MENGADZANKAN BAYI YANG BARU LAHIR

Bagi masyarakat Indonesia yang muslim sudah menjadi tradisi mengadzankan bayi yang baru lahir. Bagaimana pandangannya dalam hukum Islam atau fiqh empat mazhab? yuk simak artikelnya

Oleh : Abdullah Al Jirani
(ilutrasi/hellosehat)
Sependek pengetahuan dan pemeriksaan kami yang mengacu kepada kutub takharij (kitab-kitab takhrij hadits) para ulama, hadits-hadits tentang masalah mengadzankan bayi ketika lahir, seluruhnya dhaif jiddan (lemah sekali), bahkan sebagiannya ada yang maudhu’ (palsu). Hanya ada satu hadits yang kedhaifannya ringan. Yaitu hadits Abu Rafi’ –radhiallahu ‘anhu- yang dikeluarkan oleh Imam Abu Dawud –rahimahullah- berkata :
سنن أبي داود (4/ 328)
5105 - حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ، حَدَّثَنَا يَحْيَى، عَنْ سُفْيَانَ، قَالَ: حَدَّثَنِي عَاصِمُ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي رَافِعٍ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «أَذَّنَ فِي أُذُنِ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ حِينَ وَلَدَتْهُ فَاطِمَةُ بِالصَّلَاةِ»
“Musaddad telah menceritakan kepada kami, (dia berkata) Yahya telah menceritakan kepada kami, (dia berkata) dari Sufyan, dia berkata : ‘Ashim bin ‘Ubaidillah telah menceritakan kepadaku, dari ‘Ubaidillah bin Abi Rafi’ dari Bapaknya dia berkata : “AKU MELIHAT RASULULLAH –shallallahu ‘alaihi wa sallam- ADZAN DI TELINGA AL-HASAN BIN ALI KETIKA FATHIMAH MELAHIRKANNYA SEPERTI ADZAN UNTUK SHALAT.”
[Sunan Abu Dawud : 4/328 No : 5105 – Cet. Maktabah Al-‘Ashriyyah - Beirut]
Hadits ini juga dikeluarkan oleh Imam At-Tirmidzi : 3/149 No : 1514 – cet. Dar Al-Ghurab Al-Islami – Beirut, dari jalan ‘Ashim bin ‘Ubaidillah dari ‘Ubadullah bin Abi Rafi’ dari Bapaknya (Abu Rafi’) dengan lafadz hadits sama seperti riwayat Abu Dawud. Setelah itu, At-Tirmidzi berkata :
هذا حديث حسن صحيح
“Ini hadits hasan shahih”.
Sebenarnya kami sudah enggan untuk berbica tentang hadits Abu Rafi’ ini, saat Imam At-Tirmidzi telah mengucapkan “Ini hadits hasan shahih”. Siapa kita ? sehingga mau mengkritisi Imam At-Tirmidzi. Bagi orang sekelas kita, yang tidak punya apa-apa, baik ilmu hadits ataupun hafalan hadits, lebih pantas untuk tinggal mengamalkannya. Disamping tidak punya apa-apa,dari sisi referensi, juga kalah. Karena apa yang dihafal oleh para imam ahli hadits zaman itu, jauh lebih banyak berlipat-lipat dari buku-buku hadits yang tercetak di zaman ini. Demikian dituturkan oleh Ibnu Taimiyyah sebagaimana dalam “Majmu’ Fatawa”.
Tapi karena hadits ini menjadi topic perbincangan di kalangan penuntut ilmu, menuntut kami untuk ikut masuk dalam mengurai permasalahan ini. Agar tidak terkesan hanya taqlid kepada Imam At-Tirmidzi saja (padahal faktanya memang demikian). Memang benar, secara dzahir sanad hadits di atas ada kelemahan. Dikarenakan di dalam sanadnya terdapat seorang rawi yang bernama ‘Ashim bin ‘Ubaidillah. Beliau seorang tabi’i dari generasi thabaqat ke empat. Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam “At-Taqrib” : “Dhaif” (lemah). Dan kesimpulan beliau ini sudah sangat tepat. Imam Adz-Dzahabi juga memasukkan rawi ini dalam “Ad-Dhuafa’”. Oleh karena itu, Imam Malik tidak mengambil riwayat darinya, sebagaimana dinyatakan oleh Imam Al-Mizzi.
Jika ini satu-satunya hadits yang level kelemahannya ringan, maka dapat dipastikan tidak ada hadits lain yang bisa dijadikan penguat untuk hadits ini, sesuai referensi yang ada di zaman ini. Sehingga hadits ini tetap dalam kondisinya sebagai hadits dhaif. Tapi, bisa jadi penilaian Imam At-Tirmidzi di atas, mengacu kepada referensi hafalan beliau terhadap jalur-jalur periwayatan hadits, yang sangat mungkin tidak terbukukan di zaman ini. Dimana beliau –rahimahullah- memiliki jalur riwayat penguat untuk hadits Abu Rafi’, walaupun tidak beliau sebutkan di belakangnya, akan tetapi cukup menyebutkan kesimpulannya saja.
