ini lahir dan tumbuh. Jadi, sifat alamiah dasar dari komunitas tidak bisa dipisahkan dari alasan pertama ini.

Kedua, kepedulian. Ini alasan prinsipil dan luhur. Meskipun bisa diartikan naif dari sudut pandang yang lain. Terserah.

Ketiga, Selama ini saya memahami organisasi sebagai ruang tunggu semata. Seperti ruang tunggu di bandara. Semua orang punya tujuan kota masing-masing. Dalam organisasi bisa saja masing-masing punya motif dan tujuan aktualisasi diri. Tapi di ruang tunggu bandara semua tunduk pada aturan bersama. Aturan untuk kebaikan semua. Meskipun aturannya arbitrer dan sewenang-wenang. Begitu pula dikomunitas ini.

Sehingga kami berhimpun diri untuk bergerombol. Siapapun dia, bagaimanapun rupanya, setragis apapun kisah cintanya dan betapapun putus asanya dalam melihat hidup ini. Selama melihat Buton Utara sebagai tanah asal dipersilahkan dengan takzim.

Buton Utara ini bukan seperti tanah Kana'an yang diperebutkan atau daerah Leviathan daerah jiranya yang menggoda. Bukan seperti Hadramaut tempat melepas sauh untuk bepergian jauh. Apalagi seperti Kanton tempat para saudagar bertemu.

Lebih mendekati tanah Syam, daerah pengungsian para Quraisy ketika musim dingin. Identik dengan Sisilia sebagai tanah peleburan para pelarian dengan pemukim lokal yang sudah ada. Malah, layaknya Alas Kalingga atau dunia Dwarala di kaki Gunung Lawu. Penuh mitos.

Membayangkan Buton Utara sebagai Roma sebelum dibakar Kaisar Nero yang bahlul tidaklah salah. Roma saat itu adalah kota sedang giat memajukan dirinya, dibalik temboknya menguap aroma lendir perselingkuhan warganya. Para senatornya sibuk berintrik untuk saling menikam dan berlomba mengumpulkan koin rente. Tapi semua warga menginginkan kotanya maju. Seperti kita. Seperti kami.

Sebelum saya terlalu jauh meracau, saya ingin berterus terang. Akhirnya, kami sampailah pada kesimpulan untuk merumuskan gerak. Konklusi pilihannya adalah gerakan ide.

Ini gerakan paling sederhana, hemat biaya dan energi serta minimalis. Tidak bombastis apalagi revolusioner. Langkah terjauhnya paling berbicara. Bukankah berbicara adalah pekerjaan paling ringan?.

Tugas rakyat adalah membuka mulut. Ini pengejawantahan demokrasi paling konkrit. Sesuai dengan kemampuan kami, kumpulan para pembual dan sok moralis. Hingga kami merumuskan agenda kerja adalah diskusi-diskusi kecil sambil menertawakan para administratur kota ini yang tidak becus dan menyebalkan.

Selebihnya yang kami lakukan adalah sunnah. Jikalaupun ada. Sebab, resah kemudian pasrah adalah pengkhianatan pada kemanusiaan. Pada peradaban. Mungkin.

Mari bersama.

Tabik!

*Ketua Komunitas Pemuda Peduli Buton Utara (KOPI BUTUR)

Mantan aktivis HMI Cabang Makassar Timur

Pegiat demokrasi dan pemerhati isu-isu aktual

0/Post a Comment/Comments