Oleh Annisa Aprilianti Nur Azizah
Pada
standar syariah AAOIFI (The Accounting and Auditing Organization for Islamic
Financial Institutions) ada yang namanya tawarruq
munadzam. Tawarruq munadzam
adalah sebuah perbankan menjual komoditi (selain emas atau perak) dari pasar
komoditi internasional atau yang lainnya, kepada pembeli dengan harga tidak
tunai, kemudian bank tersebut berkewajiban – baik karena disyaratkan dalam
akad, atau karena kebiasaan (‘urf), -mewakili pembeli untuk menjualnya kembali
kepada pembeli lain dengan harga tunai dan menyerahkan uangnya kepada pembeli
pertama. Jadi pada tawarruq munadzam
terjadi pada tiga pihak dalam dua transaksi jual beli, jika transaksi pertama
adalah beli dengan tidak tunai, maka transaksi kedua adalah jual dengan tidak
tunai dengan harga yang lebih rendah. Ada beberapa karakteristik dari tawarruq munadzam sebagai berikut :
·
Sebagaimana
namanya tawarruq munadzam, pihak
pembeli disyaratkan menjual kembali barang yang dibelinya.
·
Sebagaimana
namanya ‘tawarruq’ (ingin mendapatkan
uang), tujuan pembeli (pihak yang membutuhkan likuiditas) adalah uang bukan
barang, sedangkan barang hanya simbolik (diterima kemudian dikembalikan).
·
Dalam
tawarruq munadzam, umumnya penjualan
kembali barang itu dilakukan oleh bank dengan akad wakalah (bank membeli dan
menjualkannya atas nama nasabah penjual).
Secara bahasa al-inah berarti pinjaman, dan dalam
kamus disebut; ‘ayyana berarti melakukan inah atau hutang, yaitu dengan cara;
pedagang menjual barang dengan harga tangguh, lalu membelinya dengan bayar
tunai dengan harga yang lebih rendah. Menurut terminologi ilmu fikih, inah
artinya jual beli manipulatif untuk digunakan alasan peminjaman uang yang
dibayar lebih dari jumlahnya. Yakni dengan cara menjual barang dengan pembayaran
tertunda, lalu membelinya kembali secara kontan dengan harga lebih murah.
Lembaga-lembaga fatwa dan standar syariah atau Dewan
Syariah Nasional sepakat bahwa tawarruq
dan bai al-inah tidak dibolehkan kecuali untuk memenuhi kebutuhan mendesak karena
tawarruq termasuk rekayasa untuk
melakukan praktik ribawi (hilah ribawiyah). Kedua praktik tersebut dilarang
dalam Islam, karena substansi kedua praktik tersebut adalah pinjaman berbunga.
Kesimpulan dari penjelasan diatas ada beberapa
kesamaan dan perbedaan diantara tawarruq
munadzam dan bai’ al-inah. Perbedaannya terletak pada berapa banyak pihak
yang ikut serta dalam transaksi tersebut, tawarruq
munadzam ada tiga belah pihak yang ikut serta, jika bai’ al-inah hanya dua
belah pihak yang ikut serta. Kesamaan dari keduanya terletak pada substansi
praktiknya yaitu pinjaman berbunga. Saran saya sebagai penulis, jauhilah kedua
praktik, karena praktik tersebut merupakan salah satu praktik yang ketentuannya
tidak sesuai dengan syariat Islam.
Annisa
Aprilianti Nur Azizah -STEI SEBI-