Sekarang, kalaulah kita tetapkan hadits Abu Rafi’ di atas sanadnya lemah –walaupun kami pribadi lebih condong dan mantap dengan tahsin Imam At-Tirmidzi-, akan tetapi kandungan maknanya telah diamalkan oleh jumhur (mayoritas) ulama’ muslimin dari masa ke masa tanpa ada pengingkaran. Termasuk di dalamnya madzhab Hanafiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah. Para ulama’ Ahli hadits juga memasukkan hadits Abu Rafi’ di atas dalam kitab-kitab mereka serta menganjurkan untuk mengamalkan kandungan maknanya.
Terdapat suatu riwayat yang dikeluarkan Imam Abdurrazaq Ash-Shan’ani –rahimahullah- (w. 211 H) dalam “Al-Mushannaf” (4/336) no : (7985) beliau berkata :
مصنف عبد الرزاق الصنعاني (4/ 336)
7985 - عَنِ ابْنِ أَبِي يَحْيَى، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ، أَنَّ عُمَرَ بْنَ عَبْدِ الْعَزِيزِ: «كَانَ إِذَا وُلِدَ لَهُ وَلَدٌ أَخَذَهُ كَمَا هُوَ فِي خِرْقَتِهِ، فَأَذَّنَ فِي أُذُنِهِ الْيُمْنَى، وَأَقَامَ فِي الْيُسْرَى وَسَمَّاهُ مَكَانَهُ »
Dari Ibnu Abi Yahya, dari Abdullah bin Abi Bakar, sesungguhnya Umar bin Abdul Aziz : “Apabila lahir seorang anak, beliau mengambilnya sebagaimana keadaannya dan diletakkan di sobekan kain miliknya. Lalu beliau mengumandangkan adzan di telinga kanannya dan iqamat di telinga kirinya serta beliau beri nama saat itu juga.”
Mengamalkan kandungan sebuah hadits yang sanadnya dhaif (lemah) dikarenakan jumhur ulama’ telah menfatwakan atau mengamalkan isinya, merupakan salah satu perkara memiliki sandaran dari ulama’ salaf. Salah satunya, Imam Asy-Syafi’i –rahimahullah-. Imam An-Nawawi –rahimahullah- berkata :
قال الشافعي -رحمه الله-: وأحتج بمرسل كبار التابعي إذا أسند من جهةٍ أخرى، أو أرسله من أَخَذَ عن غير رجال الأول ممن يقبل عنه العلم، أو وافق قول بعض الصحابة، أو أفتى أكثر العلماء بمقتضاه.
“Asy-Syifi’i –rahimahullah- berkata : Aku berhujjah/berdalil dengan mursal tabi’in senior apabila diisnadkan (diriwayatkan) dari jalur lain, atau dimursalkan oleh seorang rawi dari selain jalur yang pertama dari orang-orang yang diambil ilmunya, atau mencocoki pendapat sebagian sahabat, atau isinya telah DIFATWAKAN OLEH MAYORITAS ULAMA’”. [ Majmu’ Syarhul Muhadzdzab : 1/103 dan Ar-Risalah : 462-463 ].
Hadits mursal, masuk katagori hadits lemah. Tetapi bisa dijadikan dalil dan kandungannya boleh diamalkan apabila isinya telah difatwakan mayoritas ulama’, apalagi telah diamalkan oleh mereka dari masa ke masa tanpa ada pengingkaran. Maka justru menjadi aneh atau ‘nyleneh’ jika tiba-tiba di zaman ini kita mengingkari amaliah ini sembari mengatakan sebagai amalan bid’ah.
Ibnu Qudamah –rahimahullah- berkata :
فكان ما ذكرناه مع موافقة الأخبار وقول أكثر أهل العلم أولى
“Maka apa yang telah kami sebutkan bersamaan dengan adanya kesesuaian dengan berbagai hadits dan (kesesuaian) dengan pendapat MAYORITAS ULAMA’ adalah LEBIH UTAMA...”[ Al-Mughni : 9/613 ].
Imam Malik bin Anas –rahimahullah- berkata :
إن حقّا على من طلب العلم أن يكون له وقار وسكينة وخشية، وأن يكون متبعًا لأكثر مَنْ مضى قبله
“Sungguh wajib bagi penuntut ilmu untuk tenang dan punya rasa khosyyah (takut kepada Alloh) serta hendaknya dia mengikuti MAYORITAS (ULAMA’) dari orang-orang yang telah berlalu sebelumnya”. [ Diriwayatkan oleh Ibnu Wahb dari beliau. Simak muqoddimah Al-Mudawwanah ].
