Pesantren di Indonesia, Sejarah dan Metode Pendidikannya

Lembaga pendidikan pesantren mempunyai peran yang signifikan dalam penyiaran agama Islam di Indonesia. Namun asal-usul informasi lembaga pesantren sangat sedikit dan tidak diketahui kapan lembaga tersebut mula-mula didirikan.


Dalam buku Sejarah Nasional Indonesia jilid 3, ada yang berpendapat bahwa sistem pendidikan pesantren secara tipikal dipengaruhi oleh lembaga pendidikan yang berasal dari India. Karena sistem lembaga pesantren tidak dijumpai di negara-negara Islam lain. Pendapat ini pun masih spekulatif, meski Jawa telah diislamkan, masih terdapat tempat pertapaan pra Islam.

Lembaga-lembaga yang mirip dengan pesantren hasil survei Belanda pertama kalinya tahun 1819, lembaga pesantren yang sebenarnya belum ada di seluruh Jawa. Lembaga pendidikan yang mirip pesantren dilaporkan terdapat di Priangan, Pekalongan, Rembang, Kedu, Surabaya, Madiun dan Ponorogo. Di Daerah lain tidak terdapat pendidikan resmi sama sekali, kecuali pendidikan informal yang diberikan di rumah-rumah pribadi dan masjid.

Pesantren tertua yang dapat diketahui tahun berdirinya adalah pesantren Tegalsari di Ponorogo Jawa Timur. Pesantren ini didirikan oleh Sultan Paku Buwono II pada tahun 1742 sebagai tanda terima kasih kepada Kiayi Hasan Besari. Paku Buwono II juga membangun masjid dan asrama untuk santri.

Metode Pendidikan Pesantren

Ada dua metode pengajaran di Pesantren yang tetap awet tanpa variasi atau perubahan, yaitu metode sorogan dan bandongan atau weton.

a. Sorogan 

Sorogan berasal dari bahasa Jawa, sorog itu artinya menyodorkan. Santri menghadap guru seorang demi seorang dengan membawa kitab yang akan dipelajarinya. Kiayi membacakan pelajaran yang berbahasa Arab kalimat demi kalimat kemudian menerjemahkannya dan menerangkan maksudnya. Santri menyimak dan memberi catatan pada kitabnya. Sistem sorogan ini sangat efektif bagi santri yang ingin mencapai cita-citanya menjadi seorang alim.

b. Bandongan/ weton

Bandongan adalah metode kuliah. Dengan metode ini, para santri mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling Kiayi yang menerangkan pelajaran secara kuliah. Santri menyimak kitab masing-masing dan memberi catatan. Metode ini disebut pula weton yang artinya waktu. Karena pengajarannya dilaksanakan pada waktu tertentu, seperti sebelum atau setelah shalat Fardhu. 

Sumber : buku Sejarah Nasional Indonesia jilid 3 penerbit Balai Pustaka

0/Post a Comment/Comments