Ulama’ yang telah memanfatwakan disunnahkan atau dianjurkannya hal ini, diantaranya :
>> Imam An-Nawawi –rahimahullah- berkata :
المجموع شرح المهذب (8/ 442)
السُّنَّةُ أَنْ يُؤَذَّنَ فِي أُذُنِ الْمَوْلُودِ عِنْدَ وِلَادَتِهِ ذَكَرًا كَانَ أَوْ أُنْثَى وَيَكُونُ الْأَذَانُ بِلَفْظِ أَذَانِ الصَّلَاةِ لِحَدِيثِ أَبِي رَافِعٍ الَّذِي ذَكَرَهُ الْمُصَنِّفُ
“Disunnahkan untuk melantunkan adzan di telingga bayi yang baru lahir baik laki-laki atau perempuan dengan lafadz adzan sebagaimana lafadz adzan untuk shalat dengan dasar hadits Abu Rafi’ yang telah disebutkan oleh pengarang (As-Syiraji).”
>> Imam Al-Bahuti Al-Hambali –rahimahullah- (w.1051 H) dalam “Kasyaaful Qina’ ‘An Matnil Iqna’ “ (3/28) –Dar Fikr- berkata :
كشاف القناع عن متن الإقناع (3/ 28)
(وَ) سُنَّ أَنْ (يُؤَذَّنَ فِي أُذُنِ الْمَوْلُودِ الْيُمْنَى) ذَكَرًا كَانَ أَوْ أُنْثَى (حِينَ يُولَدُ، وَ) أَنْ (يُقِيمَ فِي الْيُسْرَى) لِحَدِيثِ أَبِي رَافِعٍ
“Disunnahkan bagi seorang untuk melantunkan adzan di telingga kanan bayi yang baru lahir baik laki-laki atau perempuan dan iqomat di telinga kirinya berdasarkan hadits Abu Rafi’.”
>> Ibnul Qayyim –rahimahullah- (w. 751 H)dalam kitab “Tuhfatul Maudud” (30) –cet. Darul Bayan Damaskus- berkata :
تحفة المودود بأحكام المولود (ص: 30)
الْبَاب الرَّابِع : فِي اسْتِحْبَاب التأذين فِي أُذُنه الْيُمْنَى وَالْإِقَامَة فِي أُذُنه الْيُسْرَى
“Bab ke empat : Anjuran untuk melantunkan adzan di telinga kanan bayi yang baru lahir dan iqamat di telinga kirinya.”
>> Asy-Syaikh bin Baz –rahimahullah- dalam “Majmu’ Fatawa” :
هذا مشروع عند جمع من أهل العلم.و قد ورد فيه بعض الأحاديث و في سندها مقال. فإذا فعله المؤمن فحسن....فالأمر في هذا واسع. إن فعله فهو حسن لما جاء في الأحاديث التي يشد بعضها بعضا. و إن ترك فلا بأس
“Ini (adzan untuk bayi yang baru lahir) merupakan perkara yang disyari’atkan menurut pendapat sekelompok para ulama’. Dalam Masalah ini telah datang beberapa hadits yang di salam sanadnya ada sedikit perbincangan. Apabila seorang mu’min malakukannya, maka itu perkara yang baik…..Dalam perkara ini ada keluasan. Jika seorang malakukannya, maka itu baik berdasarkan hadits-hadits yang telah datang dalam bab ini, dimana sebagiannya menguatkan sebagian yang lain. Dan jika meninggalkannya, maka tidak mengapa.”
Sebagian ulama’ menambahkan, bahwa seandainya hadits Abu Rafi’ di atas, dhaif (lemah), maka mengamalkan hadits dhaif dalam fadhailul a’mal (keutamaan amalan) diperbolehkan menurut jumhur ulama’, bahkan imam An-Nawawi –rahimahullah- telah menukil ijma’ terhadap masalah ini (dengan syarat-syarat yang telah dimaklumi di dalam pelajaran ilmu hadits). Wallahu a’lam bish-shawab.
-----
*Madzhab Malikiyyah berpendapat, bahwa mengadzankan bayi termasuk perkara yang dimakruhkan, tidak sampai diharamkan atau dibid’ahkan. Walau pendapat ini lemah, akan tetapi tetap kami bawakan sebagai bentuk amanat ilmiyyah. Kesimpulannnya, tidak ada satupun madzhab dari madzhab yang empat, yang membid’ahkan atau mengharamkan amaliah ini. Yang ada memakruhkan saja. Dan makruh, dari satu arah masih termasuk dari jenis mubah (boleh).
Sumber : FB



0/Post a Comment/Comments